Setelah menatap wajah Fathur yang terlihat meyakinkan Sahda dan keluarganya saat dimana proses khitbah dilakukan, muncul lah sebuah harapan di dalam lubuk hati Sahda seakan hal yang dilakukan saat ini adalah murni keinginan Fathur. Walaupun sebelumnya Sahda tahu bahwa Fathur banyak sekali mengajukkan syarat, namun Sahda seakan melupakan hal itu.
Pada malam yang sunyi dan setelah menerima sebuah pandangan lekat dari Fathur, Entah mengapa hati Sahda seakan berdebar tak Wajar, Hatinya seperti ada perekat yang sangat lekat. Ia merasa ada panah Asmara yang menusuk di dalam jiwanya dan Jika harus Jujur Nama "Mas Fathur" selalu terselip di dalam doanya semasa dulu. Ada keinginan yang tak biasa dari dirinya untuk menjadikan Fathur sebagai imam dalam rumahnya, "Aku hanya mampu mendekati Tuhan nya untuk menggapai Cinta Mas Fathur, walaupun Aku tahu cinta Mas Fathur sudah kandas kepadaku saat Aku menolak nya sewaktu itu. Namun Aku yakin suatu hari Mas Fathur akan mencintaiku sebagai mana Aku mencintainya dan Cintanya untuk ku semata-mata karena Allah SWT." Kalimat itulah yang selalu menjadi doa dari setiap ibadah yang di jalankan oleh Sahda sendiri.
Ia menatap langit yang hitam karena malam, namun cahaya kelap kelip dari bintang yang bertaburan membuatnya merasa sangat bahagia. Rasi bintang itu seakan menunjukkan senyuman Fathur beberapa jam yang lalu ia lihat, Sahda tersenyum dan mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia memang menerima Fathur dengan segala kondisinya. Walaupun banyak kabar simpang siur bahwa Fathur dan Sahra sudah lebih dari sekedar berpacaran, namun ia tekankan hal yang ia lakukan atas pernikahan ini adalah menyelamatkan perasaan adiknya dari keterpurukan kekejaman syarat Fathur, padahal sebenarnya Fathur memberikan syarat itu agar Sahda lah yang mengucapkan kata "Batal."
"Tuhan berilah hati yang lapang Untuk kami," Ia terlihat menghela nafasnya, Ia pun kembali membuka jendela kamar dan kali ini ia membuka kamarnya lebih lebar hanya untuk menikmati indahnya kelap kelip bintang yang berhamburan di atas langit. Rasanya air mata nya sudah kering, "Terimakasih Tuhan, Terimakasih atas Nikmat yang selalu engkau berikan kepadaku." Hanya itu yang Ia ucapkan sembari memberikan senyuman terindah baginya, ia menutup matanya dan kembali merasakan desiran angin yang menusuk di dalam kalbunya.
Angin itu bersiul kencang seakan tidak menginginkan pernikahan yang akan membuat hatinya sengsara, namun Sahda seakan tak berpikir hal itu akan menimpanya. ia menutup kembali Jendela kamarnya, Rasanya Hawa dingin sudah menusuk kedalam tulang nya. Lalu, Ia merebahkan dirinya di atas tempat tidur yang berukuran besar milik nya itu, ia membayangkan bagaimana saat status nya berubah menjadi seorang istri, Memiliki anak, dan mengurus Fathur dengan tangannya sendiri. Diam-dia ia memiliki mimpi, mimpinya slalu sama yaitu menjadi seorang istri yang Shalihah untuk suaminya kelak.
"Aku yakin Aku bisa, Pasti Bisa. Umma dan Baba akan membantuku mewujudkan keinginanku melalui doa-doa nya." Gumam nya kembali. Ia merasakan rasa kantuk yang membuat mata nya terasa lengket, Ia menarik selimutnya dan segera berdoa agar Tuhan memberikan mimpi yang akan berubah menjadi kenyataan.
Tok..
Tok..
Terdengar suara ketukan pintu kamar nya, Sahda yang sudah mulai memejamkan matanya itu, segera beranjak berjalan menuju pintu kamarnya dan berharap yang datang itu adalah Sahra.
"Aku yakin itu adalah Sahra adik ku," Ucapnya sembari berjalan. Sahda pun berjalan menuju pintu kamar miliknya, lalu segera membuka pintu tersebut. Ternyata sosok Bi Siti lah yang sedang mengetuk pintu miliknya itu, "Bi Siti, kenapa malam-malam mengetuk pintu Sahda?" Tanya Sahda, ia terlihat sangat mencemaskan raut wajah orang yang sangat berjasa karena sudah membantu merawat dan membersihkan rumahnya.
"Non Sahda, Ada yang perlu bi Siti bicarakan." Ucap Siti.
"Tentang apa Bi?" Tanya nya kembali, "Yasudah mari Masuk." Ajak nya pada Siti, Ia pun mempersilahkan Siti untuk duduk di sampingnya. Wajahnya benar-benar terlihat sangat cemas, "Duduklah Bi, Ada apa bi?" Tanya Sahda kembali, Siti terlihat sangat cemas. Wajahnya terkulai lemas, Matanya terlihat seperti sudah menguraikan air mata, "Apa bibi mau aku ambilkan air dulu." Tanya Sahda dengan sangat ramah,
"Tidak Non, Tidak Usah." Tolak Siti, raut wajahnya semakin membuat Sahda kebingungan.
"Ya sudah, Bibi tarik nafas dulu dengan pelan. Sudah merasa tenang, Bibi mulai cerita ya!" Ucap Sahda, Sahda pun menggeser kan kursi yang menjadi tempat ia berdandan. Lalu, ia duduk di atas kursi dan saling berhadapan dengan Siti. Siti seakan tak tega melihat raut wajah sayu yang ditunjukkan Sahda, Siti benar-benar merasa takut jika hal yang akan di sampaikan nya membuatnya merasa sakit hati.
"Non Sahda, begini Mmmmm, Mmmm" Ia menggaruk kan tangannya.
"Kenapa bi?"
"Bibi melihat Neng Sahra di antar pulang oleh Mas Fathur, lalu mereka terlihat sangat akrab!" Ujar Siti.
"Loh? Fathur mengantarkan nya memakai motor? Gak mungkin Bi, mungkin saja bibi salah lihat!" Ucap Sahda, Siti terlihat menggelengkan kepalanya.
"Tidak Non, tadi ibu sama Bapak haji kan sudah masuk kedalam kamar. Ibu sih tau neng Sahra belum pulang, namun ibu menutupinya dari Bapak. Terus ibu bilang, nanti beresin dapur. Pas Bibi mau buang sampah. Bibi lihat Neng Sahra turun dari mobil, mobilnya sama dengan yang di pakai siang tadi. Bibi bersembunyi dan terdengar Neng Sahra bilang Mas Fathur makasih ya!"
"Sumpah Non Sahda, bibi gak bohong. Orang jelas-jelas itu Mas Fathur!" Tambahnya, kebetulan jarak tong sampah dan rumah utama Sahda memang terpaut jauh. Garasi yang luas membuat Sahda, Risna maupun Abqori tidak gampang melihat bahkan mengetahui siapa tamu yang datang. Itu semua karena halaman rumah Sahda sangatlah luas dan bagaimana pun Siti yang berbadan kecil bisa saja mengumpat dimana dan Sahra tak menyadari kehadiran Siti.
Sahda terdiam cukup lama, air matanya turun.
"Non Sahda ini bukan kali pertama bibi melihat, lebih baik Non Sahda mencari tahu terlebih dahulu! Saya kasihan sama Non Sahda, Non Sahda wanita yang sangat baik!" Sahda tersenyum dan mencoba menghapus air matanya.
"Bibi Nanti Sahda cari tahu dulu, tapi Sahda belum bisa memutuskan bahwa Sahda akan mengakhiri perjodohan ini! Abi sama Baba benar-benar sudah memiliki harapan untuk semuanya dan Sahda tidak mau mengecewakan mereka Bi!" Ungkap Sahda sembari menyeka air matanya.
"Sesudah Neng Sahra turun dan Mas Fathur pergi dari hadapannya, bibi mendengar percakapan neng Sahra dengan seseorang." Ucap Bi Siti, "Neng Sahra menghubungi seseorang, mereka berbicara seakan memiliki rencana." Sambung Siti, siti menarik tangan Sahda.
"Non Sahda, Bibi takut banget kalau rencana buruk sedang di atur oleh neng Sahra. Maksud bibi, Bibi takut jika Neng Sahra meninggalkan Ibu dan Bapak! Entah apa yang sedang dirancang Neng Sahra, bibi pun tak mengerti namun bibi melihat sesuatu hal sedang terjadi pada nya!"
"Apa yang Sahra bicarakan?." Tanya nya, "Apa terjadi sesuatu pada Sahra." Tambahnya kembali.
"Non Sahra sepertinya sedang merencanakan kepergiaannya." Ungkap Bi Siti.
"Kepergian bagaimana Bi?." Sahda bertanya keheranan, Ia sangat mencemaskan Sahra.
"Bibi tak mendengar apapun lagi Non, Neng Sahra hanya bilang kalau dia akan pergi dan menikmati kehidupannya! Maafkan bibi Non, bibi cuma takut kalau Neng Sahra berniat mempermalukan Non. Bibi takut jika Neng Sahra dan Mas Fathur akan pergi berdua!" Ujarnya,
Dak dik duk.. Hari Sahda berdegup dengan sangat kencang, "Mudah-mudahan ini hanya ketakutan bibi saja ya!" Ujarnya kembali.
"Iya Non, bibi hanya ingin memberitahu Non untuk berpikir lagi untuk melanjutkan ini! Bibi takut jika non Sahda merasa sakit hati!" Ujarnya kembali.
"Bibi makasih atas apa yang sudah bibi kasih kepada Sahda, Insha Allah Tuhan maha baik! Bibi doakan ya semoga Sahda selalu dalam lindungannya!" Ujar Sahda, Ia memberikan pelukan untuk Siti dan Siti memeluk Sahda dengan sangat erat.