Valora duduk dengan tangan bersilang di dadanya, tatapan matanya yang gelap menusuk Bapak yang berdiri di depannya. Sinar matahari senja menyinari halaman belakang, memantulkan bayangan mereka di rerumputan. Bapak menatap putrinya, seakan mencari celah untuk menyusupkan kata-kata yang dapat menembus hati keras Valora. Tapi Valora tetap kaku seperti batu karang. “Valora,” Bapak memulai, nadanya kali ini lebih lembut. “Kamu tahu, Ibu sangat menyayangimu. Tidak ada orang di dunia ini yang lebih peduli pada kebahagiaanmu selain dia.” Valora mengalihkan pandangannya ke samping, memandang bunga-bunga yang tertiup angin. Semua yang Bapak katakan selalu terasa seperti ceramah panjang yang memusingkan. Dia mendesah pelan, mencoba meredam amarah yang masih menggelegak di dadanya. Sejak pagi, insid