Air Mata Sahda - Chapter 4

1410 Kata
Sore Harinya saat Sahda sedang berada di klinik tempatnya bekerja, Ia memikirkan bagaimana caranya untuk menghubungi Fathur duluan. Sahda berniat untuk membujuk Fathur agar jujur atas kisahnya bersama Sahra kepada kedua orang tua nya, lalu Fathur membatalkan dan melamar adiknya. Karena Sahda berpikir bahwa dirinya tak akan mampu bermusuhan dengan adiknya, apalagi Sahda mengetahui bahwa adiknya itu berpikir bahwa Sahda menyaingi dirinya. Tuk tuk, jari lentiknya di ketukan pelan di atas meja kerjanya. Siang ini sangatlah banyak pasien yang berkunjung untuk berobat kepadanya, bahkan konsentrasinya sempat membuyar karena pemikirannya terhadap Adik serta calon suaminya. Ia membawa ponsel yang terletak di atas meja tepat dihadapan matanya, lalu Sahda memulai menekan nomor milik Fathur dan segera mengirimkan pesan singkat untuk Fathur. "Assallamualaikum, Mas Fathur bisakah kita bertemu?" Pesan yang Sahda kirim kepada Fathur. "Waalaikumusalam, Dengan Agenda apa kita harus bertemu " Balas Fathur. Sahda menggigit bibir atasnya, ia merasa bingung saat mendapat balasan pada pesan itu. Apalagi Fathur terdengar sangatlah ketus kepadanya, "Aduh, Gimana ini? Apa aku harus langsung ke intinya saja" Gumam nya seorang diri. "Begini Mas, Ada hal yang harus Sahda bicarakan dengan Mas Fathur. Jika boleh Sahda diantar teman Untuk menemui Mas Fathur" Balasnya kembali. hati Sahda berdegup kencang. jujur saja sebenarnya Sahda memang sangat menyukai Fathur namun, Sahda takut akan perasaan lebihnya yang akan menjadi boomerang di kemudian hari apalagi Sahda sangat takut dengan keadaan Ayahnya yang melarangnya berpacaran. Fathur Typing, perasaan harap-harap cemas pun tersimpan di dalam benak Sahda. "Saya sedang berada dijalan yang berada dekat dengan klinik, biar saja saya yang menemui Sahda!" Balas Fathur kembali. "Baiklah Mas, saya menunggu!" Balas Sahda kembali. Di dalam keheningannya menunggu kedatangan Fathur, Seorang Assisten nya mendatangi dirinya. "Bu bidan saya ingin memberitahu. Bahwa, Pasien yang bernama Jingga sudah naik bukaannya! " Seru salah satu perawat memberitahunya, Sahdapun tersenyum dan segera menghampiri pasien tersebut untuk sekedar memeriksanya. Dengan telaten Sahda memeriksa bukaan yang sudah di tunggu pasien tersebut, "Masih bukaan 7 iya, Sabar ya bu kalau ada kontraksi semisal dede bayiknya ingin keluar tetapi belum lengkap bukaannya. ibunya tarik Nafas pelan-pelan dan tidurnya miring ke kiri" Ucap Sahda di iringi senyuman cantiknya. "Terimakasih ibu bidan, mudah-mudahan anak saya seperti ibu bidan. Cantik, sopan, dan baik. ibu pasti dapet jodohnya yang baik lagi" Seru Ibu yang akan melahirkan. "Mm, bu jangan ingin sepertiku! Tak ada lelaki yang ingin mencintaiku dan memiliki, Entahlah aku tak tau apa alasan dari itu semua" Ujar Sahda dalam hati, ingin sekali ia berbicara seperti itu namun, ia merasa malu saat akan mengatakannya. Ia mengajak pasien bernama Jingga tersebut berbincang dengan hangat, tak hanya itu Sahda membantu pasien tersebut untuk mengatur nafas dan duduk di atas Gym Ball untuk memperlancar bukaan tersebut. Saat ia sedang Asyik membantu, salah satu perawat pun memberitahu kedatangan Fathur. "Bu bidan, ada seseorang yang ingin sekali bertemu dengan ibu. Beliau sedang menunggu di taman." Sahda mengangguk pelan dan tersenyum menanggapi kalimat itu, Ia pun segera berpamitan dan sebelum berpamitan ia memberikan sebuah saran untuk Pasien yang sedang menunggu waktunya lahiran, "Ibu, banyak Jalan aja iya. Terus kalau bisa jangan stress. Semangat iya bu!" "Saya pamit iya bu." Ucapku kembali. Deg Deg Deg!!! Jantungnya berdebar keras, Ia melihat Fathur sedang duduk menungguku dikursi Taman samping klinik, Entah mengapa setiap kali Sahda mencoba untuk menatapnya jantung nya seperti sedang menari-nari. "Mm.. Mas Fathur" Panggil Sahda kepadanya, Ia menoleh melirik kearah suara Sahda. "Sahda, Aku tidak bisa lama." Ucapnya tanpa menatap wajah Sahda, "langsung ke Intinya saja!" Ucapnya kembali. "Begini Mas, sebelumnya aku ingin bertanya kepada Mas Fathur. Tentang pernikahan antara Mas dan Sahra." Fathur mengerutkan dahinya, "Maksud ku, " Kalimat yang akan Sahda sampaikan seakan terhenti, "Pernikahan aku dan Sahra? " Tanya Fathur. "Iya, Sahra bilang Mas Fathur mengajaknya menikah. Namun mengapa Mas Fathur malah menyetujui keinginan Abi dan Baba?" Tanya nya kembali. "Sepertinya kamu salah paham Sahda! Aku dan dia memang berpacaran, tapi kami belum merangkai sebuah pernikahan dan aku yakin bahwa pernikahan kami pun tak akan pernah di setujui!" Jelas Fathur yang lagi-lagi tidak menatap wajah Sahda. "Aku sangat mencintai Sahra! Sangat mencintainya, jika mau kau saja yang berbicara pada Abi ku dan Baba mu untuk menghentikan perjodohan ini!" Ucapnya. "Aku tidak berani Mas!" Jawab Sahda bernada pelan. "Ya sudah jika seperti itu, aku pun sama!" Celetuknya. Beberapa lama kemudian, mereka berdua hanya berdiam diri tanpa berbicara serta melanjutkan perbincangan apapun. Bagi mereka, keputusan yang sudah di buat Orang tua mereka sudah tak dapat di bantah lagi. "Mas Fathur, apa kau sudah tahu tanggal yang sudah di tentukan Abi dan Baba?" Tanya nya kembali. "Sudah!" Jawab nya singkat, "Kapan?" Balas Sahda bertanya singkat. "Nanti juga Kau tahu sendiri, Aku pamit dan sebentar lagi menjelang Adzan Maghrib" "Baik Mas, Maaf jika saya sudah mengganggu Mas!" Ucap Sahda dengan sopan, Ia melihat raut wajah kecewa serta lemas dan lesu ada pada wajahnya. Sedikit cerita kembali mengenai Fathur, Fathur adalah kakak kelas Sahda dan Sahra saat masa SMA, Fathur dan Sahra sudah dekat dari lama begitupun dengan Sahda. Awalnya Fathur memang menganggap mereka adalah adiknya karena Fathur adalah anak bungsu yang ingin sekali memiliki adik perempuan. Singkat cerita Sahda memiliki ketertarikan kepada Fathur namun, Aku tidak berani mengungkapkannya berbeda dengan Sahra dia lebih terbuka akan perasaannya kepada Fathur. Hingga suatu hari Sahra dan Fathur semakin dekat, karena penolakan Sahda saat itu membuat nya sedikit membenci Sahda dan lebih memilih menjalani hubungan bersama adiknya. Fathur berpamitan, Sahda menatap punggung belakang Fathur. Mungkin beberapa hari ke depan atau satu bulan yang akan datang, sosok Fathur akan menjadi suaminya. Ia meneteskan air mata kebingungannya, hingga Fathur hilang dari pandangannya ia tetap memikirkan bagaimana kegundahan hatinya kala melihat Fathur yang tak jua berani berbicara kepada orang tuannya akan pembatalan perjodohan ini. Suara seorang perawat lain membuyarkan lamunannya kala itu, "Bu Bidan, Pasien jingga akan segera melahirkan" Saat Sahda mendengar kalimat itu, ia segera berlari menuju pasien yang sudah sedari tadi menunggu kelahiran anaknya. "Ayo bu Bacakan Bismillah, dan tarik nafas" Ucapnya sembari membalut tangan nya memakai sarung tangan yang biasa di gunakan untuk membantu proses lahiran. 1...2....3... Eiiaaaa..eyaaaaaa (suara tangisan bayi perempuan dihadapanku) "Selamat iya bu, Bayiknya perempuan. Cantik sekali kamu nak!" Seru nya sembari tersenyum, walaupun keadaannya sedang terluka dan kebingungan Namun, Sahda tetap harus membantu proses lahiran pasiennya, dia memang sosok wanita yang tangguh. Ia akan tetap berdiri dan membantu orang-orang yang membutuhkan jasa nya walaupun keadaannya sedang dalam keadaan yang tidak baik. "Aku akan merasakan kebahagiaan saat mendengar tangisan bayi-bayi ini" Batin nya berucap sembari tersenyum dan menatap wajah bayi mungil di dalam pangkuannya. "Bayi nya Sehat Ibu, selamat iya!" Ia mun meletakan bayi mungil tersebut di atas d**a Pasien Jingga, suaminya terlihat menangis saat mengetahui kelahiran anaknya yang luar biasa. "Bu bidan terimakasih, sudah membantu istri saya" Ucap suami Ibu jingga. "Tuhanlah yang memberikan pertolongan, saya hanya sebagai perantaranya dan selamat sekali lagi iya bu" Ucap Sahda, Ia melihat cinta yang tulus yang diberikan suaminya kepada Ibu jingga. Hati Sahda terenyuh kala itu, Ia selalu berharap akan ada disituasi seperti ini. Melahirkan ditemani oleh suami yang sangat menyayangi dirinya. "Ibu Bidan? " Panggil Ibu jingga saat dirinya sudah melakukan proses pembersihan setelah proses melahirkan selesai. "Iya bu? " Jawab nya. "Nama lanjutan ibu bidan, Sahda Apa?" "Sahda Maliqi Abqari" "Apa artinya Bu? Apa boleh saya tahu?" "Sahda artinya Cantik atau Elok." "Maliqi nama Alm Kakek saya namun kata Umma, MaliQi adalah arti sebagai harapan dari lelaki soleh" "Dan Abqari nama baba saya, yang artinya adalah pemikir yang luas" "Dan jika digabung, Perempuan cantik yang akan mewarisi pemikiran yang luas dan mendapatkan lelaki soleh. Itu mungkin suatu harapan saja dari Baba dan Umma" "Maaf bu Bidan, Apa boleh kami memakai namanya?" "Saya mohon bu, istri saya sangat menyukai ibu bidan yang sabar nan cantik ini. Selama proses kehamilan Istri saya, tidak mau periksa jika bukan Periksa lewat Ibu" Ucap suaminya menimpali ibu Jingga "Boleh, soal nama itu Hak Bapa dan ibu. Jika ingin memakai nama saya silahkan. Semoga anak Ibu dan Bapa sehat selalu, dan berbakti kepada ibu dan Bapa" Ucap nya sembari tersenyum. "Terimakasih Ibu bidan yang cantik" "Sama-sama ibu, Saya pamit dahulu ya!" Jantungnya berdegup kala mendengar seorang pasien yang mengagumi dirinya, "Benar apa kata Umma, aku ini spesial dan sangat istimewa! Umma, Sahda akan selalu menjadi anak yang baik untuk Baba dan Umma! Yang terpenting untuk Sahda adalah kebahagiaan Umma dan Baba!" Ucapnya dalam hati. Ia kembali memikirkan pernikahannya bersama Fathur, ia duduk di atas kursi meja kerja nya. Ia terlihat merenungi nasib-nasib pernikahan yang menurutnya selalu saja gagal, "Tuhan, Jika Fathur memanglah jodohku dekatkan dan berikanlah ke solehan untuk nya kepada ku dan jika bukan, tolong buatlah dia menjauh dari ku!" Doa Sahda malam itu cukup tulus terdengar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN