Bab 5

1542 Kata
Hana – Gagal Aku tersenyum pagi itu, bukan senyum bahagia karena akhirnya dia menyentuhku, tidak. Aku sama sekali tidak bahagia, aku tersenyum karena kebodohan yang baru saja aku lakukan, aku membiarkan dia memasukiku tanpa ada sedikit cinta, tanpa adanya kelembutan... hanya nafsukah? Itu tidak juga, dia murni melakukan itu hanya karena tugasnya. Aku salut dengan cintanya kepada Lian, dia sangat mencintai Lian meski menyentuhku tapi dimatanya seakan Lianlah yang ada dibawah tubuhnya bukan aku. "Wanita kedua tetaplah wanita kedua, dia tidak akan pernah naik derajat menjadi wanita pertama," rutuk hatiku dengan kejam, "ya, aku tetaplah wanita kedua... semua masyarakat akan mengutukku karena menjadi wanita kedua tanpa mereka mau tau penyebab kenapa aku menjadi wanita kedua" balas hatiku lagi. Setelah kepergiannya yang begitu saja, aku kembali masuk kedalam kamar dan melihat ranjang yang menjadi saksi bisu bagaimana dia menindihku, memasuki dengan tanpa perasaan. Aku juga melihat tanda kesucianku yang direnggutnya tercetak jelas disprai yang berserakan. "Semoga kau cepat hadir nak, agar penderitaan ibumu ini segera berakhir" aku sama sekali tidak menangis, aku menyimpan airmata itu didalam hati saja, aku tidak mau terlihat lemah di matanya. Aku mengganti spray ternoda itu dengan spray baru. *** Hari ini aku sengaja tidak masuk ke kantor, selain karena organ intimku masih sakit tapi juga kakiku yang semakin membengkak. Rencananya aku mau mencari tukang pijit untuk memijit pergelangan kakiku yang sakit, sebenarnya sepulang dari kantor semalam, bengkaknya lumayan berkurang karena aku kompres dengan air dingin, tapi karena Raja sedikit kasar dan menghimpit kakiku, bengkak itu kembali membiru. Rasanya aku juga tidak sanggup kembali tidur diranjang itu malam ini, bayangan dan tatapan Raja malam itu sungguh sanagt menghantuiku. Lebih baik setelah mencari tukang urut aku mampir ke kontrakan, karena aku yakin Raja tidak akan pernah datang lagi. "Assalammualaikum" teriakku dari luar kontrakan, Bala langsung membuka pintu dan dia kaget melihatku dengan kaki super bengkak dan biru. "Lo kenapa Han, ayo masuk dulu" dia mengambil tas yang aku pegang dan membantuku masuk, kami duduk di sofa dan aku mencoba untuk tersenyum meski terasa berat. Bala memberiku air putih dan aku langsung meminumnya. "Kaki lo kenapa bisa bengkak seperti ini sih" tanyanya dengan panik, aku meletakkan gelas tadi keatas meja dan bersikap biasa saja agar Bala tidak curiga. "Jatuh di Bandung, kerjaan gue padat dan tanpa sengaja gue tergelincir dan gini deh jadinya" kataku berbohong. "Lo pasti kesakitan, bengkak gini..." Bala mencoba memegangnya, tapi aku menahannya. "Jangan, sakit banget" rintihku, Bala mengambil obat gosok yang ada di dalam kamar dan mengoleskan sedikit demi sedikit. "Lo taukan emak gue dulunya tukang pijat, nah walau gue nggak mendalami secara otodidak, tapi gue bisa jamin sekali pijat bengkak ini bakalan hilang" katanya dengan yakin, aku memang tau jika tanteku itu dulunya tukang pijat, tapikan pijat bayi bukan pijat dewasa. "Yakin lo?" tanyaku lagi, dia mengangguk sekali lagi dan aku membiarkan saja dia memijat kakiku, awalnya pijatannya terasa pelan, tapi lama kelamaan pijatannya semakin terasa keras dan aku yang tidak tahan akhirnya meringis dan meneteskan airmata, seharusnya itu airmata karena sakit dipijat, tapi nyatanya yang keluar seakan ungkapan perasaanku yang hancur lebur, airmata itu semakin deras mengalir bahkan ketika Bala sudah menghentikan pijatannya. "Sakit banget ya, sampai lo nangis kejer seperti ini" katanya, aku kemudian menghapus airmataku yang tidak berhenti mengalir. "Iya, sakit banget... rasanya mau mati aja" kataku dengan sangat menyedihkan, Bala memelukku dan meminta maaf berkali-kali. Ini bukan salah kamu, ini semua kesalahanku. Aku ingin mereka bahagia, tapi aku lupa yang akan terluka dan menderita diriku sendiri, aku membuat mereka bahagia tapi aku sama sekali tidak akan pernah merasa bahagia. "Rasanya memang lebih nyaman tinggal dirumah sendiri walau kecil tapi ada rasa kekeluargaan disini sedangkan disana, aku kesepian dan juga sendirian" lkataku lirih dalam hati. **** Ternyata Bala benar, akibat pijitannya semalam. Bengkak semakin berkurang meski rasa sakitnya masih ada, meski masih sakit mau tidak mau aku terpaksa masuk kantor jika tidak ingin Ibu Viona kembali memberikan pekerjaan berat kepadaku, entah ada salah apa aku dengannya...sepertinya semua pekerjaan yang aku lakukan selalu salah dimatanya. "Pagi Hana" sapa Nina, mungkin hanya Nina yang masih mau berteman denganku setelah mutasi sialan itu, sedangkan pegawai yang lainnya tak jarang membicarakanku dibelakang, mereka tau selama ini aku menjadi tangan kanan Raja yang paling bertahan lama, dank arena mutasi ini mereka bergosip jika aku mencoba merayu Raja atau melakukan perbuatan tidak menyenangkan kepadanya. "Pagi Nina, wah cerah sekali wajah kamu" tanyaku, Nina tertawa pelan. "Ya, lagi happy aja sih... diperut aku lagi ada dedek bayi... stsss jangan bilang siapa-siapa ya, bahkan suami aku belum tau" bisiknya pelan, aku ikut bahagia mendengarnya. Bahkan Nina saja bahagia menyambut kehamilannya, lalu bagaimana denganku kelak. Bisakah aku bahagia jika aku sudah tau takdir anak ini bukan tumbuh bersamaku tapi dengan Lian dan Raja. "Wah selamat ya, semoga dedek bayinya selalu sehat sentosa dan bisa hidup bersama kamu" aku mulai melantur , pikiranku semakin kacau. Aku butuh udara untuk menormalkan pikiranku. "Ya iyalah, mana ada ibu yang tidak mau bersama anaknya" balasnya singkat, benar apa yang kamu katakan, tidak ada Ibu yang tidak menginginkan bersama anaknya, tapi jika keadaan membuatnya terbalik, aku bisa apa?. "Selamat sekali lagi, aku selalu doakan yang terbaik untuk kamu, aku balik ke ruangan ya, jika telat Bu Viona bisa ngamuk lagi" aku bergegas meninggalkan Nina, berbicara dengannya membuat perasaanku jadi kacau. Aku menekan lift dan masuk begitu saja ketika lift tersebut terbuka. "Kayla... saya yang salah masuk atau dia yang salah masuk, kenapa bisa pegawai biasa menaiki lift direksi" aku kaget mendengar suara dibelakangku, kakiku menjadi tidak seimbang dan rasanya bengkak dikakiku ini sepertinya tidak akan pernah sembuh karena sebentar lagi aku pasti jatuh, tapi sepasang tangan langsung menangkap tubuhku, Raja kah itu tapi kenapa dia mau menolongku. Tangan itu membantuku berdiri dengan normal, aku merapikan bajuku yang berantakan dan memutar tubuhku untuk meminta maaf. "Ma..af pak" aku melihat Raja bahkan tidak melihatku sedikitpun, dan disampingnya ada pria asing yang sama sekali tidak pernah aku lihat, pria keturunan bermata sipit... dia tersenyum kepadaku, tapi karena ada Raja, aku tidak membalas senyumannya. "Terima kasih" hanya itu yang aku ucapkan. "Maaf pak, mbak ini salah masuk lift sepertinya" ujar sekretaris barunya Raja. "Maaf saya salah naik lift, lantai berikutnya saya akan turun saja" aku menghela nafas, lantai berikutnya itu ruang arsip dan jika mau turun atau naik, aku musti menaiki tangga darurat ke lantai berikutnya, dan itu sama saja membuat kakiku semakin parah. "2 lantai berikutnya saja, lantai setelah ini bukannya ruang arsip ya, dan untuk naik kelantai berikutnya harus menggunakan tangga darurat sedangkan kaki kamu kayaknya belum sembuh ya" pria asing itu menawariku untuk tetap berada di lift, bersama Raja dan dirinya. "Nggak perlu pak, saya turun saja" kataku menolak, dia bersikeras bahkan memegang tanganku, aku menghalau tangannya. "Saya bisa berdiri sendiri" kataku kesal, dia tertawa dan mengangkat tangannya. "Terima kasih" balasku singkat. Rasanya lift ini sangat lama sekali berhenti dilantai yang aku inginkan, rasanya nafasku hampir sesak berada satu lift dengan Raja. Ting Fiuh akhirnya aku bisa juga keluar "Permisi pak, saya duluan" kataku meminta izin, Raja bersikap seolah aku tidak ada sedangkan pria asing itu melambaikan tangannya kepadaku, huh sok akrab. Sejak kapan sih Raja punya kenalan seperti itu. **** "Eh Kay, lo tau siapa cowok kece yang jalan sama pak Raja tadi?" tanya Citra, kami memang sedang makan siang dikantin kantor, aku memang tidak bergabung dengan mereka tapi aku bisa mendengar apa yang mereka bahas. "Oh Pak Michael? Konsultan hukum baru...pengganti pak Handoko, mulai besok bekerja disini, lulusan Harvard dan guantengnya nggak kalah dari pak Raja" balas Kayla dengan suara berbinar, huh apa gunanya lulusan universitas terkenal jika kerjanya menggoda karyawan, apa gunanya ganteng tapi tidak berkarisma seperti Raja. Hah kenapa aku malah memuji Raja sih, Raja itu kejam.. dingin dan tidak punya perasaan, itu nilai minusnya meski Lian selalu mengatakan Raja itu manis dan baik, tapi dimataku Raja hanya pria yang berego tinggi tapi sangat setia dan mencintai istrinya dengan tulus. "Hana, lo kok buang-buang makanan sih... lo ada masalah ya" ucapan Nina membuyarkan lamunanku dan melihat nasi yang ada dipiringku kini sudah berserakan tak karuan. "Hahaha maaf... gue nggak ada masalah kok, lagi kurang enak badan aja" kataku berkilah, untungnya Nina percaya dan memberikan sedikit nasinya kepadaku. "Boleh saya duduk disini" aku masih menyuap makananku, suara itu sangat aku kenal, ya siapa lagi kalo bukan Michael, cowok rese di lift tadi. Pasti dia pengen gabung dengan kumpulan cewek-cewek sekretaris Direksi yang duduk dibelakangku. "Si...silahkan pak" balas Nina, aku mengangkat muka dan melihat Michael kini duduk disampingku dengan menu makanan sama seperti yang aku makan, bukannya direksi dan pimpinan divisi mempunyai catering tersendiri tapi kenapa dia malam makan disini. "Ayo makan, nanti keburu dingin" aku kembali menatap Nina dan mengangkat bahu ketika Nina dengan pelan bertanya siapa pria yang duduk disampingku. "Lumayan enak ya makanannya" katanya setelah dia menyelesaikan makanannya. "Nin, gue balik dulu..." aku hendak mengangkat baki berisi makanan milikku tapi Michael berusaha merebutnya. "Sini saya yang bawa" aku kembali merampas baki milikku. "Pak, ini didepan umum jangan bikin masalah dan gossip baru, saya tidak ingin nama saya kembali tercemar, sudah cukup karena mutasi semua mata memandang saya secara hina, jangan gara-gara Bapak nama Hana kembali jelek" gerutuku kesal, aku tidak peduli semua mata memandang kami sekarang. "Wah maaf ya Hana, maksud saya murni menolong kok karena saya lihat kaki kamu sepertinya masih sakit, maaf jika ini membuat kamu tidak nyaman" balasnya, aku menghempaskan baki itu ditangannya dan pergi meninggalkan kantin, langkahku terhenti ketika melihat Raja menatapku entah dengan tatapan apa, mungkin dia dengar perkataanku tadi, masa bodoh toh semua orang juga sudah memandangku jelek, dipandang jelek oleh Raja juga bukan hal baru dihidupku. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN