4. Pertentangan

1129 Kata
"Saya tidak mengancam, tapi memerintah," ucap Raymond membuat Amara menatap tajam Raymond. "Bapak ini aneh. Saya mau lanjut kuliah atau tidak, itu bukan urusan Bapak!" sentak Amara. "Sebenarnya saya juga tidak peduli kamu mau lanjut kuliah atau tidak. Tapi karena sekarang kamu adalah ibu s**u anak saya, maka apapun yang kamu lakukan, sedikit banyak menjadi urusan saya," ucap Raymond dengan datar. "Tetap saja bagi saya itu tidak masuk akal, Pak," ucap Amara dengan ketus. "Kamu tahu peraturan yang saya berikan sebagai dosen?" tanya Raymond dengan nada dingin. "Yang pertama ... dosen selalu benar." Raymond lalu mengacungkan telunjuknya ke arah atas. "Dan yang kedua ...." "Kalau dosen salah, balik lagi ke peraturan nomor satu," ucap Amara terdengar seperti berdesis. "Bagus, ternyata kamu tidak melupakannya. Jadi bagaimana Amara?" tanya Raymond dengan seringai tipis. Amara memejamkan mata sembari menarik napas dalam, mencoba menahan kesabarannya. "Saya yakin Bapak memiliki motif lain dengan meminta saya kembali kuliah." Raymond yang mendengarnya, menampilkan senyum puas. Meskipun dalam keadaan rapuh, ternyata Amara masih memiliki naluri yang cukup tajam, meskipun hanya sedikit. "Kamu ternyata masih tetap waspada seperti biasanya," ucap Raymond yang perlahan mengikis jarak di antara keduanya. Raymond menunduk guna mensejajarkan tingginya dengan Amara. Tatapan Raymond yang tajam sering sekali membuat para mahasiswanya gemetar, tapi tidak dengan Amara yang berani berargumen dengannya. Keheningan pun tercipta, sampai terdengar suara teriakan yang menggelegar. "Mas Raymond! Jadi ini alasannya kamu tidak mau menikah denganku. Bisa-bisanya kamu melupakan Mbak Hanna secepat ini dan terpikat sama jalang ini!" "Aduh!" Sebuah tamparan mendarat di pipi Amara, dan dia juga merasa rambutnya ditarik dengan kuat. Telinganya pun berdengung keras. Belum sempat memproses apa yang terjadi, Amara merasakan wajahnya bertabrakan dengan sesuatu yang keras. Suasana di depan ruangan NICU berubah menjadi riuh, sebab para penunggu bayi lainnya hanya bisa mengamati situasi tanpa berani ikut campur. "Apa-apaan kamu, Jessica. Kenapa kamu melakukan kekerasan pada ibu susunya Theodore." Suara dingin Raymond membuat Jessica tersentak, wajahnya memerah karena rasa malu akibat ditegur Raymond di depan umum. Tapi Jessica segera menetralkan raut wajahnya dan menatap Raymond yang sedang memeluk Amara. "Mas Raymond! Aku hanya melakukan apa yang menurutku benar. Mbak Hanna jelas-jelas menitipkan Mas Raymond dan Theodore sama aku. Jadi aku nggak akan membiarkan siapapun merusak amanah Mbak Hanna. Dan satu lagi ...." Jessica menghentikan ucapannya lalu menunjuk Amara dengan murka. "Beraninya Mas Raymond menjadikan perempuan nggak jelas itu sebagai ibu s**u keponakanku!" Raymond berdecak keras saat Jessica menyelesaikan ucapannya, perlahan dia melepaskan pelukannya pada Amara dan melangkah mendekati Jessica. "Siapa yang kamu bilang perempuan nggak jelas? Apa kamu meragukan kapasitasku sebagai ayahnya Theodore? Dan lagi ini rumah sakit dan kamu telah membuat keributan. Apa kamu tidak merasa bersalah pada orang-orang yang tentunya terganggu dengan perbuatanmu ini?" Jessica tak lagi dapat berkata-kata lagi setelah Raymond selesai berbicara. "Pak Raymond ..." panggilan itu membuat Raymond menoleh ke arah Amara. "Astaga! Amara. Hidungmu berdarah!" Raymond segera menarik Amara menuju IGD, meninggalkan Jessica yang terpaku di tempatnya berdiri. Di IGD, Raymond segera meminta seorang perawat untuk mengobati Amara. Pria itu mengamati dengan intens saat Amara diobati dan menghela napas panjang. Sebab saat ini, wajah Amara terlihat beberapa tahun lebih tua. Sebenarnya apa yang terjadi dengan gadis yang biasanya terlihat enerjik ini. Pikir Raymond di dalam hatinya. "Maaf. Saya tidak mengira jika adik istri saya melakukan kekerasan sama kamu. Kalau mau, kamu bisa menuntutnya," ucap Raymond setelah perawat selesai mengobati luka Amara. "Saya tidak akan menuntut perempuan gila itu. Tapi sebagai gantinya ... saya mau 'bermain-main' dengannya. Dan saya harap Bapak tidak keberatan," ucap Amara yang terlihat sebagai preman dengan plester luka di sudut bibirnya. Raymond menaikkan alis kanannya, tertarik dengan apa yang akan dilakukan oleh Amara. "Kenapa saya harus keberatan, lakukan saja yang kamu mau. Dan saya harap kamu mulai mempersiapkan diri untuk mengikuti semester baru yang akan berlangsung 3 minggu lagi." Amara berdecak kesal, karena Raymond tetap bersikukuh agar dia kembali berkuliah. Tanpa sadar gadis itu melontarkan protes. "Kenapa Bapak ribet banget sih urusin hidup saya." "Amara Daniswara." Gadis itu terdiam saat Raymond memanggil nama lengkapnya, dia merasa sang dosen seperti ingin menguji dirinya. Seperti yang biasa Raymond lakukan saat Amara mendapatkan kelas yang diajar oleh pria itu. "Pak. Please deh. Ini bukan di kampus. Jadi Bapak nggak usah pasang tampang sok sangar kayak gitu," gerutu Amara. "Pilihannya hanya dua. Kamu mau menyusui Theodore dan kembali kuliah atau ... kamu lebih suka kalau kehamilanmu ini diketahui oleh orang banyak." Amara hanya bisa menggeram saat mendengar ancaman yang berbalut kata permintaan itu. "Oke! Saya setuju untuk kembali kuliah!" jerit Amara yang membuat Raymond tersenyum puas. "Bagus. Saya akan membantu kamu untuk mendaftar satu kelas yang tersisa. Selain itu siapkan juga proposal sempro kamu." Mata Amara melebar setelahnya. "Pak Raymond. Ini rumah sakit bukan kampus," sahut Amara dengan sinis. Namun Raymond hanya mengangkat bahu, pertanda tak peduli dengan apa yang diucapkan Amara. "Sepertinya ibu saya sudah kembali dan dia pasti mencari kita." Amara mendengus pelan saat melihat ekspresi tenang Raymond yang seolah tak tergoyahkan oleh ledakan emosinya. Pria itu berjalan lebih dulu, membiarkan Amara mengikutinya dari belakang. Sesekali, gadis itu memegang perutnya yang mulai terasa tidak nyaman. Nyeri bekas sayatan pada perutnya, tak seberapa jika dibandingkan dengan luka fisik maupun batin yang baru saja dia terima. Namun dia harus tetap kuat, setidaknya demi seorang bayi yang memerlukan ASInya. Dan juga misi balas dendamnya kepada orang-orang yang telah membuatnya hancur. Saat keduanya tiba di depan ruangan NICU, Juwita menunggu dengan tangan terlipat di d**a. Tanpa basa-basi Juwita langsung menghampiri dan mengecek keadaan Amara, raut kekesalan sangat tergambar pada wajahnya yang masih terlihat cantik. "Ya Tuhan! Lihat ini. Wajah Amara yang cantik jadi terluka seperti ini. Raymond. Tadi ada yang bilang sama Mama, kalau Amara ditampar dan dijambak sama wanita muda. Wanita itu Jessica 'kan?" Juwita lalu melepaskan kedua tangannya dari wajah Amara dan berhadapan wajah dengan Raymond. "Iya, Mah. Itu Jessica." "Astaga! Wanita itu sudah gila rupanya, Ray. Dari awal Mama ketemu dia, feeling Mama sudah tidak enak. Ternyata dia mengincar kamu dan memanfaatkan kematian kakaknya untuk melakukan pernikahan turun ranjang," ucap Juwita. "Kenapa Mama bisa tahu soal ini?" tanya Raymond penasaran. "Tadi Mama menyempatkan diri menjenguk Diana, dan Ricky mengatakan permintaan untuk menikahkan kamu dengan Jessica. Alasannya biar Theodore punya mama baru. Tapi jujur aja, Ray. Jessica itu sangat berbeda dengan istrimu dan Mama tidak menyukainya." Raymond hanya mengangguk saat Juwita menjelaskan. "Kalau begitu Mama tenang saja, karena aku juga tidak menyukainya," ujar Raymond dengan lantang. Sementara Amara yang berdiri tak jauh dari keduanya langsung memalingkan wajah, menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca. Pemandangan yang seharusnya menghangatkan jiwa itu, malah seperti belati yang menancap di dadanya. "Maaf Bu Juwita, Pak Raymond. Saya permisi dulu," ucap Amara yang segera berlalu dari hadapan keduanya. Raymond tersentak saat mendengarnya, tapi bayangan Amara tak lagi terlihat. "Raymond! Cepat susul Amara!" Titah Juwita yang sempat melihat Amara meneteskan air mata.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN