Sejak pagi itu, Victoria sudah berada di ruang kerja kecilnya, duduk di kursi empuk dengan laptop terbuka di depan mata. Rambutnya tergerai rapi, busana pastel menonjolkan aura anggun seorang wanita berkelas, dan parfum lembut yang ia kenakan seolah menandai setiap langkahnya. Ia tersenyum tipis sambil mengetik cepat di layar—senyum yang ia sendiri rasakan penuh kemenangan, meskipun hanya dalam konteks profesional. Namun di balik senyum itu, hatinya berdegup tak karuan. Pesan yang ia kirim ke Daniel—partner bisnis dari Singapura—masih terngiang di telinganya. "Kamu selalu terlihat cantik di meeting tadi. Kalau aku bisa, aku ingin mengajakmu dinner lagi. Sama seperti di Singapura." begitu kata terakhir yang ia tulis. Kata-kata itu seharusnya profesional, hanya basa-basi yang tak lebih dari