Justine menggedor pintu apartemen dihadapannya. Rasanya ia tidak perlu beramah-tamah dengan memencet bel apartemen milik wanita jalang yang terus merusuhi hidup indahnya bersama Clara sang istri
"Miranda, buka pintu!" teriak Justine dengan emosi yang sudah tidak bisa ia tahan lagi. Rasanya ia ingin meruntuhkan bangunan yang saat ini dipijak agar wanita di dalam unit apartemen ini mati mengenaskan.
"Miranda." ulang Justine masih dengan dobrakan kencang yang dihasilkan oleh tangannya.
Miranda yang mendengar suara Justine, melangkahkan kaki cepat menuju pintu apartemen. Hatinya membuncah karena Justine akhirnya menuruti untuk bertandang. Sudah lama sekali laki-laki itu tidak datang berkunjung, setelah malam dimana Justine menghempaskan tubuhnya tanpa sentuhan seincipun.
"Justine." pekik Miranda senang. Tangannya dengan cepat menarik lengan Justine agar laki-laki itu masuk ke dalam unitnya.
"Lepasin tangan lo dari tubuh gue!" desis Justine menghempaskan jemari Miranda dari lengannya.
"Justine, anak kita nggak suka lo kasar." ujar Miranda menyentuh d**a Justine. Tangannya membelai sensual d**a bidang Justine dari balik kaos hitam lelaki itu, "gue seneng, akhirnya lo mau nengokin kita Just."
"Cih!" dengus Justine mendorong tubuh Miranda. Justine menatap jijik pada wanita dihadapannya. Tangannya terkepal. Jika bukan karena ingin menuntaskan urusannya dengan wanita busuk di depannya ini, Justine tidak akan rela meninggalkan Clara sendiri dirumah. Apalagi keberadaan wanita yang baru ia sadari dihatinya itu tengah hamil besar calon putra mereka.
"Lo nggak mungkin hamil. Secara, tiga bulan lalu gue nggak jadi make lo." ujar Justine dingin.
Anehnya, bukan-nya merasa terintimidasi, wanita yang mengaku hamil oleh perbuatannya itu terbahak seakan kata-kata yang baru saja keluar dari mulutnya adalah jenis kata yang paling menggelikan di dunia ini.
"Sayang, Sayang. Jangan lupa, sebelum malam itu kita juga sering lakuin. Berkali-kali, kalau lo lupa." kekeh Miranda.
"Dengan pengaman Miranda. Gue nggak pernah lupa sama barang itu, kecuali sama satu wanita. Istri Gue!" tekan Justine pada kata istri. Miranda yang mendengar itu semakin terbahak, "bukan berarti karena lo pake pengaman gue nggak bisa hamil Just. Nyatanya gue hamil..", seringai Miranda menggantungkan kata-katanya. Kakinya kembali melangkah mendekati Justine. Wanita itu mengecup Justine yang masih terdiam karena rentetan kata yang Miranda ucapkan, "anak lo." bisik Miranda menutup ucapannya ditelinga Justine.
"Gugurin!" sentak Justine kencang membentak Miranda membuat tubuh wanita itu mengigil karena aura dingin yang Justine tebarkan pada dirinya
"Gugurin atau gue bunuh lo sekalian." desis Justine. Jemarinya melayang ke batang leher Miranda, membuat wanita itu memekik- Kesakitan. Wajahnya membiru karena oksigen yang semakin menipis di tubuhnya.
"Gugurin kalau lo emang hamil. Perduli setan sama lo dan anak lo, mau itu benih dari gue atau laki-laki lain. Lenyapin! Karena gue cuma mau anak dari istri tercinta gue." ujarnya tajam.
"Ju.. Justine." ucap Miranda terbata.
"Gugurin atau siap-siap buat kehilangan nyawa lo!"
"Leph-lephas!"
"Gugurin!" tatap Justine tajam. Satu hal yang belum pernah Miranda lihat dari diri Justine. Kemarahan laki-laki itu. Seluruh sendinya rasanya ingin luruh seketika, merasakan emosi Justine. Entah mengapa nyawa-nya serasa ingin hilang saat cekikkan dilehernya semakin mengerat.
"O-Oke." Cengkeraman Justine dileher Miranda terlepas. Matanya masih menatap tajam wanita menjijikan dihadapannya.
"Gue nggak akan percaya itu anak gue. Gue bukan orang ceroboh Miranda! Jad jangan tipu gue buat kehamilan setingan lo. Waktu gue terbuang, hanya buat dateng ke tempat lo ini!"
"Tolong Gue Just, tolong gue." lirih Miranda, "Axel, Axel nggak mau tanggung jawab." ujarnya menatap Justine penuh permohonan. Hanya Justine yang ia bisa harapkan. Axel, laki-laki yang harusnya bertanggung jawab padanya menolak keras anak yang dirinya kandung.
"Bukan urusan gue!" sergah Justine lalu membalikkan tubuhnya. Urusannya sudah selesai dengan Miranda, saatnya ia pulang, memeluk Clara istrinya. Langkah Justine terhenti tepat di depan pintu apartemen Miranda, "Axel nggak akan mungkin mau tanggung jawab, percuma! Mending lo gugurin anak lo. Axel jijik sama lo pasti!" ujarnya dingin sebelum benar-benar meninggalkan Miranda yang menangis sesenggukkan.
Ditempat lain, suara tangisan bayi membuat Shella- Mami Justine menangis haru menyambut cucu laki-lakinya yang telah terlahir ke dunia. Michell- Papi Justine, menggenggam erat tangan menantunya yang terasa dingin, wajah menantunya itu memucat karena waktu persalinan yang tidak semestinya.
Mata Clara menatap sayu Papah mertuanya, meski tubuhnya menggigil merasakan dingin yang merasuk ditulang-tulangnya, Clara tetap tersenyum kala menatap sang Papah mertua.
"Papih!" ujar Clara parau memanggil Michell.
"Iya Sayang, ini Papi. Papi di sini Clara." jawab Michell semakin erat menggenggam jemari sang menantu. Air mata Michell lolos seketika, begitu juga dengan Shella- Sang istri yang tidak dapat lagi menahan isakannya.
"Papi." sekali lagi, Clara memanggil Michell dengan suara paraunya.
"Iya Cla, ini Papi."
"Tolong jaga anak Cla ya Pi." pinta Clara lirih, sebelum mata sayunya terpejam di depan ke dua bola mata Michell.
"Clara.. Claraaa." teriak Michell melihat menantunya menutup mata. Disampingnya Shella menangis, bersautan dengan cucunya yang ikut meraung membuat seisi ruang persalinan begerak cepat, semakin mendekat ke tubuh Clara yang terhenti laju jantungnya.
.
.
.
.
To be continued...