Syaquilla sudah berada di dalam mobil. dan tengah menunggu adik-adiknya.
Jika kalian pikir Syaquilla yang akan menyetir, maka kalian salah. Tidak, Syaquilla tidak menyetir. Dia tidak pernah lagi memegang kemudi selama lima tahun terakhir ini. Papanya tidak pernah mengijinkannya lagi, dan sejujurnya Syaquilla sendiri memang takut. Alhasil, setiap pergi kemana pun selalu ada supir yang mendampinginya. Kalau tidak, Syaquilla akan memilih menggunakan transportasi umum.
Kedua adiknya sudah masuk ke dalam mobil. Ilker sudah rapi dengan seragam SD nya dengan rambut berkilau dibelah samping dan tak lupa kacamata nya. Duduk di kursi depan dan bersiap mengenakan seatbelt. Sementara Faiqa dengan seragam TK nya dengan rambut panjangnya diikat ekor kuda duduk di belakang bersama Syaquilla.
Hari ini Syaquilla akan pergi ke cafe yang sudah ia dan Carina sewa. Rencananya ia dan Carina akan bertemu disana dan bersiap untuk memasang furniture setelah beberapa hari sebelumnya mereka baru mengecat ulang tempatnya.
Sudah beberapa hari berlalu semenjak acara makan malamnya dengan Gilang waktu itu. Yang Syaquilla tahu, sekarang pamannya itu sudah kembali bekerja di rumah sakit ternama dan bekerja sebagai ahli dalam. Syaquilla sangat bangga dengan kakak ibu tirinya itu. Meskipun dari luar terlihat petakilan, namun pria itu benar-benar sangat berdedikasi dengan pekerjaannya.
Dibalik itu semua. Syaquilla saat ini sedang memikirkan alasan apa yang akan ia buat untuk menghindari acara syukuran yang akan nenek tirinya buat nanti. Syukuran atas kepulangan dan diterimanya Gilang di rumah sakit besar.
Syaquilla bukkannya merasa tidak nyaman berada di keluarga ibu tirinya. Ia sangat nyaman, sebenarnya. Mereka selalu memperlakukannya dengan baik. Terlebih karena Syaquilla sendiri sudah berhubungan dengan mereka sebelum ayahnya menikahi ibu tirinya. Namun yang tidak membuatnya nyaman adalah dua hal. Gilang dan jodohnya.
Karena setiap kali ada pertemuan, yang selalu dibahas adalah pekerjaan Gilang dan 'bagaimana jika Gilang menikah' dengan A, B, C, putri dari temannya Oma yang bekerja di perusahaan D, E, F.
Harus Syaquilla akui, ia terkadang jengah sendiri. Bukan jengah sebenarnya. Tapi cemburu. Ya, Carina seharusnya menyebut bahwa apa yang ia rasakan adalah cemburu. Ia begitu menginginkan Gilang untuk dirinya sendiri. Tapi walau bagaimanapun ia tidak bisa berteriak disana dan mengatakan kepada semua orang 'Pilih aku!' atau 'Oma, jadikan aku menantu!'. Sangat mustahil Syaquilla melakukan ha itu disaat semua orang mengetahui keburukannya.
Syaquilla memijit keningnya seraya mengerjapkan mata. Belakangan ini, setelah kejadian kebakaran itu, ia seringkali merasa sakit kepala. Dan ketika itu terjadi, pandangannya ikut mengabur.
Ia tidak mungkin mengatakannya pada ayah dan ibunya. Mereka tentu akan langsung memerintahkannya-bukan sekedar memintanya-untuk pergi kontrol ke rumah sakit.
Sementara Syaquilla tidak suka melakukannya. Sudah cukup dia harus pulang pergi ke rumah sakit. Sekarang tidak lagi. Bahkan bau antiseptik seringkali membuatnya mual. Padahal seharusnya dia sudah terbiasa untuk itu.
Kedua adiknya sudah sampai di sekolah tujuan mereka. Ilker dan Faiqa memang bersekolah di sekolah yang sama. Keduanya turun, begitu juga Syaquilla. Ketiga adik sepupunya tampak baru saja sampai. "Aunty." Sapa Syaquilla pada Gisna. Istri adik sepupu ayahnya. Syaquilla mencium punggung tangan tantenya, dan ketiga putra-putri tantenya mencium punggung tangannya. Aunty Gisna dan Uncle Lucas memiliki tiga orang anak. Satu pasang kembar Falisha dan Akara. Selisih keduanya dengan adiknya Ilker itu sekitar tujuh bulan. Seharusnya setelah itu ada putri mereka yang lahir setelah 2 tahun Akaran dan Falisha lahir. Namun takdir belum mengijinkan tante dan pamannya untuk berbahagia. Dan sekarang tantenya itu diberi kesempatan untuk mengandung anak ke empat dari kelahiran ketiganya.
"Qilla, sehat Sayang?" Sapa Gisna, tubuh mungil tantenya itu tak beda jauh dari ukuran tubuhnya sendiri. Dan kini melihat tantenya hamil Syaquilla jadi membayangkan kehamilannya sendiri.
"Alhamdulillah, Aunty. Aunty sehat? Gimana ? Udah di USG?" Syaquilla balas memeluk dan mengusap perut Gisna lembut.
"Alhamdulillah, bayi Aunty sehat. Kemarin sempat di USG, cuma baby nya jahil. Belum mau di tengokin." Jawab Gisna lagi. "Gimana cafe? Udah ada kemajuan?" Gisna dan Syaquilla melambai ketika anak-anak sudah memasuki area sekolah.
"Alhamdulillah, sedikit-sedikit lagi progres aunty. Sekarang Qilla mau kesana, ketemu Carin. Mau mulai pasang furniture." Jawabnya.
Gisna mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kamu jangan kecapekan ya." Ucap tantenya itu seraya mengusap lengan Syaquilla dengan sayang. Syaquilla tersenyum sebagai jawaban dan menganggukkan kepala. "Oh, ya. Sebenernya Aunty gak enak sama kamu. Tapi Aunty juga bingung mau ngomongnya." Wajah Gisna terlihat bingung. Membuat Syaquilla ikut bingung.
"Ada apa, Aunty?" Qilla memandang tantenya.
"Kita ngomongnya sambil jalan aja ya. Kamu berangkat diantar Aunty aja, boleh?" Saran Gisna. Syaquilla mengangguk. Ia mengambil tas laptopnya yang ada di dalam mobil dan meminta supirnya untuk pulang. Lalu kembali pada Gisna. Qilla membantu tantenya masuk ke dalam mobil. Ia sendiri takjub dengan tantenya yang meskipun bertubuh mungil dan dalam keadaan hamil besar, tapi masih kuat pergi kesana kemari.
"Jadi gimana Aunty?" Syaquilla memulai kembali pembicaraan.
"Sebelumnya Aunty minta maaf karena mau ngerepotin kamu. Ini juga kalau kamu punya waktu." Gisna memulai dengan ragu. "Kamu tahu kan panti asuhan yang di sponsori keluarga kita?" Tanya Gisna, Syaquilla mengangguk. "Nah, Aunty kan sebentar lagi lahiran. Uncle kamu mau Aunty cuti ngurusin panti sampai si baby cukup umur dibawa kesana kemari. Tapi Aunty bingung mau ngasih urusan yayasan sama siapa. Bu Teti masih jadi kepercayaan Aunty. Tapi beliau tidak siap harus menggantikan posisi Aunty. Jadi kalau kamu ada waktu, Aunty mau kamu yang sementara megang yayasan. Bukannya Aunty ngeremehin kamu sekarang. Aunty tahu kamu sibuk sama urusan cafe, sama kuliah kamu juga. Tapi Aunty bingung mau ngasih kepercayaan sama siapa. Kamu tahu sendiri kan kalau Aunty gak punya banyak kenalan.
Aunty Nadira masih belum kembali dari Turki. Mama kamu sama kayak Aunty, lagi nungguin lahiran. Jadi Aunty cuma bisa ngandelin kamu." Jawab Gisna dengan rasa bersalah.
"Qilla sih sebenarnya oke-oke aja Aunty." Jawab Syaquilla dengan senyum di wajahnya. "Lagian urusan cafe sama kuliah gak sesibuk itu juga. Akhir pekan Qilla masih punya banyak waktu."
"Tapi gimana sama Natta? Apa Natta bakal setuju? Maksud Aunty, apa dia gak akan keberatan kalo akhir pekan kamu di monopoli sama urusan yayasan?" Gisna masih merasa ragu.
Syaquilla tersenyum dan menggelengkan kepala. "Gak apa-apa Aunty. Lagian urusan Qilla sama Mas Natta belum sampai sejauh itu sampai harus membatasi gerak masing-masing."
Gisna menggenggam tangan Syaquilla yang tak lebih besar dari tangannya sendiri. "Makasih ya, Sayang. Aunty janji, sampai si baby udah uncle kamu nyatakan aman dibawa kesana kemari, Aunty yang akan pegang kembali yayasan."
"Iya, Aunty. Tenang aja. Lagian Qilla juga kan udah biasa kesana. Jadi ya, nyaman-nyaman aja. Anggap aja latihan punya anak." Jawab Syaquilla meskipun ada sedikit rasa sakit di hatinya mendengar kata 'anak'. Dan tampaknya tantenya itu menyadarinya.
"Jangan berpasrah diri sebelum usaha, Sayang. Tuhan itu Maha Pengabul. Kun Fayakun. Meski kita anggap tidak mungkin, kalau Dia mengatakan mungkin, maka akan jadi mungkin. Dokter kan manusia. Dia tidak memegang kendali penuh atas kehidupan manusia. Mereka hanyalah salah satu sarana pembantu manusia untuk menyembuhkan. Sementara si Pemberi Sembuh, Pemberi Nyawa itu tetap saja Yang Maha Kuasa." Gisna mengusap punggung keponakannya itu dengan sayang. Usia mereka yang tidak terpaut jauh justru membuat Gisna merasa seolah Syaquilla itu adiknya. Bukan keponakannya.
Gadis berusia dua puluh tiga tahun itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Senyum muncul di wajahnya, meskipun tidak sampai ke matanya. Syaquilla. Satu doa untuk kebahagiaannya selalu terselip dalam doa Gisna dan suaminya. Gadis yang semenjak kecil tidak benar-benar mendapat kebahagiaan dan bahkan sampai saat ini, mungkin hanya berapa persen dalam tahun-tahun kehidupannya dimana gadis itu merasakan sepenuhnya bahagia.
"Sudah sampai, Aunty. Nanti hari jum'at Qilla usahakan mampir ke panti dan bicara sama Bu Teti ya. Aunty tenang aja. Kalau Qilla butuh bantuan, nanti Qilla seret Carina aja." Ucapnya. Gisna mengangguk. Lalu setelah mencium punggung tangan tantenya, Qilla beranjak menuju Cafe yang masih tertutup dengan kain terpal.
???
Hari jum'at sore, Qilla sudah mendapat semua laporan mengenai panti asuhan 'Rumah Bahagia' yang dikelola oleh tantenya. Setelah menyelesaikan rutinitas sorenya, Qilla memilih untuk duduk di atas meja belajarnya, menyeruput coklat panasnya seraya men-scroll mouse yang ada di tangan kirinya.
'Hmm...pemeriksaan rutin anak-anak ya.' Qilla bermonolog. Baiklah, semoga saja dengan daftar kesibukan ini dia bisa melupakan seseorang yang benar-benar ingin dia lupakan. Batinnya.
Setelah merasa cukup membaca semua kegiatan rutin panti dan mencatatnya dalam kalender ponsel, Qilla memilih turun dan bersiap untuk makan malam.
"Aunty Gisna bilang kamu udah nyanggupin buat ngelola panti ya, Sayang?" Suara Adskhan menjadi pembuka acara makan malam mereka.
"Iya, Pa. Katanya Uncle Lucas gak ngasih ijin Aunty buat ngurus yayasan sampai baby lahir."
"Kamu harus inget, kamu gak boleh terlalu capek." Ayahnya mengingatkan. Syaquilla hanya mengangguk.
"Papa tenang aja, Qilla udah prepare semua. Qilla juga baru beres kontrol kemarin dan semuanya baik-baik aja." Jawabnya menenangkan, ayahnya mengangguk.
"Kalau perlu bantuan, hubungi Papa." Perintah ayahnya dengan halus.
"Iya, Papa." Jawab Qilla dengan senyum dikulum. Terkadang ia geli sendiri dengan sikap posessif ayahnya. Tapi ia tahu kalau semua itu beliau lakukan karena sayang.
Sabtu pagi Qilla sudah bersiap dengan gamis merah mudanya dan kerudung biru langit. Warna soft yang selalu ia sukai. Supir pribadinya sudah menunggu dan sedang memanaskan mobil. Pria berusia empat puluh lima tahun itu kini menjadi bodyguard sekaligus supirnya setiap kali Qilla memerlukannya.
"Sudah siap, Neng?" Tanyanya saat Qilla selesai mengenakan sepatunya.
"Udah, Pak. Bapak udah sarapan?" Tanya Syaquilla. Pria bertubuh gempal itu mengangguk. "Ya udah kalo gitu, berangkat sekarang." Pak Iwan membuka pintu mobil penumpang bagian depan, seperti kebiasaannya. Qilla selalu menolak jika supirnya itu membuka pintu belakang. Dia merasa duduk di sisi bagian supir membuat mereka lebih dekat.
Selama mobil melaju, mereka mengobrol hal-hal ringan. Mulai dari keadaan keluarga pak Iwan. Keadaan cafe yang dikelola Qilla. Sampai acara gosip dan berita di tv. Hal itu membuat mereka lebih akrab, dan Qilla menyukainya.
Mereka sampai di pintu gerbang 'Rumah Bahagia'. Karena bukan hanya sekali-dua kali Pak Iwan mengantar Qilla ataupun keluarganya, pria itu tahu kemana alur parkir khusus para pengurus panti.
Qilla sudah siap dengan ranselnya yang berukuran cukup besar. Meskipun Pak Iwan menawarinya untuk membawa tas itu, Syaquilla menolak dengan halus. Qilla sudah masuk ke bagian sekretariat panti. Seorang wanita yang diperkirakan seusia pak Iwan menyapanya dengan senyum ramahnya. "Mba Qilla udah datang." Sambutnya.
Syaquilla mencium tangan wanita itu seperti kebiasaannya. Baginya, wanita seperti Bu Teti adalah wanita yang harus dia hargai. Karena selain jiwa sosialnya yang tinggi, wanita itu telah memberikan seluruh dirinya untuk panti. Yang Qilla tahu, Bu Teti tidak memiliki keluarga karena kecelakaan yang menimpanya. Oleh karena itu, sejak seluruh anggota keluarganya meninggal, beliau mengabdikan dirinya untuk panti.
"Hari ini katanya pemeriksaan kesehatan anak-anak ya, Bu?" Tanya Syaquilla seraya meletakkan tas nya ke atas meja.
"Iya, Mba. Tapi baru saja saya dapat pemberitahuan kalau dokter Aathaf tidak bisa datang. Katanya mendadak putrinya sakit." Terang Bu Teti. Qilla hanya bisa terdiam. "Tapi dokter Aathaf sudah meminta rekannya untuk menggantikannya. Katanya sih teman masa kuliahnya dulu." Syaquilla mengenal siapa itu dokter Aathaf. Dokter Umum yang sudah bekerja sama dengan keluarga Levent cukup lama. Beliau juga sudah Papanya angkat menjadi dokter pribadi, karena meskipun di usianya yang terbilang muda, Dokter Aathaf itu merupakan dokter yang potensial. Dan tentang teman masa kuliahnya? Mendadak Syaquilla membayangkan satu nama. Tidak mungkin 'dia' kan?
"Assalamualaikum..." Sebuah ketukan memecah keheningan dalam kepala Syaquilla. Syaquilla berbalik, jawaban atas pertanyaannya kini tampak di hadapannya. Sedang berdiri dengan menenteng ransel dan tersenyum ramah kepada mereka. "Saya Gilang, saya diminta dokter Aathaf untuk menggantikannya hari ini."
"Ah, Dokter Gilang ya. Silahkan masuk. Saya Bu Teti, pengurus yayasan." Bu Teti mengulurkan tangannya menyapa Gilang. Gilang membalas uluran tangannya tanpa menghilangkan senyum di wajahnya. "Ini Mba Syaquilla. Beliau disini sebagai pengganti pengelola yayasan." Tuturnya lagi.
Gilang tersenyum. "Hai, Prenses." Sapanya tanpa mengulurkan tangan.
Bu Teti mengangkat alis. Terkejut dengan panggilan pria di hadapannya pada putri pemilik yayasan. "Dokter mengenal Mba Qilla?" Tanyanya penasaran.
"Kebetulannya begitu, Bu. Beliau keponakan saya."
"Keponakan?" Tanya Bu Teti tak percaya. Mengingat usia Gilang yang sepertinya masih tiga puluhan dan Qilla sendiri sudah dua puluhan.
"Ceritanya panjang, Bu. Jadi kita mulai pemeriksaannya kapan?" Gilang mengalihkan pembicaraan. Dan setelahnya mereka di sibukkan dengan acara memeriksa anak-anak.