Dua puluh tahun lalu Dirgam masihlah seorang bocah kecil yang begitu ceria dan bersemangat. Dia selalu menikmati apa saja pelajaran baru yang didapatnya dari ayah, ibu, dan lingkungan sekitarnya. Hidup di desa membuatnya selalu mencintai udara segar di pagi hari, hangatnya cahaya mentari, serta ramahnya lingkungan sekitar. Ayahnya adalah seorang petani yang begitu hangat dan penyayang, ibunya yang begitu cantik dan murah senyum membuat suasana rumah selalu tenteram meski hidup mereka pas-pasan. Hingga suatu hari, ketenangan hidup bocah itu mulai terusik ketika beberapa kali orang berpakaian gelap dan berotot kekar kerap mendatangi rumahnya. Setiap kali orang itu pergi, ayah selalu murung, dan ibu menangis sendirian di dapur. Lalu, sebulan kemudian Dirgam menyaksikan sendiri kepergian ayah