Jessica dengan tidak tahu malunya mengirim foto dirinya yang sedang berada di pantai. Dengan hanya mengenakan bikini.
Raymond menggeram lalu memberikan ponselnya kepada Juwita. "Mah. Jessica sudah tidak bisa dibiarkan. Beraninya dia mengirimkan foto seperti ini."
"Pantas saja dia bersemangat sekali mengatakan Amara murahan, ternyata dia sendiri yang murahan," ucap Juwita yang segera mengembalikan ponsel itu pada pemiliknya.
"Aku akan memblokir nomor Jessica, Mah," ujar Raymond setelah membuang napas kasar.
"Lebih baik kamu beli lagi ponsel baru. Handphonemu yang ini biar Mama yang pegang," usul Juwita yang direspon anggukan kepala oleh Raymond.
"Iya Mah. Aku sebenarnya baru beli handphone lima hari yang lalu, rencananya mau aku hadiahkan untuk Hanna. Tapi sayang ...."
"Sudahlah Ray. Jangan terlalu bersedih, nanti Hanna di sana tidak tenang kalau kamu terpuruk seperti ini." Raymond hanya terdiam saat sang ibu menasihatinya.
Hening sejenak sebelum Amara datang dan memanggil Juwita dengan pelan. "Bu Juwita."
Juwita menoleh dan melihat Amara berdiri dalam keadaan bingung, wanita itu segera menghampiri ibu s**u Theodore.
"Ada apa, Nak Amara?" tanya Juwita.
"d**a saya sakit, Bu. Sepertinya ASI saya penuh lagi, padahal baru 4 jam lalu saya pompa," jawab Amara dengan berbisik.
Juwita memandang Amara dengan tersenyum tipis. "Amara. Sudah saya bilang, panggil Tante. Jangan Ibu. Dan semakin sering kamu menyusui dan memompa ASI, maka produksi ASImu akan semakin banyak."
Amara hanya mengangguk saat mendengarnya, lalu bicara dengan suara pelan." Jadi sekarang saya harus memompa ASI, ya, Bu?"
"Kenapa harus dipompa? Kamu bisa memberikannya langsung pada Theodore. Sebentar lagi dia akan dipindahkan ke ruangan perawatan biasa."
"Apa boleh seperti itu ... Tante?" tanya Amara dengan ragu.
"Tentu boleh. Lebih bagus itu menyusui langsung," jawab Juwita.
"Mah. Bagaimana kalau Theo aku daftarkan di ruang perawatan kelas 2? Dengan begitu keluarga Hanna, tidak akan sembarang keluar masuk ruang perawatan," tanya Theodore yang akhirnya menghampiri kedua wanita itu.
"Kelas dua, ya? Satu ruangan berapa pasien Rey, Empat orang? Boleh. Mama setuju," jawab Juwita sembari tersenyum.
"Kalau begitu aku urus dulu untuk pemindahan Theo dari ruangan NICU ke ruang perawatan biasa." Setelah mengatakan itu Raymond berlalu dari hadapan keduanya.
30 menit kemudian, Theodore yang telah berada di ruangan perawatan kelas dua, sedang disusui oleh Amara.
"Aduh!"
Amara memejamkan mata sejenak, mencoba menahan rasa perih dari hisapan kuat Theodore. Meski sakit, ada kebahagiaan yang tidak bisa dia jelaskan saat melihat wajah mungil bayi itu yang menatapnya. Setidaknya ASI miliknya tidak akan terbuang percuma setelah anaknya meninggal.
Juwita yang sejak tadi duduk di kursi sebelah tempat tidur, memperhatikan keduanya dengan senyum yang hangat. “Sabar ya, Nak. Awal-awal memang terasa nyeri. Tapi nanti lama-lama kamu akan terbiasa.”
Amara mengangguk pelan. “Iya, Tante. Saya ikut bahagia karena Theo semakin sehat dengan meminum ASI milik saya."
Ucapan Amara membuat senyum Juwita perlahan memudar. Dia menatap Amara dengan mata berkaca.
"Kamu benar-benar anak baik, Amara. Hanya saja, kamu salah memilih pergaulan."
Mendengar kata perkataan Juwita membuat d**a Amara terasa sesak. Tidak ada nada penghakiman yang dia tangkap, malah nada lembut keibuan yang ironisnya semakin menorehkan luka pada hatinya.
Beberapa menit kemudian, Raymond masuk ke ruangan sambil membawa sebuah kotak kecil dan dua botol s**u yang sudah disterilkan. Namun, dia tertegun saat melihat Theodore sedang menghisap salah satu buah d**a Amara.
Kepalanya seketika berat, dengan rona merah yang menjalari wajah Raymond. Napasnya pun mulai memburu. Dia berniat untuk pergi, tapi sayangnya Juwita sudah melihatnya.
"Raymond."
Dia menghampiri sang ibu dan mengambil posisi membelakangi Amara, agar tidak berlama-lama melihat sesuatu yang tak semestinya dia lihat.
Juwita menatap Raymond dengan tatapan tajam namun penuh pemahaman. “Kamu harus belajar menahan diri, Ray.”
Raymond menunduk. “Maaf, Mah. Aku … tidak sengaja. Aku pikir Amara sedang memompa ASI, bukan menyusui langsung.”
Amara yang menyadari keberadaan Raymond sejak awal, hanya bisa menunduk dalam-dalam. Wajahnya memanas, malu karena Raymond melihatnya dalam pose yang agak sensual.
“Sudah selesai menyusuinya?” tanya Juwita lembut sambil menoleh ke arah Amara.
Amara mengangguk perlahan, lalu dengan hati-hati memindahkan Theodore ke posisi sendawa di bahunya. “Sudah, Tante. Tapi dia minumnya kuat sekali … mungkin karena lapar.”
Juwita tersenyum tipis dan mengambil alih bayi kecil itu. “Sini, biar Tante gendong Theo, biar kamu bisa beristirahat."
Amara dengan cepat menarik jaketnya dan menutup tubuhnya rapat-rapat. Raymond yang masih membelakanginya, hanya dapat menatap lantai seolah sedang menyusun kata. Setelah yakin jika Amara sudah selesai menyusui putranya, dia berbalik dan mengunci tatapannya pada gadis itu.
"Amara. Setelah Theodore keluar dari rumah sakit, kamu akan ikut saya tinggal di apartemen. Jangan menolak, karena ini demi keamanan dan menjaga rahasia jika kamu menjadi ibu s**u anak saya."
Amara yang sebenarnya mulai mengantuk, hanya mendengarkan sekilas. "Atur saja bagaimana baiknya, Pak. Saya ikuti pendapat Bapak."
Raymond langsung mengulas sebuah senyum, tak dia sangka Amara akan menerima penawaran ini dengan suka rela.
***
Empat hari kemudian di apartemen Raymond. Tempat itu sudah dibersihkan dan diisi ulang dengan berbagai kebutuhan pokok.
Amara yang baru menyadari perkataannya tempo hari, hanya dapat memanyunkan bibirnya. Tak pernah terbayangkan olehnya akan tinggal satu atap dalam waktu lama dengan sang dosen killer.
Amara mendudukkan dirinya di sofa ruang tengah sambil memeluk bantal kecil berwarna abu-abu. Tatapannya menerawang ke arah jendela apartemen yang terbuka, membiarkan angin sore masuk dan menyapu pelan wajahnya.
Theodore sedang tertidur di boks bayi, dan Raymond belum pulang dari kampus setelah menjemput Theodore di rumah sakit dan membawanya ke apartemen yang memiliki 2 kamar ini.
Dia memandang sekeliling, melihat rak buku dengan koleksi literatur, majalah ekonomi dan beberapa pigura foto Hanna. Dan satu bingkai besar yang memuat foto Raymond bersama Theodore.
Amara menggigit bibir bawahnya. Ini bukan hidup yang dia rencanakan, bukan pilihan yang pernah terpikirkan. Tapi entah bagaimana, hidup justru membawanya ke titik ini. Mungkin ini yang disebut kesialan yang disengaja. Andai saja dia tidak hamil maka semua ini tidak akan menimpa dirinya.
Pintu apartemen terbuka. Raymond muncul dengan kemeja navy dan celana bahan hitam. Jangan lupakan juga sepatu pantofel yang membuat penampilan pria itu semakin berkharisma.
“Sudah kamu susui Theo tadi siang?” tanya Raymond sambil meletakkan tas kerjanya di meja.
Amara mengangguk singkat. “Sudah, Pak. Sekitar jam satu.”
Raymond duduk di seberangnya, menatap wajah Amara yang terlihat kelelahan. “Kamu boleh tidur lebih awal malam ini. Mama akan datang besok pagi untuk bantu jagain Theo.”
Amara mengangguk, lalu memberanikan diri bicara, “Pak Raymond .…”
“Ya?”
“Terima kasih … sudah memberikan tempat ini untuk saya. Saya tahu … saya cuma ibu s**u. Tapi Bapak tetap memperlakukan saya dengan baik.”
Raymond menatap Amara sebelum berkata. "Kamu jangan salah paham dulu. Semua ini saya lakukan, agar keluarga mendiang istri saya tidak mengganggu kamu."
Amara menunduk saat mendengarnya, menyadari jika Raymond masih menyimpan sisa kecewaan pada dirinya yang menghilang begitu saja pada hari 'sempro'. Padahal Raymond telah membangga-banggakan kepada semua dosen dan mahasiswa, jika Amara akan lulus dengan predikat mahasiswa terbaik.
"Amara. Jangan lupa kalau satu bulan lagi kamu akan kembali kuliah, kali ini jangan kecewakan saya lagi," ucap Raymond yang membuat gadis itu hanya tertunduk.