Justine memeluk tubuh Clara. Entah mengapa ada perasaan tidak rela meninggalkan Clara dirumah sedang ia akan pergi dengan waktu yang lama. Belum lagi jika mengingat ucapan cintanya yang semalam tidak Clara respon, Justine merasa ada sesuatu yang salah. Ia berulang kali mengecup kening sang istri, seolah Claralah yang mungkin akan pergi meninggalkan dirinya kali ini.
"Beneran kamu enggak mau aku anterin ke tempat Mamah?" tanya Justine saat melepaskan pelukkannya ditubuh Clara. Clara menggeleng cepat. Wajahnya masih datar, layaknya semalam saat laki-laki yang dicintainya itu mengucapkan kata cinta padanya.
"Kamu sakit?" tanya lagi Justine sembari menangkup ke dua pipi Clara dengan telapak tangan.
"Nggak panas, tapi kenapa dari bangun tidur diem aja. Sayang kamu kenapa?!" tanya Justine heran dengan perubahan sikap Clara.
Ya, istrinya itu bersikap sangat dingin tanpa alasan yang Justine ketahui.
"Cepetan berangkat, keburu siang," keburu selingkuhan kamu ngerengek dan nelponin kamu mulu.
"Aku bawa mobil sendiri kok, jadinya bisa ngebut nanti." ujar Justine lalu kembali memeluk tubuh Clara. Sungguh, kalau saja boleh jujur Justine takut. Ada perasaan aneh menyelusup dalam hatinya.
Clara memejamkan matanya. Mungkin jika dia tidak membaca pesan singkat yang ada di kotak pesan Justine, mungkin dia akan berbunga merasakan perhatian Justine. Nyatanya, sebuah chat dari Miranda membuat harapannya runtuh. Mungkin inilah saatnya ia harus melepaskan Justine agar laki-laki itu bisa hidup bahagia. Justine juga berhak bahagia. Dan itu pasti bukan dengan dirinya.
"Aku nggak jadi dua hari, malam nanti kalau urusan udah kelar aku pasti langsung pulang." bisik Justine memberi keyakinan jika ia mengusahakan untuk secepatnya pulang.
"Hem.."
"Kalau ada apa-apa kamu kabarin aku ya, jangan jauh-jauh dari hp kamu. Langsung hubungin aku. Pokoknya.."
"Justine cepet berangkat! Aku capek berdiri terus." sentak Clara melepaskan tubuh Justine yang memeluknya.
"Iya, iya. Aku cuman ngerasa enggak enak." ujar Justine menyampaikan perasaannya yang janggal.
"Sana berangkat!" usir Clara.
"Yaudah, hati-hati ya nanti berangkatnya."
Setelah kepergian mobil Justine dari pelataran rumahnya. Clara memegang perutnya yang terasa nyeri. Dengan tertatih ia masuk ke dalam rumah, "Mbok.. Mbok..." teriak Clara.
"Ya Allah Non." pekik Asih saat melihat Clara yang berdiri sembari menyandarkan tubuhnya dipintu utama.
"Mbok, sakit Mbok." ujar Clara merintih kesakitan.
"Non, Mbok telepon Mas Jus.."
"Jangan!" teriak Clara kencang. Ia tidak ingin Justine tahu keadaannya. Clara meraih tangan Asih yang ingin membantunya berdiri, "telepon Mami mertua Saya Mbok.. Tanyakan apa Mami udah perjalanan ke sini, jangan kasih tahu keadaan Saya sama Mami."
"Iya Non.. Non duduk dulu ya Non." ujar Asih panik lalu membantu Clara duduk ke sofa.
"Cepetan Mbok." kata Clara sembari mencengkeram kuat perutnya. Clara memejamkan matanya. Ia tidak ingin terjadi sesuatu pada kandungannya. Satu-satunya harta berharga yang ia miliki di dunia ini, Clara tidak ingin kehilangannya.
"Clara, Mami.. Papiiiiih!" teriak Shella kencang saat melihat Clara yang duduk sembari merintih kesakitan.
"Papiiiihh! Tolong Clara Papih! Papiiiiih!" teriak Shella lagi membuat Michell yang tengah membongkar bagasi mobilnya berlari kencang masuk ke dalam rumah Clara.
"Mih.. Tolong Clara, tolong anak Clara Mih." ujar Clara sebelum benar-benar menutup matanya.
"Mich.. Mich.. Ayo bawa Clara ke rumah sakit Mich." panik Shella sampai tidak lagi memanggil suaminya dengan sebutan Papih.
"Clara, Clara ini Papih Nak. Buka mata kamu." ujar Michell panik membawa Clara dalam gendongannya. Dengan sedikit berlari Papi dari Justine itu membawa menantunya ke dalam mobil, "Shel, kamu dibelakang sama Clara, aku nyetir."
"Iya Mich, aku telepon Jus.."
"Nggak usah! Anak nggak berguna itu! Jangan telepon dia. Dia lagi ada diapartemen gundiknya." ujar Michell yang memang tahu dimana keberadaan Justine saat ini.
Michell bukanlah ayah yang bodoh. Selama ini dia memang memantau keadaan rumah tangga Justine putranya. Bahkan, demi janjinya pada almarhum Darian- Papah Clara, Michell sampai menyewa seseorang untuk mengawasi gerak-gerik Justine selama ini.
Bagi Michell, Clara adalah amanah yang Darian titipkan padanya. Selain menantu, Clara sudah ia anggap seperti putrinya sendiri. Kebodohan putranya menyia-nyiakan menantunya, Michell tidak dapat lagi mentolerir. Apapun keputusan Clara, Michell akan ikuti. Karena kebahagiaan Clara, juga kebahagiaannya sebagai seorang ayah.
"Tapi Mich.."
"Percaya sama aku, ini demi kebaikan putra kita."
"Bertahan ya Sayang. Mami ada di sini Nak." ujar shella mendekap tubuh menantunya. Sedangkan di depan Michell tidak pernah berhenti melihat keadaan dari kaca spion tengahnya.
Mas Darian, Maafkan Saya masih belum bisa memastikan kebahagiaan putri Mas. Kali ini, Saya pasti akan menjaga amanah terakhit Mas dengan baik.. Tolong Maafkan putra saya Mas. Rapal Michell dalam hati, melihat wajah pucat menantunya yang berada direngkugan tangan sang istri di jok belakang mobilnya.
to be continued...