9. Mulai Peduli

1170 Kata
Raymond membuka pintu kamar tamu dengan perlahan, dan melihat Amara yang sedang menunduk. Dia lalu menghampiri gadis yang sedang melamun itu. "Amara." Raymond memanggil gadis itu perlahan agar tidak mengejutkan Amara. "Apa kamu membutuhkan hal yang lain?" tanya Raymond sembari mengulurkan sebuah gelas berbahan keramik. "Ini sudah cukup, Pak." Amara menerimanya dan mulai meneguk air hangat itu. Tenggorokannya memang merasa hangat, tapi tak cukup untuk menenangkan jiwanya yang sedang bersedih. Dia menatap Raymond dengan lirih. "Saya ... bolehkah saya tidur?" tanya Amara yang berpikir untuk menyusul anaknya yang sudah meninggal. "Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja kamu boleh tidur kalau mengantuk," jawab Raymond yang mengira jika itu hanya pertanyaan biasa. "Jadi saya tidak perlu bangun lagi?" tanya Amara yang semakin larut dalam kesedihannya. Raymond mengerutkan dahi, merasa aneh akan ucapan Amara. Belum sempat dia berbicara, kembali terdengar suara petir yang menggelegar. Bahkan kali ini efek dari sambaran petir, membuat aliran listrik pada perumahan Raymond terputus. "Tidak!!!!!!" Amara berteriak sembari melempar gelas yang sedang dipegangnya. Sedetik kemudian, terdengar pecahan kaca di lantai. "Amara!" Raymond refleks melompat ke arah Amara dan memeluknya. Tubuh gadis itu bergetar hebat, napasnya memburu, dan isak tangisnya pecah seketika. Tangannya menggenggam kuat baju Raymond, seolah gadis itu berada di ujung batasnya. “Saya capek ... saya sudah nggak kuat lagi ...” isaknya di d**a Raymond. “Saya sudah kehilangan semuanya, Pak ... anak saya ... dia satu-satunya alasan saya bertahan hidup ... tapi sekarang dia juga pergi ...." Raymond memejamkan mata, berusaha menahan emosi yang mulai ikut menggerogoti hatinya. Suara hujan dan petir di luar sana terasa seirama dengan badai di d**a Amara. “Dengar, Amara,” ucap Raymond pelan namun tegas. “Kamu masih hidup, dan itu berarti kamu masih punya kesempatan untuk mulai menata ulang hidup. Kamu juga sekarang ibu susunya Theodore. Jangan lupakan itu, Amara." Amara hanya dapat terisak dalam pelukan Raymond. Meskipun dibungkus oleh kalimat ketus, Amara tahu jika sang dosen masih memedulikannya. Tangisnya masih terdengar, tapi kini lebih pelan. Raymond perlahan melepaskan pelukannya, menangkup wajah Amara yang basah oleh air mata. "Dengar ini Amara. Kamu masih muda, perjalanan hidupmu masih panjang. Jadikan pengalaman buruk ini sebagai pelajaran, agar ke depannya kamu tidak melakukan kesalahan yang sama," ucap Raymond. Tepat setelah Raymond mengatakannya, listrik kembali menyala. Keduanya baru menyadari sedekat apa wajah mereka. Keadaan berubah menjadi canggung untuk beberapa saat. "Maaf ...." Raymond segera melepaskan tangannya dari wajah Amara yang memerah. "Amara. Jangan turun dari ranjang. Saya akan membersihkan pecahan kaca yang berserakan di lantai." Titah Raymond. Amara hanya terdiam melihat Raymond membersihkan pecahan kaca. Sentuhan tangan pria itu pada wajahnya tadi sempat membuatnya berpikir yang tidak-tidak. "Amara. Besok sore saya akan mengurus semuanya, agar kamu bisa kuliah semester baru ini. Seharusnya tubuh kamu sudah hampir pulih sekitar 26 hari lagi," ucap Raymond setelah selesai membersihkan pecahan kaca. "Terima kasih dan maaf sudah merepotkan Bapak," ucap Amara lirih. "Baru 4 bulan kamu menghilang, kepercayaan dirimu sudah hilang. Bagaimana kalau kamu menghilang lebih dari 1 tahun?" sindir Raymond yang membuat Amara terdiam. "Sekarang tidurlah. Hari sudah semakin larut," ucap Raymond yang lalu keluar dari kamar tamu. Di dalam kamarnya, Raymond segera merebahkan tubuh di ranjang. Tangannya merentang lebar, dia berhenti tepat di bantal milik Hanna. Kesepian kembali menyapanya, membuat Raymond tak kuasa untuk menahan tangis. Dia segera memeluk bantal itu, menghirup sedikit aroma Hanna yang tertinggal. "Hanna ... aku rindu kamu." Raymond mengucapkan kalimat itu berulang kali hingga tertidur. Suara alarm yang terdengar membangunkannya. Hari masih gelap saat pria itu menengok ke arah jendela. Setelah melakukan sedikit peregangan, Raymond keluar dari kamar untuk mengecek keadaan Amara. Baru saja dia akan membuka pintu kamar tamu, gadis itu muncul di ambang pintu. "Pak Raymond. Saya mau mandi, tapi saya tidak membawa baju bersih," ucap Amara yang dalam hati merasa malu. Raymond terdiam sejenak. Pagi itu masih sangat hening, sinar matahari pun belum muncul di balik jendela. Tapi suara Amara yang lirih membuat suasana menjadi hidup, meskipun hanya sejenak. “Oh ... sebentar,” ucap Raymond sambil berbalik menuju kamarnya. Raymond mengambil sebuah drees ungu dari dalam lemari. Dress milik Hanna. Dia menatapnya sejenak, sempat ragu, namun akhirnya membawanya ke Amara. “Ini pakailah. Istri saya beli saat hamil, jadi belum pernah di pakai. Tapi mungkin, ukurannya kebesaran untukmu.” Amara menerimanya dengan dua tangan. Awalnya dia ingin menolak, tapi melihat tatapan tulus Raymond, gadis itu hanya mengangguk pelan. “Terima kasih, Pak,” ucapnya dengan suara nyaris tak terdengar. “Handuk ada di dalam lemari atas di kamar mandi. Pakai air hangat biar tubuhmu nggak kaget,” pesan Raymond sebelum menuju dapur untuk membuat sarapan. Amara masuk ke kamar mandi dengan hati yang masih campur aduk. Air hangat menyapu tubuhnya yang lelah dan menggigil. Tapi yang paling terasa bukan suhu hangat dari air itu, melainkan perasaan aneh saat mengenakan baju milik istri Raymond. Rasanya seperti mendekat pada kehidupan pribadi Raymond. Sementara itu, Raymond mulai menyeduh teh dan membuat bubur untuk sarapan. Tatapannya kosong, pikirannya masih tertinggal pada malam yang berat sebelumnya. Dia menghela napas panjang sambil membuka jendela, membiarkan udara pagi masuk. Beberapa menit kemudian, Amara muncul dengan rambut basah dan dress yang sedikit kebesaran di tubuhnya. Wajahnya bersih, namun sembab. Tapi setidaknya, dia tampak sedikit lebih segar dibandingkan kemarin. “Kamu suka bubur ayam?” tanya Raymond sembari menuang teh ke dalam dua cangkir. Amara mengangguk pelan. “Apa saya boleh membantu, Pak?” “Duduk saja. Kamu belum sepenuhnya pulih. Nanti malah jatuh pingsan di dapur,” ucap Raymond tanpa menoleh, tapi nadanya tidak setajam biasanya. Mereka duduk di meja makan. Hening, hanya suara sendok dan mangkuk yang terdengar. Sampai akhirnya Raymond angkat bicara. "Nanti akan saya antarkan kamu ke rumah sakit. Tunggu saja di sana, karena jadwal mengajar saya hanya sampai jam 12:30." "Dipikirkan berulang kali, saya tetap tidak mengerti mengapa Bapak sampai sebegininya sama saya," ujar Amara yang mulai sedikit nyaman. "Kamu itu ibu susunya Theodore, jadi sedikit banyak menjadi tanggung jawab saya," ucap Raymond yang membuat Amara menghela napas panjang. "Dan ada yang bilang produksi ASI akan berkualitas, kalau ibunya sering berpikir. "Ha?" Amara hanya dapat menampilkan raut wajah bingungnya. "Sudahlah. Jangan terlalu dipikirkan lagi, kamu harus menjaga kesehatan agar dapat menyusui Theodore. Cepat habiskan buburnya. Saya tidak mau terlambat, karena hari ini ada kuis terakhir sebelum UAS," ucap Raymond. Setelah sarapan, Raymond mengantar Amara ke rumah sakit menggunakan mobilnya. Sepanjang perjalanan, keduanya lebih banyak diam. Namun, diam itu bukan lagi karena canggung, melainkan karena keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Amara sibuk mengingat bayinya, dan Raymond sibuk menahan dirinya agar tak terlalu peduli—meski hati kecilnya sudah mulai goyah sejak malam sebelumnya. Sesampainya di rumah sakit, keduanya langsung bertemu dengan Juwita. Dia tersenyum sumringah saat melihat Raymond. Dengan langkah cepat, Juwita mendekati sang putra. "Ray. Kata perawat Theo sudah semakin banyak minum susunya. Mama juga sempat lihat barusan, kalau badannya Theo mulai segar. Kayaknya dalam waktu dekat, Theo bisa dipindahkan ke ruang perawatan biasa." Raymond menatap Juwita dengan penuh kelegaan, setidaknya dengan perkembangan kesehatan Theodore, keluarga Hanna tidak akan dapat mencari celah untuk memaksakan pernikahan turun ranjang dengan Jessica.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN