Bab 8

1141 Kata
Tak lama kemudian, mobil yang dikendarai Ustaz Ridwan telah tiba di depan rumah. Khayra sangat antusias turun dari mobil, lagu berjalan ke arah umi serta kedua adiknya. Mereka bertiga menyambut kedatangan Khaira, dengan senyuman hangat. "Kak Khay! Mila rindu sama, Kakak." Mila pun tak kuasa lagi menahan air matanya. Menumpahkan semua kerinduan yang selama ini ia pendam, untuk bisa bersama lagi dengan Kakak sulungnya. "Akmal juga, Kak!" Sama halnya dengan Mila. Akmal langsung mendekat, lalu memeluk Khaira dengan begitu erat. Melepaskan kerinduan yang lama ia simpan. Menumpahkannya dalam tangis kebahagiaan. Melihat kedua adik serta orang tuanya yang sudah bercucuran air mata. Membuat Khaira merasa terharu dan juga bersalah. Karena keegoisan untuk melupakan kejadian buruk di masa silam. Telah menorehkan kerinduan yang mendalam, untuk orang-orang yang ia sayang. "Kakak juga rindu dengan Abi, Umi dan juga kalian. Maafkan Kakak, karena baru sekarang sempat pulang ke Indonesia. Kakak janji setelah ini, kita berlima akan bersama-sama lagi." Kehangatan menyeruak di keluarga itu. Membuat Khayra merasakan kenyamanan serta kebahagiaan. Saat berada di tengah-tengah keluarganya, yang penuh dengan ketulusan serta cinta kasih. "Oh iya, Akmal. Kakak punya oleh-oleh buat kamu, Mila Abi dan Umi." "Benaran, Kak?" tanya Akmal dengan antusias. "Iya, makanya kamu bantu Abi mengeluarkan koper serta barang-barang Kakak yang lain di mobil," pinta Khaira, sambil tersenyum kearah adik laki-lakinya. "Siap, Kak!" Setelah mengatakan itu, Akmal bergegas dengan penuh semangat menuju mobil abi mereka. "Kak Akmal, tunggu! Mila juga mau bantu Kakak!" teriak Mila, lalu berlari menyusul Akmal. Membuat Salma geleng-geleng kepala, saat melihat tingkah kedua anaknya. "Ya sudah, Khay. Ayo, kita masuk ke dalam. Umi sudah menyiapkan semua makanan kesukaan kamu," ajak Salma menarik tangan putrinya, disusul oleh Ustaz Ridwan, Akmal serta Mila dari belakang, sambil membawa koper serta barang-barang pribadi milik Khaira. *** Tak terasa, siang sudah berganti Malam. Setelah menyelesaikan makan malam bersama. Khayra dan keluarganya memutuskan untuk duduk di gazebo belakang rumah mereka. Sambil berbincang-bincang serta menikmati suasana malam. Sesekali mereka bercanda, melepas tawa hingga terpingkal-pingkal. Ada kalanya mereka serius. Saat mendengar Khayra bercerita tentang pengalamannya, selama berada di negeri orang. Mendengar Khaira bercerita, membuat Ridwan dan Salma merasa bangga, dengan prestasi yang dicapai oleh putri mereka. Hingga ia mendapatkan promosi jabatan dan pindah ke negeri asalnya, Indonesia. "Oh ya, Nak. Apa kamu masih ingat dengan Qidam?" tanya Salma di sela-sela obrolan mereka. Khayra menatap Salma dengan lekat. Saat mendengar nama Qidam disebut. Pria yang dulu pernah ia tolak, dengan alasan ingin fokus dengan pendidikannya. "Hmm, iya Umi. Khaira masih ingat. Apa kabar Kak Qidam sekarang? Apa dia masih mengajar di pesantren Abi?" Kaira menanyakan itu, karena ada rasa penasaran yang menggelitik hatinya. Ia tidak memiliki alasan spesial. Hanya saja ia ingin mengetahui, keadaan pria yang dulu pernah menyatakan perasaan kepadanya. "Kalau ada waktu kosong saja, Qidam mengisi pelajaran di pesantren. Itu pun kadang, hanya dua atau tiga kali," jawab Salma menjelaskan. Rasa penasaran mulai menggoda Khaira untuk mencari tahu, tentang kegiatan yang dilakukan Qidam sekarang. "Memangnya ..., apa pekerjaan baru Kak Qidam sekarang, Umi?" Khaira mulai terpancing untuk mencari tahu. Ketika mendengar penjelasan dari Salma barusan. "Sekarang Qidam sudah hebat, Khay. Berkat kerja kerasnya, ia berhasil menyandang gelar master dan menjadi dosen di salah satu universitas." Seketika Khayra terdiam. Ketika mendengar perkataan dari uminya. Namun, dengan cepat ia berusaha merubah suasana hati. Supaya Salma tidak menaruh curiga, dengan apa yang ia rasakan sekarang. "Wah, bearti Kak Qidam sudah jadi orang sukses ya, Umi?" tanya Khayra menanggapi perkataan Salma. Karena ia merasa turut bahagia, saat mendengar kesuksesan yang diraih oleh pria itu. "Iya, Sayang. Kalau Umi lihat, sepertinya Qidam menyimpan perasaan untukmu, Nak. Umi rasa, kalian berdua juga sangat cocok. Ia 'kan, Abi?" tanya Salma meminta persetujuan dari suaminya. "Kalau soal itu Abi kurang tahu, Umi. Soalnya Qidam belum menyampaikan secara langsung kepada Abi. Kalau dia menyukai putri kita. Jadi Abi rasa, Umi tidak perlu mengambil kesimpulan seperti itu. Pasrahkan saja kepada Tuhan, sambil bermunajat. Semoga Tuhan mengirimkan jodoh terbaik untuk putri kita." Mendengar perkataan abinya, membuat perasaan Khaira sedikit lega. ia merasa tertolong, saat uminya menodongkan pertanyaan yang sulit untuk ia jawab. "Iya Abi, Umi selalu berdoa untuk kebaikan serta kesehatan anak-anak kita. Umi hanya ingin mengingatkan Khaira, jangan terlalu sibuk bekerja. Hingga asik sendiri dan melupakan hidup berumah tangga." Salma sengaja mengatakan itu kepada Khayra. Supaya putrinya itu, tidak melupakan kodratnya sebagai wanita. "Khay mengerti dengan maksud perkataan Umi. Namun, saat ini, Khay ingin fokus dengan pekerjaan Khay dulu. Boleh ya Abi, Umi," pinta Khaira dengan nada memohon kepada kedua orang tuanya. "Hmm, tapi kamu juga harus ingat Khay, dengan umur mu. Tidak baik seorang wanita menolak jodoh, hanya demi ingin mengejar karir." Salma berusaha menasehati putrinya. Supaya Khaira mau membuka pikiran serta hatinya, untuk segera menikah. Ustaz Ridwan yang mendengarkan perkataan istrinya, langsung angkat bicara. Sementara Akmal dan Kamila, mereka hanya diam saja. Karena tidak berani ikut campur, dengan permasalahan yang dialami oleh Kakak mereka. "Umi, biarlah itu menjadi keputusan Khayra. Kita selaku orang tua tidak boleh memaksa. Sebaiknya, kita doakan saja yang terbaik untuk putri kita." Salman berusaha memberikan pengertian kepada istrinya. Hingga terkadang, terjadi perdebatan kecil di antara mereka "Umi tidak memaksa Abi. Umi hanya ingin memberikan pandangan kepada anak kita. Umi tidak mau nantinya, Khayra menjadi perawan tua. Karena sibuk memikirkan karir." Salma mengatakan itu, supaya putri dan suaminya mengerti, dengan kecemasan yang ia khawatirkan. "Abi, Umi. Khay mohon. Jangan memperdebatkan soal ini dulu. Insya Allah Khay akan menikah, jika sudah waktunya. Umi tenang saja, Khay tidak akan menolak jodoh terbaik, yang dikirimkan oleh Allah nanti. Jadi Khay mohon, ijinkan putrimu ini untuk mengabdikan ilmu yang ia dapat, di negara kelahirannya." Wanita itu berusaha memberikan penjelasan serta pengertian kepada kedua orang tuannya. Terutama kepada uminya, agar tidak menyinggung lagi soal pernikahan. "Baiklah Nak, jika itu menjadi keputusan kamu, Umi tidak akan memaksa. Semoga kamu secepatnya menemukan pendamping hidup yang terbaik, untuk mendampingi hidupmu kelak." Ketika mendengar jawaban dari uminya, membuat Khayra merasa sedikit lebih lega. Senyum manis pun, akhirnya saat ini menghiasi wajahnya. "Terima kasih, Umi, Abi. Selama ini kalian selalu mendukung serta memberi pengertian, atas apa yang Khay lakukan." "Iya, Sayang." Setelah mendengar jawaban dari orang tuanya, Khayra segera memeluk mereka dengan begitu erat. Sebagai luapan kebahagiaan yang ia rasakan sekarang. *** Keesokkan harinya. Khayra sedang berada di dalam kamar, sambil merapikan penampilannya. Tak lama kemudian, suara teriakan adiknya menggema memanggil namanya. "Kak Khay!" teriak Mila, lalu menghampiri kakaknya. "Ada apa Mila? Ini masih pagi, jangan teriak-teriak," pinta Khayra sambil melirik ke arah perempuan dengan pipi chubby itu. "Hmm, Mila mau bilang. Kalau di depan ada cowok ganteng, yang ingin bertemu dengan Kakak." Khayra pun mengerutkan dahinya. Ketika mendengar perkataan dari Mila adiknya. "Siapa? Kamu jangan bercanda, Mila." Khayra segera membalikkan tubuhnya menatap cermin, untuk merapikan hijab serta pakaian yang ia kenakan sekarang. "Mila tidak bercanda, Kak. Kalau Kak Khay tidak percaya, lihat saja di bawah. Cowok gantengnya sedang duduk di kursi tamu." Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN