Jam dinding di ruang kerja utama HorizonOne berdetak pelan, tapi bagi Cantik Maverick, suara itu terasa seperti dentang bom waktu. Ia duduk di balik meja kerja dengan tiga layar menyala di depannya, spreadsheet kontrak vendor terbuka bersamaan dengan notulen rapat audit dan diagram revisi jalur pondasi dari tim teknis. Di luar kaca, proyek besar itu tampak seperti lautan merah dan debu. Di dalam sini, tekanan terasa lebih pekat dari udara kota Jakarta saat musim hujan. “Kenapa file penawaran dari vendor logistik baru enggak sesuai standar?” gumamnya, separuh bicara pada diri sendiri, separuh kepada Trina—asistennya yang sudah setengah panik. “Saya udah minta revisi tiga kali, Bu. Tapi mereka terus ngotot soal termin pembayaran yang diubah.” Cantik menutup file keras-keras. “Kalau merek

