Happy Reading
Valen mengemudikan mobilnya pulang ke rumah. Dia tadi melihat beberapa panggilan tak terjawab dari Vanessa dan juga beberapa pesan dari wanita itu. Jika dulu Valen begitu senang dihubungi oleh wanita itu, sekarang entah kenapa dia merasa tidak nyaman. Mungkin karena Vanessa sudah menjadi istri orang, hal itu membuat Valen mengurungkan niat untuk membalas pesan darinya.
Padahal, sebelum hari kemarin, Valen masih dengan semangat membalas pesan dari Vanessa. Hatinya selalu berdebar-debar saat mengangkat panggilannya. Valen tahu jika selama ini perasaan cinta untuk Vanessa hanya bertepuk sebelah tangan, tetapi dia tidak bisa menghilangkan perasaan itu begitu saja bahkan sampai Vanessa menikah kemarin.
Namun, sekarang Valen tidak antusias lagi, dia akan menghilangkan perasaan cintanya untuk Vanessa dan membiarkan wanita itu bahagia dengan suaminya. Cintanya sudah berhenti ketika Vanessa menikah dengan Arjuna.
Pikiran Valen bahkan sekarang penuh dengan nama wanita lain, wanita yang semalam telah dia tiduri dengan suka rela. Kinan, nama wanita itu. Valen ingat semalam mereka memang sudah berkenalan meskipun dia dalam keadaan mabuk. Namun, Valen masih mengingat namanya.
"Kinan, gimana keadaannya, ya? Semoga setelah ini kita tidak pernah bertemu lagi, hubungan semalam hanyalah saling membutuhkan. Dia membutuhkan uang banyak dan aku membutuhkan pelampiasan," gumam Valen.
Setelah berkendara selama setengah jam, akhirnya dia sampai di rumah kedua orang tuanya. Di sana terlihat Brian duduk di teras sambil berbincang dengan adiknya–Vino.
"Tuh, Abang udah datang, gue mau ke rumah teman dulu, Mas," ujar Vino pada Brian.
Brian adalah putra dari Dila dan Shaka, sahabat baik kedua orang tua Valen. Mereka sudah seperti saudara sendiri.
Valen keluar dari dalam mobil dan menghampiri Brian. "Lu datang kesini pagi-pagi pasti ada sesuatu?" tanya Valen duduk di kursi yang tadi di tempati oleh adiknya.
Brian menatap Valen dari atas hingga ke bawah, matanya menyipit curiga pada sahabatnya itu.
"Kenapa lu liatin gue kayak gitu?"
"Lu semalam nginep di mana? Gue tahu lu nggak ada di tempat Rama," ujar Brian.
Valen langsung celingukan, mencari keberadaan Mami atau Papinya, takut jika mereka mendengar ucapan Brian. "Sttt, jangan keras-keras, nanti Mami denger."
"Hahaha, jadi bener kan lu nggak nginep di sana?" Kali ini suara Brian sedikit lirih. "Gue tahu lu bohong!"
Valen terkejut mendengar ucapan Brian, dia mengira jika Brian tahu hal itu dari Rama sendiri karena Valen belum sempat menghubungi Rama untuk melakukan sandiwara kebohongan.
"Gue cuma nebak, gue belum nanya ke Rama," lanjut Brian.
"Sialan lu!" Valen kesal karena berhasil masuk perangkap.
"Ya, lagian lu pake acara bohong sama Tante Luna, kalau gue sih nggak bisa lu bohongi. Jadi, lu dari mana?" tanya Brian kali ini dengan nada sungguh-sungguh.
Valen bingung harus menjawab bagaimana, dia dan Brian sudah terbiasa bersama meskipun semenjak kuliah Brian memilih kembali ke Jogja, tetapi komunikasi mereka sangat baik. Bahkan Brian tahu jika Valen mencintai Vanessa tetapi tidak berani mengungkapkan.
"Gue pergi ke bar dan nginap di sana."
"Apa?"
"Sstt ... jangan teriak! Gue nggak mau Mami dan Papi tahu hal ini. Bisa di rujak gue." Brian hanya bisa menggelengkan kepalanya.
"Lagian lu kenapa sampe nyasar ke sana? Patah hati jangan bikin lu sampai khilaf!"
"Gue emang udah khilaf," lirih Valen. Bahkan sampai bayar cewek buat pelampiasan! Lanjutnya dalam hati.
Valen tidak akan memberitahukan hal yang itu, biarlah Valen memendamnya sendiri. Dia yakin jika masalah ini tidak akan pernah bocor ke siapapun. Dia dan Kinan tidak saling kenal dan sepertinya dunia mereka berbeda.
Valen ingat jika Kinan membutuhkan uang banyak dan bisa dipastikan jika mereka memang tidak berada di lingkungan yang sama.
"Tobat, bro! Tobat! Sana mandi tujuh kembang sama mandi lumpur, dosa lu udah banyak. Pakai nyentuh minuman haram," ujar Brian mengingatkan.
"Iya-iya, habis ini gue mandi kembang tujuh rupa, sekarang gue mau tanya. Ada urusan apa lu datang ke sini pagi-pagi?"
"Gue cuma mau hibur lu karena baru ditinggal nikah sama do'i. Eh, ternyata lu nya malah udah nyari hiburan lain," jawab Brian.
"Ck, makasih. Gue udah ikhlas, udah rela dia nikah sama cowoknya. Gue cuma bisa doain dia bahagia dengan Juna. Gua yakin Juna cowok yang tepat untuk Vanessa," ujar Valen ringan tanpa beban. Bahkan senyum tulus tersungging di bibirnya.
Namun Brian tidak percaya. "Beneran nih, nggak nangis kan? Buktinya lu sampai minum?"
"Siapa yang minum?" tiba-tiba suara Mami Luna terdengar dari belakang.
Sontak saja membuat Brian dan Valen membeku.
"Eh, anu Tante. Bukan minum itu, tapi minum kopi robusta," ucap Brian ikutan berbohong demi menyelamatkan sahabatnya.
Luna membawa nampan yang berisi dua gelas jus jeruk. Kemudian meletakkan di atas meja. "Oh, minum kopi?"
"Iya, Mi. Brian nawarin kopi baru, kopi Lampung. Katanya lebih enak dari kopi perahu api."
Brian meringis, Valen benar-benar sudah pandai bersandiwara. Dia jadi ikutan konslet gara-gara sahabatnya yang patah hati ditinggal nikah.
***
Di sisi lain.
Kinan langsung pergi ke rumah sakit untuk segera memproses administrasi operasi ibunya. Dia menggunakan kartu kredit yang diberikan oleh Valen untuk membayar biayanya.
Dia berharap jika operasi sang ibu berhasil dan bisa sembuh seperti sedia kala.
Meskipun ibunya bertanya dari mana Kinan mendapatkan uang dan sempat curiga, tetapi Kinan memberikan alasan yang sedikit tepat.
"Kinan berhutang di bank, jaminannya sertifikat rumah. Alhamdulillah langsung di Acc, Bu."
Akhirnya ibunya Kinan merasa sedikit lega, meskipun awalnya Dina tidak setuju jika Kinan menggadaikan sertifkat rumah yang merupakan harta satu-satunya, tetapi mungkin Kinan sudah berusaha mencari cara agar dia sembuh. Dina semakin bersemangat untuk sembuh karena tidak ingin mengecewakan Kinan.
Hari berikutnya Dina sudah siap di operasi, Kinan memberikan semangat pada sang ibu dan berharap operasinya berjalan lancar.
Saat sedang menunggu di depan ruang operasi, ponsel Kinan berdering. Nama Dimas tertera di layar. Kinan merasa sangat jijik melihat nama itu. Kali ini Kinan benar-benar tidak ingin berurusan dengan pria pengkhianat itu.
"Dasar sampah!" Kinan mengumpat, dia memblokir nomor Dimas setelah merijek panggilannya.
Kinan menghela napas, dia sudah mati rasa sekarang. Dua kali berpacaran, dua kali juga dia diselingkuhi. Rasanya Kinan sudah mati rasa terhadap yang namanya cinta.
Cinta hanya membuatnya sakit hati berkali-kali, kini hidupnya hanya untuk dirinya sendiri dan juga ibunya.
***
Sebulan kemudian.
Kinan menjemur ibunya di halaman rumah. Jam masih menunjukkan pukul 6 pagi dan Kinan akan berangkat bekerja di jam setengah delapan. Sang ibu sudah diperbolehkan pulang beberapa hari yang lalu, operasinya berhasil dan tumor di perutnya sudah diangkat, tinggal kontrol rutin dan penyembuhan.
"Hoek!" Kinan menutup mulutnya karena tiba-tiba merasa mual.
Dina yang melihat putrinya seperti itu langsung khawatir. "Nak, kamu sakit?"
Kinan menggeleng lemah, entah kenapa tiba-tiba perutnya terasa seperti diaduk-aduk. Bahkan kepalanya sekarang terasa pusing. "Nggak tahu, Bu. Tiba-tiba Kinan pusing."
"Ya Allah, ayo cepat ke rumah sakit. Kamu harus periksa."
"Nggak usah, Bu. Mungkin Kinan cuma masuk angin, Hoek!" Kinan akhirnya berlari masuk ke dalam rumah karena tidak kuat lagi. Kinan muntah di wastafel. Rasanya benar-benar mual. Dia muntah berkali-kali bahkan suaranya sampai terdengar di luar.
Akhirnya karena paksaan dari sang ibu, Kinan memeriksakan diri ke rumah sakit. Dia bahkan terpaksa izin tidak masuk kerja karena sakit. Kinan datang sendiri tanpa ibunya. Langkahnya sedikit ragu, hanya masuk angin biasa kenapa ibunya sampai ngotot ingin dia harus periksa ke rumah sakit.
"Duh, perutku rasanya diaduk-aduk," gumam Kinan mencoba menahannya.
Untung saja antriannya tidak banyak, lima belas menit kemudian dia dipanggil dan seorang dokter muda menyapanya dengan senyum lebar.
"Selamat siang, apa yang dikeluhkan?" tanya dokter tersebut.
Kinan membaca tag name dokter itu, namanya Arjuna, dia tampan dan sangat sopan.
"Saya mual-mual, dok. Kepala juga pusing. Mungkin masuk angin ya?"
"Coba saya tensi dulu, ya?"
Kinan mengangguk, dokter Arjuna langsung mengecek tensinya. Sang dokter juga memeriksa denyut nadi Kinan.
"Kapan terakhir kali datang bulan?" tanya dokter Arjuna.
Kinan mengingat-ingat, sepertinya bulan ini dia belum kedatangan tamu bulanan. Tiba-tiba matanya membulat sempurna.
"Tidak, ini tidak mungkin?" batin Kinan.
Bersambung.