Dalam perjalanan pulang, suasana dalam mobil Azka terasa sunyi. Hanya suara mesin yang mengisi kekosongan di antara mereka. Athira duduk tenang di kursi penumpang, menatap jalanan malam yang dihiasi lampu-lampu kota. Namun, dari sudut matanya, ia bisa merasakan sorot tatapan Azka yang mengandung begitu banyak pertanyaan yang belum terucap. Tiba-tiba, suara Azka memecah keheningan, berat dan penuh tekanan emosi. “Athira... Arman Saputera... Dia ayahmu, ya?” Athira tercekat. Nafasnya sempat tertahan. Ia tahu pertanyaan itu akan datang cepat atau lambat, namun ia belum siap menjawabnya. Belum siap membiarkan kenyataan yang rumit itu menjadi bumerang dalam hubungan mereka—terutama jika itu membuat Azka merasa dirinya dijebak atau dimanfaatkan. Setelah jeda yang terasa sangat panjang, Athir

