Jehan seharusnya bisa pulang tepat waktu sore tadi, tapi entah mengapa malam ini langkahnya menolak diarahkan ke rumah. Ada sesuatu di dadanya yang menahan, bukan ragu, melainkan keinginan untuk menenangkan gejolak yang sudah lama ia pendam. Ia ingin memastikan dirinya siap, benar-benar siap, menghadapi konsekuensi dari masa lalu yang pernah ia tolak dengan kejam. Mau tidak mau, suka tidak suka, Jevian kini sudah hadir di dunia ini, ia nyata, hidup, dan begitu polos. Anak kecil dengan mata bulat bening dan senyum lembut yang begitu mirip dirinya. Ia tidak bisa berpura-pura lagi. Tidak bisa terus menutup mata seolah tidak terjadi apa-apa, seperti lima tahun lalu ketika egonya terlalu tinggi untuk mengakui kenyataan. Waktu itu, ia memilih pergi demi menjaga citra, demi mempertahankan rasa

