Pagi itu di rumah Cantika dan Ezra, cahaya matahari yang hangat menerobos tirai linen tipis dan jatuh seperti garis-garis keemasan di dinding kamar. Di atas nakas, gelas berisi air hangat jahe sudah mengepulkan uap. Bu Ratri baru saja mengetuk pelan, “Ibu, ini jahe dan biskuit tawar. Kalau eneg, diminum sedikit-sedikit saja ya.” “Oke … simpan saja di meja,” kata Cantika kemudian bu Ratri pamit keluar dengan gesture tubuhnya yang membungkuk sekilas. Cantika duduk di kursi goyang dekat jendela, bantal penyangga punggung bertumpuk dua. Rambutnya dicepol asal, wajah tanpa riasan, tapi sepasang matanya tampak lebih teduh dari hari-hari sebelumnya. Di pangkunya ada buku catatan bergaris dengan tiga kolom judul besar yang ia tulis sendiri: 1. Yang Ezra pegang 2. Yang didelegasikan 3. Yang k

