3. Jadilah Ibu ASI Anakku

1177 Kata
Raymond menyusuri lorong rumah sakit dengan langkah cepat, seolah mencoba meninggalkan segala beban yang baru saja dijatuhkan ke pundaknya. Hatinya bergemuruh, pikirannya kacau. Dia tidak menyangka bahwa di tengah duka mendalam karena kehilangan Hanna, keluarga mendiang istrinya justru mencoba "mengatur ulang" hidupnya secepat ini. Langkah Raymond terhenti ketika dia sampai di taman kecil di samping gedung rumah sakit. Hujan masih turun rintik-rintik, menyisakan embun di dedaunan. Dia duduk di bangku taman, membiarkan jaket bomber hitamnya basah oleh sisa hujan yang masih menetes dari kanopi pohon. Tangannya merogoh saku jaket, mengeluarkan foto kecil Hanna yang selalu dia simpan di dalam dompet. Dalam foto itu, Hanna tersenyum lembut dengan memakai kebaya berwarna pink. Air mata Raymond menetes tanpa suara. "Hanna … mereka pikir aku semudah itu untuk melupakanmu," gumamnya lirih. Beberapa menit berlalu dalam keheningan hingga suara langkah kaki menghampiri. Raymond menoleh sekilas dan mendapati seorang perawat wanita berdiri canggung tak jauh darinya. “Pak Raymond ...” panggil perawat itu ragu. “Ya?” jawab Raymond seraya menyeka wajahnya. "Syukurlah saya bertemu Bapak di sini. Saya baru dapat informasi dari NICU jika salah satu bayi di sana ... baru saja meninggal dunia pagi tadi. Dan ASI dari Ibu itu mengalir deras. Jadi kami berpikir siapa tahu Ibu itu bisa menjadi pendonor ASI untuk bayi Bapak," jelas perawat itu sopan. Raymond tersentak. Ini jelas ini kabar baik di tengah kekalutan pikirannya. “Siapa nama ibu itu, Ners?” tanyanya. “Amara Daniswara, Pak." Mata Raymond sontak melebar saat mengetahui siapa nama calon ibu s**u Theodore. Dia menghela napas kasar lalu menatap perawat itu dengan serius. "Maaf, Ners. Adakah calon pendonor ASI selain ibu itu?" Perawat itu tersentak saat mendengar ketidakramaan dari nada suara Raymond, dalam hatinya perawat itu berasumsi jika Raymond mengenali dan memiliki hubungan yang tidak baik dengan Amara. "Untuk sementara tidak ada, Pak. Ibu s**u yang siap hanya Ibu Amara. Dan hasil pemeriksaan medis menyatakan jika Ibu Amara sehat." Perawat itu menjawab dengan tenang di bawah tatapan Raymond yang mengintimidasi. "Terima kasih atas informasinya, Ners. Saya tetap akan mencari donor ASI lain secepatnya," ucap Raymond dengan nada yang tidak ingin terbantahkan. Perawat itu mengangguk lalu meninggalkan Raymond yang kembali terpekur menatap foto Hanna. Suara petir yang menggelegar akhirnya menyadarkan lamunan Raymond, dia bergegas menuju ruangan NICU. Sesampainya di sana Raymond melihat Juwita berjalan mengitari luar ruangan NICU dengan gelisah. "Mah ...." Juwita menoleh dan tampak lega saat melihat kehadiran Raymond, dia segera berlari menghampiri sang putra lalu menggenggam erat kedua lengannya. "Syukurlah kamu sudah datang. Mama tadi sempat ketemu sama calon ibu ASI untuk Theo. ASI miliknya sangat berlimpah dan ternyata sangat cocok di badan anakmu. Tinggal menunggu persetujuan dari kamu saja dan kita buat surat kontrak untuk wanita itu." Raymond mengerutkan dahi, tanda tak mengerti apa yang sedang dibicarakan oleh sang ibu. "Mah. Bisa cerita dari awal?" tanya Raymond yang kini melepaskan genggaman tangan sang ibu. "Tadi siang perawat bagian anak mengatakan jika ada seorang bayi yang meninggal tadi pagi setelah dilahirkan dua hari yang lalu. Mama sempat ketemu sama ibu bayi yang meninggal itu. Dia merasa bingung mau dikemanakan ASI yang melimpah, karena itu Mama berinisiatif untuk meminta sedikit ASI miliknya untuk Theodore," jelas Juwita yang membuat Raymond tertuju akan satu nama. Dia menghela napas panjang dan tanpa sadar menaikkan intonasi suaranya kepada Juwita. "Kenapa Mama tidak menunggu aku saat bertemu dengan gadis itu?!" "Raymond! Turunkan nada suaramu. Ini di rumah sakit." Teguran Juwita membuat Raymond terdiam. "Tapi Mah ... biar bagaimanapun juga aku harus menilai sendiri bagaimana kepribadian dari calon ibu s**u anakku," kilah Raymond. "Raymond. Kenapa Mama merasa kalau kamu tidak menyukai calon ibu s**u Theodore? Apa kamu mengenalnya?" tanya Juwita sembari menatap tajam Raymond. Raymond terdiam sejenak. Wajahnya menegang dan Juwita memperhatikan ekspresi sang putra. "Ternyata kamu mengenalnya. Siapa dia Raymond?" tanya Juwita dengan nada menuntut. Raymond memalingkan wajahnya, tak ingin menatap Juwita untuk saat ini. Sebab sang ibu selalu punya cara untuk membuatnya berkata jujur. "Raymond." Pria itu mengembuskan napas panjang, lalu menatap sang ibu. "Namanya Amara. Dia mahasiswaku dan termasuk dalam mahasiswa yang berprestasi, tapi dua hari sebelum seminar proposal ... tiba-tiba dia menghilang tanpa kabar. Sekarang tahu-tahu muncul lagi dalam situasi seperti ini." Juwita mengernyit, mencoba mencerna informasi itu. "Dan karena itu kamu menolak ASI-nya?" Raymond mendesah. "Bukan cuma itu, Mah. Tadi kami tidak sengaja bertemu. Dia terlihat lemah, pucat ... dan aku merasa dia menyembunyikan sesuatu." Juwita menggeleng kecewa. "Ray, ini bukan tentang masa lalu kalian. Ini tentang anakmu yang cocok dengan ASI Amara. Gadis itu bersedia, tapi kenapa kamu malah menolaknya? Kamu mau ego kamu membuat cucu Mama kekurangan gizi?" Raymond terdiam, kata-kata ibunya menampar kesadarannya. "Mama minta temui gadis itu dan pertimbangkan dia untuk menjadi ibu s**u Theodore." Titah Juwita yang tak dapat dibantah lagi oleh Raymond. "Oke. Aku akan menemuinya sekarang, tapi jangan berharap lebih," ucap Raymond setelah membuang nafas kasar. "Bagus. Sebentar lagi dia akan ke mari. Mama menyuruhnya makan setelah memompa ASInya." Tepat setelah Juwita mengatakan itu, orang yang sedang menjadi topik pembicaraan sepasang ibu dan anak itu muncul. Juwita yang menyadari keberadaan Amara langsung menghampiri gadis itu. "Amara," sapa Juwita lembut, menghampiri gadis muda yang masih mengenakan kemeja abu-abu oversize. Amara menoleh perlahan. Matanya terlihat sembab, tetapi tetap berusaha tersenyum. Juwita menggenggam lembut tangan Amara. "Bagaimana setelah makan. Merasa lebih segar?" "Iya. Energi saya sedikit terisi setelah makan," ucap Amara pelan. Sementara Raymond berdiri agak jauh, memperhatikan percakapan itu dengan perasaan campur aduk. Ada bagian dari dirinya yang ingin menghentikan semua ini, tapi sebagian lainnya tahu jika dia tak punya alasan logis untuk menolak ASI dari seorang ibu yang bahkan kehilangan bayinya pagi ini. “Ray,” panggil Juwita, menyadarkan sang dari lamunan. Raymond menghela napas lalu melangkah mendekat. “Amara.” Lagi-lagi Amara terkejut saat bertemu dengan Raymond, tapi gadis itu segera menyapa sang dosen dengan sopan. “Pak Raymond.” Ada jeda canggung di antara mereka. Juwita memilih untuk menyingkir, memberi ruang bagi keduanya untuk berbicara. Raymond menatap gadis itu dengan mata tajam tapi ragu. "Saya dengar dari Mama kalau kamu telah memberikan sedikit ASI milikmu untuk Theodore, putra saya." "I-iya Pak. Maaf jika saya telah lancang," ucap amarah yang terdengar seperti bercicit. "Sudahlah. Kamu tidak mau minta maaf. Jadi apa kamu yakin mau menjadi ibu s**u putra saya?" tanya Raymond dengan nada tajam. "Kalau Bapak tidak bersedia saya yang menjadi ibu s**u putra Bapak. Maka saya akan mengundurkan diri," jawab Amara dengan sorot mata kesedihan yang tak dapat ditutupi. Raymond mengamati penampilan Amara yang sangat berbeda jauh sebelum tiba-tiba menghilang di hari 'sempro'. Gadis ini tampak tak terurus, rona merah pada wajahnya pun menghilang. Perkataan keluarga mendiang sang istri yang menginginkan dia melakukan pernikahan turun ranjang dengan Jessica seketika terngiang-ngiang di dalam kepalanya. Raymond kembali mengembuskan napas kasar. Tak dia sangka akan menggunakan Amara sebagai tameng untuk menghindari permintaan konyol itu. "Baiklah. Kamu akan menjadi ibu s**u putra saya. Tapi selain itu saya juga menginginkan kamu kembali kuliah. Ini perintah atau ... saya akan menyebarkan fakta di media sosial kampus, jika kamu telah melahirkan," ucap Raymond dengan seringai sinis. "Bapak mengancam saya?!" tanya Amara dengan raut wajah tak percaya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN