"Syukurlah kalau begitu. Mah, aku mau ke kampus dulu. Nanti sekitar jam 1, aku udah ada di sini lagi," ucap Raymond yang ditanggapi anggukan kecil oleh Juwita.
"Hati-hati mengemudinya, Ray. Mama akan temani Amara kontrol jahitannya dan juga bertemu dengan dokter anak."
Raymond menggangguk, lalu meninggalkan rumah sakit karena hari yang semakin merangkak siang.
"Amara. Mulai sekarang panggil Tante aja, ya. Biar bagaimanapun, kamu sekarang sudah menjadi bagian dari keluarga kami," ucap Juwita dengan senyum keibuan.
Ironis, saat ibu yang lain tersenyum hangat padanya, tapi dia sendiri lupa kapan terakhir kali ibunya tersenyum hangat padanya. Sepertinya saat dia berusia sebelas tahun.
'Sial! Kenapa aku harus mengingatnya sekarang?' Maki Amara di dalam hatinya.
Juwita yang melihat Amara hanya terdiam, mengira jika gadis itu merasa tidak nyaman dengan bekas operasinya. Secara naluri, dia menggenggam lembut tangan Amara. Tapi ternyata yang dilakukan oleh Juwita menambah luka yang ada di dalam hatinya.
Tanpa sadar Amara menangis dan membuat Juwita khawatir. "Nak Amara? Kamu kenapa? Bekas jahitannya masih nyeri sampai kamu nangis? Kalau begitu nanti pas ketemu dokter, bilang yang kamu rasakan."
"Saya tidak apa-apa, Bu. Mungkin kondisi mental saya belum pulih setelah melahirkan dan ditinggal anak saya untuk selamanya," ucap Amara memberikan alibi.
Juwita yang tahu jika Amara menyembunyikan kesedihannya hanya tersenyum, dia tahu yang dibutuhkan Amara adalah rasa nyaman dan perlindungan.
Dan saat gadis itu sudah mendapatkan keduanya, dia yakin jika Amara akan membuka diri untuk bercerita mengenai kesedihan yang sedang ditanggung olehnya.
"Amara. Ayo kita ke poli kandungan, tadi Tante sudah mendaftarkan namamu. Seharusnya giliran kamu sudah dekat," ajak Juwita.
Amara hanya dapat meneguk saliva, saat jahitan di bawah perutnya diperiksa. Dalam hati, dia berharap luka ini tidak akan meninggalkan bekas.
"Jahitan Mbak Amara sudah mengering, hanya dijaga saja selama masa nifas supaya lukanya tidak terbuka," ucap dokter kandungan dengan senyum kepuasan.
Juwita lalu mengucapkan terima kasih kepada sang dokter dan berpamitan, sembari membantu Amara untuk berjalan.
"Amara. Kamu kalau ada makanan yang mau dimakan, bilang aja. Nggak usah malu-malu," ucap Juwita ketika keduanya berjalan menuju ruang NICU.
Namun sebelum Amara sempat menjawab, dia merasakan tubuhnya terdorong oleh sesuatu. Dalam sekejap mata, Amara terjatuh, tapi untunglah kedua tangannya sempat menopang tubuhnya.
"Amara!" Juwita segera membantu gadis itu untuk berdiri.
"Kamu nggak apa-apa, Nak?" tanya Juwita dengan nada cemas.
"Tante ngapain sih baik-baikin perempuan ini?" Suara itu membuat Juwita menoleh, dia melihat Jessica yang berdiri tak jauh dari keduanya dengan wajah arogan.
"Justru Tante yang harusnya bertanya sama kamu, kenapa kamu mendorong Amara? Apa salah dia sama kamu?" tanya Juwita dengan kesal.
"Salah perempuan itu banyak, Tan. Karena dia, Mas Raymond tidak mau menikah denganku. Perempuan mana yang hamil tanpa suami kalau bukan perempuan jalang!"
Jessica sengaja meninggikan nada suaranya untuk mempermalukan Amara.
Suara riuh tak lama tercipta di sekitar mereka bertiga. Juwita memindai keadaan sekitar, dan menyadari tatapan penuh cemoohan yang tertuju kepada Amara.
Emosi Juwita semakin terpancing karena kelakuan adik dari mendiang menantunya itu. Dalam hati, dia bersumpah tidak akan membiarkan Jessica menikahi Raymond. Dia lebih rela melihat putranya bersanding dengan Amara.
"Memangnya siapa manusia di bumi ini yang tidak pernah melakukan kesalahan? Mungkin Amara pernah melakukan kesalahan yang fatal, tapi Tante percaya jika dia sudah menyesali perbuatannya ...."
Juwita menghentikan sejenak ucapannya untuk melihat reaksi Jessica. Merasa wanita itu tidak akan memotong perkataannya, membuat Juwita kembali berbicara.
"Jadi Tante minta sama kamu untuk tidak mengganggu Amara lagi. Mengerti?"
"Aku benar-benar tidak percaya kalau Tante membiarkan perempuan murahan ini menjadi ibu s**u keponakanku. Dan Tante ... aku pastikan Mas Raymond akan menikah denganku suatu saat nanti." Jessica melangkah pergi setelah menyelesaikan ucapannya, meninggalkan amarah pada hati Juwita.
"Ayo kita pergi, Nak Amara. Tante rasa Raymond harus tahu kelakuan dari adik iparnya itu. Perasaan Tante bilang, dia tidak akan berhenti begitu saja," ajak Juwita.
***
Raymond hanya dapat menghela napas kasar, saat Juwita memberitahu apa yang dilakukan Jessica kepada Amara. Ini sudah kedua kalinya wanita itu melakukan kekerasan kepada Amara.
Sebelumnya Juwita meminta Amara makan siang, agar gadis itu tidak semakin merasa bersalah.
"Ray. Mungkin lebih baik Amara tinggal bersama kamu, biar Jessica tidak mengganggunya lagi. Tapi Mama bingung bagaimana harus melapor pada ketua RT. Kalian bukan suami istri dan juga bukan saudara."
"Bagaimana kalau Mama juga ikut tinggal sama aku?" tanya Raymond tanpa sadar.
"Jangan ngaco kamu, Ray. Yang ada Papa marah kalau Mama tinggal sama kamu," ucap Juwita sembari menggelengkan kepalanya.
Raymond yang merasa bingung, akhirnya hanya memejamkan mata. Setelah beberapa saat berlalu, barulah dia menatap Juwita.
“Mah. Bagaimana kalau aku tinggal di apartemen setelah Theo keluar dari rumah sakit?” tanya Raymond pelan yang terdengar penuh pertimbangan.
“Kamu yakin, Ray?” tanya Juwita lembut. “Apartemen itu sudah lama nggak kamu pakai. Apa kondisinya masih layak?”
Raymond mengangguk. “Aku akan bersihkan apartemen itu. Aku juga bisa sewa jasa kebersihan. Lagipula, tempatnya cukup aman dan tidak banyak orang yang tahu. Termasuk keluarga Hanna.
Juwita mengangguk pelan. “Kalau begitu, Mama setuju. Tapi Mama minta satu hal.”
“Apa itu?”
“Jaga Amara dengan baik, Ray. Dia sedang tidak baik-baik saja dan membutuhkan pertolongan dari kita. Mama yakin dia menyimpan luka yang sangat dalam, sampai-sampai terjerumus pada pergaulan bebas."
Raymond terdiam, menatap sang ibu dengan tersenyum. “Aku tahu itu, Mah. Dan aku akan membantunya untuk mencapai cita-citanya. Amara itu salah satu mahasiswaku yang pintar."
Juwita tersenyum tipis saat mendengar pujian Raymond. Dia semakin yakin jika alasan sang putra sempat menolak Amara menjadi Ibu s**u Theodor, karena Raymond menyimpan kekecewaan yang mendalam kepada gadis itu.
"Oh iya, Mah. Apa kata dokter kandungan dan anak tadi?" tanya Raymond yang baru teringat akan Theodore.
"Katanya sore ini dipindahkan ke ruang perawatan biasa. Dan diobservasi selama tiga hari, kalau Theo semakin menunjukkan perkembangan yang bagus, dia bisa pulang empat hari lagi."
Raymond tersenyum lega saat mengetahui kondisi kesehatan putranya yang semakin membaik. Seandainya saja dia tak bertemu dengan Amara, mungkin saja keadaannya tidak seperti ini.
Theodore mungkin saja masih harus dirawat lebih lama. Belum lagi keluarga Hanna yang pasti akan terus mendesaknya untuk menikahi Jessica.
Raymond menyandarkan tubuhnya di kursi, matanya menatap langit-langit ruang tunggu dengan napas yang mulai lebih teratur. Meskipun Amara pernah mengecewakannya dengan menghilang begitu saja saat jadwal 'sempro'. Kini Raymond bersyukur karena bertemu dengan gadis itu.
Namun ketenangan Raymond tak berlangsung lama. Ponselnya tiba-tiba berdering hebat. Sebuah pesan masuk dari Jessica.
'Mas Raymond. Mas harus percaya padaku kalau perempuan itu murahan. Coba saja Mas tanya sama dia, siapa ayah dari anaknya. Pasti dia tidak tahu.'
Raymond menggeram kesal saat menyadari, jika Jessica sudah sangat mengganggunya.
"Ada apa, Ray? Kenapa kamu kelihatan kesal sekali?" tanya Juwita saat melihat perubahan raut wajah Raymond.
"Jessica sudah sangat menggangguku, Mah. Dia mulai sering mengirimkan aku pesan tidak jelas," jawab Raymond setelah menarik napas panjang.
"Kalau begitu, abaikan saja pesan dari Jessica," ucap Juwita.
Raymond baru saja ingin menghapus pesan dari Jessica ketika ponselnya kembali bergetar. Kali ini, bukan pesan teks biasa, melainkan sebuah foto.
Dengan dahi mengernyit, dia membuka gambar tersebut dan tubuhnya seketika membeku.