8. Perasaan Bersalah Amara

1114 Kata
Sementara itu, di dalam mobil, Raymond memperhatikan Amara dari sudut matanya. Gadis itu hanya diam, memeluk tas kecilnya erat-erat. Wajahnya pucat dan matanya bengkak. Tapi tatapan Amara kosong. Raymond jelas tahu jika Amara sedang menanggung beban yang amat berat. "Amara." Raymond memecah keheningan, tapi Amara tidak menjawab. "Amara," ulang Raymond, lebih lembut. "Tenang saja. Saya tidak akan membiarkan keluarga istri saya mengusik kamu." Amara menoleh perlahan. Matanya berkaca-kaca. "Bapak tidak perlu khawatir karena saya ... bisa melindungi diri sendiri." "Tapi yang saya lihat sekarang tidak seperti itu," sahut Raymond yang membuat Amara menunduk. "Kalau begitu Bapak bisa berpura-pura tidak tahu," kata Amara yang lalu melihat ke luar jendela. Raymond menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Hujan masih mengguyur, membuat kaca mobil diselimuti kabut tipis. "Amara ...." Amara menatap Raymond yang memanggilnya, tubuhnya bergetar dan isak tangisnya kembali pecah. "Bisakah Bapak berpura-pura tidak tahu saja dan menganggap semua ini tidak pernah terjadi?" ulang Amara dengan meneteskan air mata. "Sayangnya saya tidak bisa melakukannya, Amara. Karena sekarang kamu adalah ibu s**u Theodore. Dan kamu juga adalah mahasiswa saya, jadi sedikit banyak saya bertanggung jawab atas kamu." Amara semakin terisak saat mendengarnya, meskipun Raymond mengatakannya dengan nada ketus, dia tahu jika pria itu peduli padanya. Kenangan Raymond yang sering membantunya di kampus, membanjiri ingatannya. Rasa bersalah pun mengelayuti hatinya. Andai saja waktu dapat diulang, Amara tidak akan pernah melakukan hal sebodoh ini dalam hidupnya. "Maafkan saya sudah mengecewakan Bapak," ucap Amara di sela isak tangisnya. "Kamu menyesal sekarang juga percuma, Amara. Lihat dirimu sekarang. Kamu yang seharusnya lulus tahun ini ... malah menghilang waktu jadwal sempro. Sekarang kamu malah muncul dan menjadi ibu susunya Theodore." Amara menunduk saat mendengar ucapan ketus Raymond. Sadar jika semua ini memang kesalahannya. Tapi tetap saja untuk alasan yang tidak dia ketahui, hati Amara berdenyut nyeri. Raymond tersenyum dan membiarkan gadis itu untuk meluapkan emosinya. Sejujurnya, dia tak menyukai sosok Amara yang rapuh seperti ini. Karena Amara yang dikenal Raymond adalah gadis enerjik dengan segudang prestasi dan mimpi. Dan saat itu juga, tanpa sadar, kedua hati yang terluka itu mulai menatap ke arah yang sama. Pada bayi kecil bernama Theodore, dan pada masa depan yang perlahan terbentuk di tengah luka dan kehilangan. Raymond menoleh tidak mendengar suara tangisan Amara, dan dia mendapati Amara yang tertidur. Jejak air mata masih tertinggal jelas pada wajah Amara. Dia menghela napas lalu menyelimuti Amara dengan jaket bombernya. Bahkan Raymond merendahkan kursi agar Amara merasa nyaman dalam tidurnya. Raymond mulai melajukan mobil menuju rumahnya. Hujan sudah mulai reda, namun udara dingin masih menusuk. Raymond mematikan mesin lalu menoleh ke Amara yang masih tertidur. Wajah lelah itu tampak lebih damai saat tertidur, meski bengkak di bawah matanya menjadi saksi bahwa malam-malam sebelumnya telah dilaluinya dengan tangis. Raymond meraih ponselnya dan membuka aplikasi pesan, dan mengabari ibunya bahwa mereka sudah sampai di rumah. Setelah itu Raymond menatap kembali ke arah Amara dan memutuskan untuk menggendong gadis itu menuju kamar tamu. Raymond mengernyit saat menyadari jika tubuh gadis itu sangat ringan. Dia berani bertaruh jika bobot Amara jauh dari kata ideal. Gadis itu tidak terbangun saat Raymond mulai berjalan, hanya mengerang pelan dan kembali bersandar di d**a bidang Raymond, seolah tubuhnya tahu bahwa kini dia berada di tempat yang aman. Sesampainya di kamar tamu, dengan hati-hati, Raymond meletakkan Amara di ranjang. Dan tepat saat itu petir menyambar kuat, menciptakan suara yang membuat gentar siapapun juga. Dan Amara adalah salah satu diantaranya. Gadis itu reflek berteriak dan mengencangkan pelukannya pada Raymond. "Arghhh!" Raymond sontak terdiam di tempat, tak menyangka Amara akan bereaksi seperti itu. Tubuhnya menegang sesaat ketika pelukan gadis itu semakin erat, seolah-olah Amara sedang bergantung pada satu-satunya pegangan hidupnya. "Amara ... ini saya, Raymond," bisiknya perlahan, mencoba menenangkan Amara. Namun, Amara masih gemetar dalam pelukan Raymond. Napas gadis itu memburu, matanya terbuka tapi kosong. Tatapan yang penuh ketakutan, seperti seseorang yang baru saja melarikan diri dari neraka. Raymond merasa punggungnya mulai pegal, tapi dia tak dapat bergerak. Sebab Amara mengunci tubuhnya yang baru Raymond sadari berada di atas gadis itu. Dia menelan saliva, berusaha menenangkan diri di tengah posisi yang cukup canggung. Dalam posisi sedekat ini, Raymond tidak jamin dapat menahan diri lebih lama. Meskipun masih berduka, Raymond adalah pria normal yang dapat terangsang birahinya bila dipancing. Suara napas Amara yang memburu akhirnya berhasil mengalihkan atensi Raymond, dia melihat Amara yang gemetar hebat, seperti habis dihantam mimpi buruk. Tatapan kosongnya menembus langit-langit kamar, namun pelukannya erat, seakan jika Amara melepasnya, maka dia akan terjatuh kembali ke dalam lubang kelam yang nyaris menelannya tadi. "Amara ..." ucap Raymond sekali lagi, lebih pelan dan penuh kelembutan, seperti seorang ayah menenangkan anak yang baru saja ketakutan karena mimpi buruk. Perlahan, Raymond mengangkat tangannya, menyentuh pipi Amara dan mengusapnya pelan. Hanya usapan sederhana, namun cukup untuk memberi isyarat bahwa Raymond di sana memastikan bahwa Amara tidak sendiri. Beberapa menit kemudian, Raymond merasakan tubuh gadis itu mulai tenang. Napasnya perlahan kembali teratur, dan pelukannya mulai mengendur. Namun Amara belum melepaskan pelukannya pada Raymond Raymond. Hanya wajahnya yang kini bersembunyi di lekuk leher pria itu, basah oleh sisa air mata dan keringat dingin. "Maaf ..." bisik Amara, nyaris tak terdengar. Raymond menatap ke atas dan menahan napas sejenak. Sial! Birahinya kembali terpancing. Dia memejamkan mata. "Sebaiknya kamu lepaskan saya atau ... saya tidak bisa menahannya lagi." Awalnya Amara tak mengerti apa yang diucapkan oleh Raymond, sampai gadis itu menyadari jika kedua wajah mereka amat dekat. Baik Raymond maupun Amara dapat merasakan napas hangat yang menerpa wajah mereka. Amara langsung menjauh panik, melepaskan pelukannya dan mundur hingga punggungnya menyentuh kepala ranjang. Napasnya tercekat, dan wajahnya memerah antara malu dan takut. Sementara Raymond langsung berdiri, membenarkan letak kerah bajunya yang sedikit kusut, lalu berjalan ke arah jendela untuk menenangkan inti tubuhnya yang menegang. Hening beberapa saat, hanya suara hujan gerimis di luar yang menemani. “Saya … saya nggak bermaksud …” suara Amara pelan, nyaris berbisik. “ Saya benar-benar … takut saat petir itu menyambar.” Raymond tidak langsung menjawab. Dia masih berdiri membelakangi Amara, memejamkan mata, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu tak wajar. Saat akhirnya dia bicara, suaranya berat tapi terkendali. “Saya mengerti.” Raymond membalikkan , menatap Amara yang kini kembali duduk memeluk lututnya. “Tapi kamu harus tahu batas, Amara. Saya cuma pria biasa yang bisa tersulut gairah jika kamu memancing saya seperti tadi." Amara menunduk. “Maaf… saya tidak bermaksud menyulitkan Bapak.” Raymond menghela napas panjang, lalu menghampiri Amara. "Saya ambilkan kamu minum, setelah itu tidurlah. Kita akan bicarakan ini besok pagi sebelum saya pergi ke kampus. Amara mengangguk, namun jantungnya berdebar kencang. Masih tak menyangka jika dia akan berada dalam posisi sedekat itu dengan Raymond. Dan Amara merasa jika hubungannya dan Raymond nantinya bukan hanya sebatas dosen dan mahasiswa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN