26

1143 Kata
Akhrinya.. Justine terbebas juga. Ia akan menceritakan segalanya pada Clara nanti. Tentang hari ini dan bagaimana besok mereka merangkai masa depan bersama. Cerita cinta sang istri yang tak akan lagi bertepuk. Ah, Jakarta-Bandung, Bandung-Jakarta dalam satu hari. Demi kamu Sayang, demi kamu. Tunggu aku dirumah ya - batin Justine sembari membelah jalanan untuk kembali ke pelukkan wanita yang ia cintai. Justine melihat jam yang melingkar ditangannya. Tepat pukul dua belas malam ia sampai dikediaman Papa Mertuanya.. Sebelum pulang ke tempat Michell, Justine memilih pulang ke rumah Clara untuk mengambil beberapa keperluan. Sejak ia tinggal dirumah Almarhum Papa mertunya, Justine memang memindahkan sebagian barang-barang pentingnya ke rumah Damian demi memudahkan mobilitas. "Loh, Mbok. Ngapain duduk diruang tamu?' tanya Justine heran menemukan Asih yang menangis tergugu di sofa ruang tamunya, "Mbok kenapa?' tanya Justine panik. Perasaannya mendadak tidak enak. "Non Clara Mas! Non Clara melahirkan tadi. Sekarang, sekarang Mbok nggak tahu Non gimana, hiks. Non Mas.." "Apa? Istri saya melahirkan kenapa kamu nggak kasih tahu Saya?' bentak Justine dengan nada tingginya. "Non Clara pergi Mas. Non cuma meninggalkan ini diranjang rumah sakit. Ada nama Mas Justine di atas amplop surat ini Mas." isak Asih mengulurkan Amplop yang dititipkan Michell padanya tadi. "Jangan bercanda, istri Saya dirumah sakit mana?" teriak Justine tak percaya dengan apa yang asisten rumah tangga Clara sampaikan. "Non Cla pergi bawa Den Delvano Mas. Padahal baru saja Den Delvano lahir." Justine mengambil amplop yang diulurkan Asih padanya. Kakinya dengan cepat berlari keluar rumah dan menuju mobil yang belum ia masukkan ke dalam garasi rumah Papah mertuanya. Dibukanya amplop yang tertuliskan namanya. Di dalamnya terdapat sebuah kertas yang dilipat rapi. Sangat rapi! Hai, Justine.. Aku pergi, jadi kamu nggak perlu sembunyi-sembunyi buat ketemu sama Miranda lagi. Setelah mencintai Valey, kamu mencintai Miranda ya? Jangan bohong lagi, aku udah nggak ada. Kamu bisa mulai hubungan kamu sama Miranda secara terang-terangan. Kasihan dia, dia wanita. Aku tahu rasanya jadi seorang simpanan yang disembunyikan dari khal layak umum Just. Rasanya sakit, kalau kamu mau tahu Just! Aku tidak bisa menahannya lagi saat aku tahu kamu berbohong. Aku pikir kita bisa menjadi keluarga. Tapi ternyata, itu semua hanya harapanku. Makasih Just, setidaknya beberapa bulan ini, kamu memerankan peran suami yang baik untukku. Untuk anak kita. Anak kita, sudah lahir Just. Prematur, kasihan dia. Lebih kasihan lagi jika dia hidup dan besar dikeluarga yang penuh sandiwara. Jadi aku membawanya pergi. Namanya Delvano Darmawan. Maaf aku memberikan nama belakang keluargamu dibelakang nama putraku. Papi Michell yang memintanya saat beliau mengumandangkan Azan ditelinga putra kita.. Setidaknya, aku masih berbaik hati untuk memberitahukan namanya padamu karena bagaimanapun juga kamu Papahnya. Berbahagialah setelah kepergian kami, Mama Delvano * Justine menarik rambutnya- Frustasi. Kata apalagi yang bisa menggambarkan perasaan terpuruknya malam ini. Ia pikir, kepulangannya akan menjadi hal baru dalam babak rumah tangganya dengan Clara. Ia pikir, ia bisa memulai dari awal. Memberitahukan rasa cinta yang saat ini membuncah pada Clara- Istrinya. Tapi apa yang ia dapati sekarang? Baru? Iya, baru. Ia baru saja ditinggalkan oleh dua manusia yang sangat ia cintai. Meski terlambat. Justine benar-benar merasakan itu. Perasaan cinta yang menelusup karena kebersamaan mereka. Perasaan itu hadir, disaat wanita yang ia cintai telah pergi meninggalkannya. Kemana perginya sang istri? Kemana Claranya membawa buah hati mereka. Delvano, putranya. Putra yang wajahnya saja belum sempat ia lihat. Seperti apa rupa putra kecilnya. Apakah seperti dirinya atau seperti Clara-nya. Claranya? Masihkan wanita itu mau menjadi miliknya? Bodoh, wanita itu meninggalkannya. Bukankah itu jawaban atas pertanyaannya tadi. Clara pergi, wanitanya melarikan diri darinya. Justine menekan dadanya kuat, tangannya tidak kuat lagi untuk tidak menepuk d**a yang sesak. Jika dulu kehilangan cinta dan kepercayaan Valery ia bisa tertawa dan mengutuk jahat Clara, maka kali ini kehilangan Clara membuat rasa sakit hadir dihatinya. Rasa sakit itu menekan dadanya hingga membuatnya sulit untuk bernapas. * Michell membuka tirai jendela ruang tamu saat mendengar raungan mobil putra Kesayangannya. Ia hapal betul deru kenalpot sang putra yang sudah dimodifikasi. "Justine datang Mi." ucap Michell membalikkan tubuhnya menatap sang istri yang terduduk sembari terus memegang ponselnya. "Ingat kata Mami, jangan bela Justine kali ini. Mamah bakalan marah ke kamun!" pesan Michell pada Shella mengingat sang mamah kini tak lagi membela putra mereka. "Iya Pih," jawab Shella. Jemarinya meremas ponsel, mencoba menyalurkan emosinya pada benda pipih tak bernyawa itu. Sedetik kemudian tubuh Ayah satu anak itu kembali berbalik, menyingkap tirai jendela lagi. Dilihatnya sang putra yang berlari turun dari mobilnya, bahkan sesekali putranya itu terjatuh karena saking cepatnya berlari. "Pi sini! Duduk deket Mami." lirih Shella, membuat Michell berjalan ke arah sang istri setelah menutup kembali tirai yang ia singkap. "Sabar Sayang, demi putra kita. Kita harus seperti ini." ujar Michell meremas jemari sang istri setelah duduk disamping Shella. "Iya Pi. Mamafin Mami yang nggak becus urusin anak kita Pi," Michell menggelengkan kepalanya."Aku yang nggak becus Mah, sebagai Papah. Mamah jangan ngomong gitu, ini salah Papah sebagai kepala rumah tangga." kata Michell menghapus air mata sang istri. "Papii... Papiiii." teriak Justine membuka pintu rumah kediaman Michell. Michell menegakkan tubuhnya saat sang putra datang dan bersimpuh dikakinya. "Ada apa?" tanya Michell dengan dingin yang menguar. "Pi, bantuin Jus Pih. Tolong bantu Justine Pih" lirih Justine menenggelamkan kepalanya dipangkuan sang Papi. "Papi nggak salah denger? Katanya kamu bisa urusin rumah tangga sialan kamu sendiri?" tanya Michell pada anak semata wayangnya. Disampingnya Shella meremas kuat jemari Michell, tidak tega melihat sang putra yang mengiba. "Pi tolong bantu Justine Pi." isak Justine. "Papi nggak ada hak buat ikut campur Jus." seloroh Michell membuat Justine mengadahkan wajahnya menatap raut kecewa Michell. "Pi, Clara bawa kabur anak Jus Pi. Anak Jus yang baru lahir Pi. Baru lahir, dan Jus nggak tahu kalau dia lahirin Pi..." ujar Justine frustasi. Michell terkekeh ditempatnya, meski air matanya ingin sekali terjatuh. Sebagai seorang Papah hatinya merasa berdosa karena tidak bisa mendidik anak semata wayangnya. "Ya jelas kamu nggak ada, kan kamu tidur diapartemen sama pacar kamu." ucap Michell getir, karena kelakuan b******k sang putra. "Pi,, Jus dijebak Pi. Sumpah, Jus udah akhirin hubungan Jus sama Miranda. Jus udah janji akan jadi Papah yang baik buat anak Jus." Michell tertawa mendengar penuturan Justine. Entah mengapa indera pendengarannya menangkap kata-kata sang putra sebagai lelucon belaka. Rasanya dia dulu tidak sebrengsek ini. Sebetulnya darah siapa yang mengalir didarah anaknya ini. "Aku pergi buat kelarin urusan aku sama Miranda Pi. Beneran, bukan aku yang menghamili wanita itu." "Mich." lirih Shella tidak sanggup. "Mi bantu Justine Mih. Aku cinta sama Clara. Anak Just Mi." Shella mengalihkan pandangannya saat sang putra meohon padanya. Tidak sanggup, namun ia harus melakukan semua itu demi kebaikan sang putra kata suaminya. "Istri kamu sempat berhenti berdetak Justine, tepat saat anak kamu lahir." ujar Michell berdiri hingga tubuh Justine terjatuh dilantai. "Ca.. Clara meninggal? Istri Just?!" to be continued...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN