Setelah Diana dibawa ke rumah sakit, keadaan di rumah duka berangsur kondusif. Petugas dari rumah duka akhirnya dapat melakukan penutupan peti.
Meskipun tak rela, Raymond menyaksikan seluruh proses itu sembari melihat wajah sang istri untuk yang terakhir kalinya.
Ketika akan bersiap menuju rumah sakit untuk melihat kondisi mertuanya, seseorang memanggil Raymond dengan nada cukup keras.
"Mas Raymond."
Dia menoleh dan melihat Jessica-adik iparnya melangkah mendekatinya. Wajahnya sembab menandakan jika gadis itu terlalu banyak menangis.
"Ada apa?" tanya Raymond.
"Mas ... aku tahu ini terdengar tak masuk akal, tapi aku ... harus mengatakannya sama Mas," kata Jessica sembari terisak.
"Kalau tidak mendesak, kita bisa bicara besok setelah pemakaman Hanna. Aku harus ke rumah sakit untuk melihat Mami dan Theodore," ujar Raymond yang tak sabar ingin melihat sang putra.
Jessica menghirup napas dalam-dalam, lalu menatap Raymond penuh keseriusan. "Aku kemarin bermimpi Mbak Hanna berkata jika aku harus menggantikan posisinya untuk menjaga Mas dan anak kalian."
"Jangan gila kamu, Jessica. Mbak kamu baru meninggal dan kamu bisa-bisanya mengatakan hal tak masuk akal seperti ini!" sentak Raymond.
"Tapi ini banar, Mas. Mbak Hanna sendiri yang bilang seperti itu."
Melihat Jessica yang masih bertahan pada pendapatnya, membuat Raymond langsung meninggalkan rumah duka tanpa bicara.
"Mas Ray. Tapi ini pasti keinginan Mbak Hanna!"
Raymond bukannya tak mendengar teriakan Jessica, tapi dia memilih untuk mengabaikannya.
Jessica mengepalkan tangannya saat melihat Raymond mengacukannya. Dia bersumpah dalam hati jika akan membuat Raymond menikahinya suatu saat nanti.
***
Pemakaman Hanna diiringi oleh turunnya hujan deras. Raymond menatap nanar liang lahat sang istri yang sudah tertutupi oleh tanah seluruhnya.
Raymond melihat sekilas Diana yang masih terbaring di ruang perawatan dengan wajah pucat, melalui Zoom yang dimoderatori oleh kakak laki-laki Hanna.
Tepukan pada bahu menyadarkan Raymond dari lamunan. Dia melihat Ricky-ayah mertuanya memaksakan sebuah senyuman.
"Sebaiknya kita segera ke rumah sakit sekarang. Papi mau bicara sama kamu, Ray," ucap pria paruh baya itu.
Raymond mengangguk dan segera menuju mobilnya, dia menerobos derasnya hujan dan berpura-pura tidak mendengar saat Jessica memanggilnya.
Sepanjang perjalanan, Raymond bertanya-tanya apa yang akan Ricky bicarakan dengannya.
"Jangan-jangan mereka mau membawa Theodore. Aku nggak akan membiarkannya terjadi. Dia itu adalah satu-satunya kenangan yang tersisa dari Hanna," gumam Raymond.
Terlalu banyak berpikir, membuat Raymond tak menyadari jika dia sudah sampai di rumah sakit. Dia segera menuju ruang perawatan Diana dengan berbagai perasaan yang berkecamuk. Mencari donor ASI secepatnya untuk Theodore dan apa yang ingin Ricky bicarakan dengannya.
Terlalu larut dalam lamunannya membuatnya tak menyadari jika di depannya ada seorang gadis yang berlari. Beberapa detik kemudian, tabrakan antara Raymond dan gadis itu tak terelakan.
Raymond merasakan dadanya terkena benturan yang keras disusul suara erangan kecil yang keluar dari mulut sang gadis.
"Aduh! Sakit ...."
Raymond mengerutkan dahinya, merasa familiar dengan suara gadis yang terduduk di lantai sembari memegangi perutnya.
"Amara."
Gadis yang dipanggil Amara tersentak dan langsung mendongak, matanya membulat saat melihat Raymond yang berdiri menjulang di hadapannya.
"Pak ... Pak Raymond!"
Amara berusaha berdiri, meskipun bokongnya terasa sakit. Sementara Raymond yang melihatnya tak berniat untuk membantu gadis itu untuk berdiri.
"Maafkan saya, Pak," ucap Amara yang tak berani melihat wajah sang dosen.
"Maaf untuk apa? Apa karena kamu menghilang tiba-tiba saat jadwal 'sempro' 4 bulan yang lalu?" tanya Raymond dengan nada tajam.
Amara hanya dapat tertunduk menghadapi kemarahan dosen pembimbingnya itu.
"Maafkan saya, Pak. Waktu itu saya ada keperluan mendadak dan ponsel saya hilang, maka dari itu saya tidak dapat menghubungi Bapak."
Raymond menghela napas kasar lalu berbicara pada Amara yang baru dia sadari terlihat pucat. Namun apa pedulinya, Amara sudah mengecewakannya.
"Itu sudah bukan urusan saya. Dan silahkan kamu mencari dosen pembimbing lain, itu juga kalau kamu masih berniat untuk menyelesaikan kuliahmu." Setelah mengatakan itu, Raymond segera berlalu dari hadapan Amara tanpa menoleh. Isakan kecil yang keluar dari mulut Amara bahkan tak dipedulikannya.
Sesampainya di ruang perawatan Diana, Raymond memicingkan mata saat melihat Jessica yang duduk di tepi ranjang Diana, sementara Ricky duduk sembari berkutat dengan tabletnya.
Diana segera menoleh begitu mendengar langkah kaki Raymond memasuki ruangan. Wajahnya masih terlihat pucat, tetapi senyum lemah berusaha dia tampilkan.
"Raymond … sini duduk," panggil Diana lirih.
Raymond melangkah pelan dan duduk di sisi ranjang yang kosong, menyempatkan diri menatap Ricky sejenak, lalu beralih ke Diana. Jessica memilih menyingkir ke kursi di pojok ruangan, diam namun tetap mencuri-curi pandang ke arah Raymond.
"Apa Mami sudah membaik?" tanya Raymond, menjaga nada suaranya tetap sopan.
Diana mengangguk pelan. "Sudah lebih baik. Dokter bilang Mami hanya perlu istirahat total selama beberapa hari."
Ricky menutup tabletnya, lalu menatap Raymond dengan sorot mata serius. "Ray, kita harus bicara soal masa depan Theodore."
Raymond langsung tegang. Sesuai dugaan, pembicaraan yang ia khawatirkan akhirnya benar-benar terjadi. "Apa maksud Papi?"
Ricky berdiri dan berjalan pelan mendekati jendela, menatap hujan yang masih deras turun dari langit kelabu. "Kami sudah mendiskusikan hal ini dengan saudara-saudara Hanna yang lain. Kamu butuh sosok ibu untuk membesarkan Theodore, dan kami semua sepakat agar kamu melakukan pernikahan turun ranjang dengan Jessica."
"Saya mencintai Hanna, bukan Jessica. Dan saya yakin bisa mengurus Theodore sendiri, Papi. Jadi lupakan ide konyol agar aku menikahi Jessica." Tolak Raymond mentah-mentah.
Ricky menoleh dan menatap Raymond dengan sorot mata tajam namun tetap penuh wibawa. “Ray. Kamu sekarang seorang ayah dari bayi yang baru lahir. Apa kamu pikir bisa membagi waktu antara mengasuh Theodore dan bekerja?"
Raymond mengepalkan tangannya di atas pahanya, berusaha tetap tenang walaupun dadanya bergemuruh. “Saya tidak butuh istri baru, Papi. Saya cuma butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Saya jamin Theodore nggak akan kekurangan kasih sayang meskipun saya bekerja."
Jessica yang sedari tadi duduk diam, akhirnya angkat bicara dengan suara pelan, namun cukup jelas untuk memotong ketegangan. “Mas Ray, aku nggak pernah maksain. Tapi kalau memang Mbak Hanna menitipkan Theodore padaku lewat mimpi itu … aku bersedia menjaga dia seperti anakku sendiri.”
“Cukup, Jess,” potong Raymond cepat. “Itu cuma bunga tidur. Jangan bawa-bawa nama Hanna untuk memuluskan keinginanmu.”
Wajah Jessica memucat. Matanya mulai berkaca-kaca, tapi dia segera menunduk, mencoba menyembunyikan perasaannya. Sementara Diana menatap Raymond dengan sendu.
“Raymond … ini bukan tentang menggantikan Hanna. Tapi ini tentang Theodore. Kami ingin memastikan jika dia tumbuh dengan baik, dikelilingi oleh orang-orang yang menyayanginya. Jessica … dia memang masih muda, jadi berikan kesempatan untuknya agar ikut mengurus Theodore."
"Tidak ada tapi. Sekali tidak tetap tidak. Saya tidak ingin menyakiti Hanna dengan menikahi adik kandungnya sendiri."
Ricky berdecak saat Raymond menyelesaikan kalimatnya. Dia lantas mengacungkan telunjuknya ke arah Raymond.
"Dasar anak muda sombong. Sudah bagus kami menawarkan pernikahan turun ranjang ini. Apa kamu pikir sanggup mengurus bayi yang baru lahir sendirian!"
Raymond menarik napas dalam-dalam, memenuhi paru-parunya dengan oksigen sebanyak mungkin. Setelah agak tenang barulah Raymond menatap Ricky dengan tegas.
"Sanggup atau tidaknya, saya belum tahu. Tapi saya akan belajar. Karena saya ayah dari anak itu, dan saya tidak akan menyerahkan tanggung jawab saya pada siapa pun, apalagi dengan dalih pernikahan yang tidak saya inginkan."
Jessica menoleh ke arah Ricky, seakan meminta bantuan. Tapi pria paruh baya itu justru memilih duduk kembali, menatap Raymond dengan tatapan tajam bercampur kecewa.
"Kamu keras kepala, Raymond."
Raymond hanya mengangguk. "Lebih baik keras kepala daripada menyesal seumur hidup karena keputusan yang saya tahu tidak berasal dari hati."
Setelahnya Raymond meninggalkan ruang perawatan Diana dengan keheningan yang pekat.