Hari sudah sangat malam, sebenarnya Sahda ingin sekali pulang Namun sepertinya akan ada pembicaraan antara dirinya beserta Ayah dan ibunya di rumah dan pembicaraan itu pasti mengenai pernikahan diantara Sahda dan Fathur, hal itu sudah pasti membuat Sahda merasa tidak enak kembali kepada Adiknya.
"Kak sahda, kenapa belum pulang?" Tanya bidan Melati yang tak lain adalah sepupu dari Fathur sendiri.
"Aah, Iya ini mau pulang tapi perasaan gak enak!"
"Apa kaka sedang tidak enak badan?" Tanya Bidan melati.
"Iya, aku gak enak badan ini"
"Ya, lebih baik kaka pulang dan segera beristirahat" Ucapnya, entahlah rasanya Sahda memang benar-benar tak ingin sekali pulang ke rumah.
Ponsel miliknya pun bergetar, Ia melihat tiga panggilan tidak terjawab dari Ayahnya. Sahda sendiri memang sengaja tidak menerima telepon dari Ayahnya itu mungkin karena perasaan nya yang sangat tidak tenang.
"Sahda, Baba sedang berada di jalan menuju klinik. Baba akan menjemputmu, Baba khawatir jika Sahda pulang sendiri ke rumah." Sebuah pesan yang dikirimkan Abqori untuk anaknya itu pun di baca sedikit keras oleh Sahda.
"Ya Tuhan, Aku sungguh tidak ingin pulang!" Batin nya bergumam.
Beberapa menit kemudian, Sahda benar-benar dalam keadaan gusar. Bidan Melati pun menghampirinya dan memberitahu Sahda, Bahwa Ayahnya sudah berada di lobby dan sedang menunggu Sahda untuk pulang bersamanya.
"Baba, Maaf sahda merepotkan Baba." Ucap Sahda sembari tersenyum.
"Ah, tidak!. Baba sangat khawatir denganmu dan Baba tidak mungkin membiarkanmu pulang selarut ini"
"Sebenarnya Sahda lupa tidak memberitahu Baba, jika Sahda malam ini lembur!" Ungkap Sahda yang terpaksa berbohong.
"Sahda, Apa kamu sedang mencoba membohongi Baba?" Tanya Ayahnya.
"Baba, Emm sahda..."
"Ayo cepat bawa Tasmu dan segera lah pulang, sudah sedari Pagi kamu bekerja"
"Baiklah Baba, Maafkan Sahda"
"Ya sudah, lupakan saja. Lain Kali Sahda tidak perlu berbohong!"
"Maafkan Sahda Ba"
"Ya Baba maafkan, ayo cepat ambil tasmu dan kita segera pulang"
"Baba, Sahda memang tidak bisa berbohong kepada Baba! Maafkan Sahda" - batin nya bergumam lirih, sembari berjalan kedalam ruangan nya, Sahda pun memilih untuk tetap pulang ke rumah bersama ayahnya dan Pada saat perjalanan pulang, Abqori menatap wajah anaknya dengan lekat.
"Sahda?" Panggil nya pelan, Sahda menoleh seakan menjawab panggilan ayahnya.
"Apa Fathur menemui mu siang tadi?." Tanya nya sembari melirik ke arah wajah Sahda.
"Iya, Baba." Jawabnya singkat.
"Apa yang ia bicarakan denganmu?"
"Mengenai pernikahan yang akan di selenggarakan!" lagi dan lagi Sahda mencoba menutupi pembicaraan dirinya bersama Fathur, tak mungkin sekali jika Sahda berbicara pada Ayahnya, bahwa dirinya meminta Fathur untuk membatalkan pernikahannya dan kembali menjalin hubungan bersama adiknya.
"Lalu?"
"Tidak ada lagi Baba!" Sahutnya pelan.
"Kamu sudah makan?" Tanya Ayahnya kembali, Abqori seakan mengerti dengan jawaban yang di ucapkan oleh Sahda dan Abqori tahu jika Sahda tak ingin melanjutkan pembicaraannya lagi.
"Belum Ba, tadi siang juga belum sempet makan siang"
"Pantas saja, wajahmu pucat. Kita berhenti sebentar di warung nasi padang Omah iya, omah dan Opah juga sangat merindukan mu" Ucap Abqori, Sahda hanya menganggukkan kepalanya tanda ia menyetujui ajakan sang Ayah.
"Umma seharian ini tidak enak badan, Jadi Baba menyuruh Umma istirahat dan libur memasak." Seru Abqori.
"Umma Sakit Ba?" Tanya Sahda.
Ayahnya pun menganggukkan kepalanya pelan, dan sepertinya Abqori ingin menyampaikan sesuatu kepada anaknya itu. Namun, ia seakan mengurungkan niatnya karena melihat wajah Sahda yang terlihat menyimpan beban yang amat dalam.
Abqori memegang puncak kepala anaknya, Sahda terlihat membendung Air matanya. Perasaan nya sungguh sedang bercampur aduk dan yang paling utama yang akan sedang menjadi pikiran Sahda adalah perasaan adiknya.
"Aku tak kuasa melihat Sahra yang mungkin sedang bersedih, tentunya sedari tadi aku mencoba menghubungi Sahra namun, Sahra enggan menerima telepon dari ku." Gumam nya dalam hati.
Mereka sudah sampai di warung makan nasi Padang milik Omah, Omah ini adalah wanita tua yang sangat menyayangi Abqori dan Risna. Omah dan suaminya sudah menganggap Sahda dan Sahra sebagai cucunya dan tentunya Abqori datang pun sembari ingin membicarakan pernikahan yang akan Sahda langsungkan.
"Cucu Omah, "
"Omah, Sehat?"
"Alhamdulilah, sehat sayang. Omah dan Opah sangat merindukan kalian" Ucapnya sembari memeluk Sahda dengan hangat.
"Sahda juga kangen Omah,"
"Ayo nak, Mau makan sama Apa? Biar pa Uus sajikan"
"Apa aja Omah, masakan Omah gak ada yang ngalahin makannya Sahda suka. Oh iya, Opah kemana Omah?" Tanya Sahda.
"Opah ada sedang sembahyang!, ayo duduk" Ucapnya dengan ramah, Sahda dan Ayahnya pun duduk dan menunggu makanan yang sudah di pesannya datang.
"Yasudah, kalian Makan saja dulu. Omah mau panggil Opah mu dulu, sepertinya Opah lanjut mengaji"
"Biar saja omah, gak perlu diganggu." Ucap Abqori.
"Iya Qory, mama hanya ingin memanggilkan bapak. karena, Bapakmu sangat merindukan cucunya!" Ungkap Omah, Omah Pun segera pergi kedalam rumah untuk memanggil opah yang katanya sangat merindukan Sahda sebagai cucunya.
Tempat Omah sebenarnya tak begitu jauh dengan Rumah milik Abqori dan klinik tempat Sahda bekerja, Namun kesibukan mereka lah yang membuat mereka jarang sekali memiliki waktu untuk berkunjung ke tempat Omah dan Opah.
"Sahda, Apa kamu sudah tau keputusan Baba dan Abi Daud?" Sahda yang sedang mengunyah makanan nya terhenti kala mendengar pertanyaan Ayahnya, jantungnya pun berdegup kencang saat itu. Sahda menggelengkan kepalanya dan sepertinya Abqori sangat ingin memberitahukan keputusan yang telah di buat oleh mereka itu.
"Baba dan Abi daud memutuskan agar kamu segera menikah dengan Fathur!"
"Baba" Pekik Sahda , Ia benar-benar terkejut mendengar apa yang sedang Ayahnya katakan. saat kalimat itu di dengar olehnya, bayangan wajah Sahra muncul didalam benak nya.
"Tidak Baba, Aku tidak ingin pernikahan yang terpaksa!"
"Tidak terpaksa, Apakah kau dengar siapa yang Abi daud akan lamar saat datang ke rumah!"
"Tidak Baba, saat itu aku hanya mendengar Abi akan melamar salah satu putri Baba" Ujar ku.
"Abi tidak ingin melamar Sahra, Abi daud melamar mu untuk Fathur."
"Tidak mungkin Baba, Abi tahu jika Fathur sangat mencintai Sahra!"
"Ia memang mengetahuinya. Namun, saat hari pertama Abi daud datang. Beliau mengutarakan niatnya untuk melamar mu menjadikanmu menantu satu-satunya"
"Apakah Sahra mengetahuinya Baba?" Sahda menghela nafasnya dengan berat.
"Lima tahun yang lalu saat Baba dan Abi daud pergi untuk menunaikan ibadah suci bersama, Abi berucap kepada Baba akan menjodohkan mu dengan Fathur."
"Tapi kan Ba, Baba tahu jika Sahra dan Mas Fathur sudah sangat lama saling memendam rasa cintanya" Ungkap Sahda.
"Baba tahu tapi Abi daud menginginkanmu!" Seru Abqori kembali penuh dengan penekanan.
"Baba, Tapi mereka sudah Lama dekat walaupun hanya lewat pesan singkat" Celetuk Sahda, Ia sudah tak sanggup menutupi kedekatan diantara Sahra dan Fathur.
"Baba aku takut jika, Sahra membenciku" Keluh nya kembali.
"Sayang, Apakah kamu tahu Jodoh kita itu Allah yang Atur?" Tanya Abqori.
"Iya Baba, Sahda Tau!"
"Sahda, dengarlah Apa yang baba ucapkan."
"Iya, Baba"
"Jika dua orang Allah takdir kan untuk bersama, tak perduli seberapa jauhnya jarak mereka. Maka dari belahan bumi manapun mereka berada Allah akan mempertemukannya."
"Namun sebaliknya, Jika Allah tidak mentakdirkan dua Orang untuk bersama. Sedekat apapun mereka, sedalam apapun sudah saling kenal. pasti ada saja caranya mereka dipisahkan."
"Baba, Apa Sahra Akan membenciku?"
"Inilah Ujian untuk Sahra dari Baba, selama ini Baba hanya diam dan pura-pura tak mengetahui apa yang Ia lakukan dibelakang Baba" Ungkap Abqori.
"Aku Takut Ba"
"Tak perlu Takut Nak, Tuhan bersamamu!"
Acara makan malam pun selesai, tak lama kemudian Sahda dan juga Ayahnya berpamitan kepada Omah serta Opah nya. Karena hari sudah semakin larut, Abqori begitupun Sahda sangat mengkhawatirkan Risna yang sedang sakit di rumah.
"Baba, Bagaimana caranya aku menolak perjodohan ini. Dan bagaimana caranya aku mengobati luka Sahra, dia adik ku satu-satunya yang sangat aku sayangi" Gumam Sahda dalam hati, batin nya kembali terguncang. Ia tak tahu lagi harus beralasan apa untuk sekedar membatalkan perjodohan ini, Sahda tak ingin menjadi anak yang membantah keinginan orangnya dan di sisi lain kegundahan sebagai kakak pun ada padanya.