Bab 2. Pernikahan

1272 Kata
“Aku akan mempercepat pernikahan kita. Minggu depan kita akan menikah, Hazel.” Tak urung kalimat itu berhasil membuat sepasang bola mata Hazel nyaris meloncat keluar dari kelopaknya. “Tu-tu-tunggu.” Hazel merasakan alat pemompa darahnya bekerja terlalu keras. Bergerak beberapa kali lipat lebih cepat dari seharusnya. Bukan kalimat itu yang seharusnya keluar dari mulut Oliver. Bukan itu. “Saya—” Oliver mengangkat alis. “Kamu tahu, Hazel?" Oliver mendorong punggung ke depan. Kepala pria itu meneleng. “Di luar sana banyak perempuan yang jauh lebih cantik darimu, yang memohon untuk bisa menjadi istriku,” ujar Oliver seraya menatap semakin lekat sepasang mata Hazel. Hazel berusaha tetap tenang. Wanita itu mengangguk. Hazel menjaga ekspresi wajah, sekalipun perasaannya tidak menentu. Dia tidak berharap menjadi istri Oliver. “Seharusnya kamu bersyukur karena aku memilihmu.” Suara Oliver kembali terdengar. Pria itu tidak membiarkan bola mata Hazel lepas dari kunciannya. Jari telunjuk pria itu bergerak, mengetuk berulang permukaan meja kayu. Membuat suara yang memecah hening ketika dua orang penghuni ruangan tersebut sama-sama diam. Hazel merasa kesulitan hanya untuk menelan salivanya sendiri. Wanita itu bahkan hampir saja mendelik. Hazel membelah sepasang bibirnya. “Anda akan kecewa, Tuan Oliver.” Lipatan di kening CEO berusia 35 tahun itu tampak lebih jelas saat dua alisnya bergerak mengerut. “Oh, ya? Kenapa?” tanya Oliver yang terlihat begitu tenang. Menatap Hazel, memperhatikan setiap perubahan ekspresi wanita tersebut. “Karena saya tidak akan membiarkan ada perempuan lain di ranjang anda.” Hazel sempat mencari informasi tentang sosok CEO perusahaan otomotif tersebut. Dari informasi yang didapat, Oliver memiliki semua image baik sebagai seorang pengusaha. Hanya ada satu hal buruk yang sayangnya dianggap biasa oleh orang-orang yang mengenal pria tersebut. Oliver selalu membawa perempuan yang berbeda setiap harinya. Apa jadinya kalau dia menikah dengan pria sebejat itu? Bayangan penyakit kelamin sudah membuat Hazel merinding. Dia seorang dokter. Dia tidak punya impian mati karena penyakit kelamin. Belum terlambat. Hazel akan berusaha menggagalkan rencana pernikahan itu. "Anda tidak akan bisa bebas lagi menggandeng perempuan-perempuan cantik di luar sana." "Bukankah anda menyukai hidup anda saat ini? Apa enaknya hidup terkekang. Bukankah begitu, Tuan Oliver?" Hazel masih melanjutkan usahanya. Membujuk Oliver untuk tidak menikahi dirinya. Senyum Hazel yang sudah akan mengembang itu layu seketika saat melihat ekspresi wajah Oliver. Oliver tertawa. “Aku tidak peduli. Kita akan tetap menikah minggu depan. Aku sudah membuat keputusan.” Oliver tetap kukuh pada pendiriannya. Penolakan Hazel justru membuatnya semakin ingin menikahi perempuan tersebut. Pria itu tersenyum melihat wajah pias Hazel. Oliver kembali mengambil botol minuman, lalu menuang sebagian isinya ke dalam gelasnya yang sudah kosong. Mengembalikan botol ke tempatnya, lalu beralih mengangkat gelas bertangkai. Oliver mengangkat gelas tersebut sambil tersenyum. “Untuk pernikahan kita minggu depan,” kata pria itu sebelum meneguk minuman hingga langsung tandas. Oliver mendesah nikmat. "Aku sudah tidak sabar ingin segera menikahimu," ungkap pria tersebut. Hazel tidak tahu kenapa Oliver bersikukuh untuk menikah dengannya. Apa jumlah uang itu hanya akan terbayar dengan menjadikan dirinya tawanan pria itu? Telapak tangan Hazel sudah mengepal kuat di atas pangkuan. Apa lagi yang kira-kira bisa membuat Oliver mengurungkan niatnya? Ayo berpikir, Hazel. Sepasang mata Hazel mengedip cepat ketika satu pemikiran terlintas, dan dia yakin kali ini akan berhasil membuat Oliver mundur.“Saya sudah tidak perawan.” Sungguh, Hazel masih berharap Oliver akan menggagalkan pernikahan tanpa cinta itu. Hazel bisa melihat bola mata pria di depannya langsung bergerak. “Saya bukan perawan,” ulang Hazel dengan degup jantung yang sudah kembali menggila. Harapan terakhir Hazel. Ia benar-benar berharap alasannya kali ini akan membuat pernikahan itu gagal. Bukankah Oliver pasti menyukai perawan? Dan pria itu bisa mendapatkannya di luar sana. Dengan mudah. Hazel menatap lurus sepasang mata Oliver. Ekspresi wajah wanita itu tidak menggambarkan emosi apapun. Datar, seolah memang tidak memiliki emosi ketika mengatakan kalimat tersebut. Hazel berusaha untuk tetap terlihat tenang, sekalipun di dalam dadanya sana bergejolak luar biasa. “Makanlah. Setelah ini kita akan ke butik.” Oliver mendorong piring di depan Hazel. “Mommy mu bilang kamu hanya makan salad setiap malam.” Lalu Oliver menarik mendekat piringnya. “Ah, sudah dingin,” ujar pria tersebut sebelum meraih garpu serta pisau dan mulai memotong daging di atas piring. Oliver memasukkan potongan daging ke dalam mulutnya. Mengunyah seraya menatap Hazel yang belum bergerak dari posisi semula. “Makanlah. Apapun yang kamu katakan, aku tidak akan merubah keputusanmu. Kalau kamu ingin aku membantu orang tuamu, maka minggu depan kita akan menikah.” Oliver melanjutkan kegiatannya. Memotong daging, kemudian memasukkan ke dalam mulutnya. Sedangkan Hazel menatap pria itu dengan d*da bergerak cepat naik turun. Apa sudah tidak cara lain untuk menghentikan pria di depannya? Wanita itu meremas kembali kepalan tangan yang berada di atas pangkuan. “Apa kamu ingin aku suapi?” tanya Oliver setelah menelan kunyahan. Meliha Hazel masih belum menyentuh makanan di depannya, Oliver kembali bersuara. “Atau mommy mu berbohong? Kamu tidak makan salad.” Tanpa merespon dengan kata-kata, Hazel mengeluarkan tangan dari balik meja, kemudian meraih alat makan dan mulai menyuap. Wanita itu mengunyah cepat. Seolah tidak ingin berlama-lama lagi berdua bersama dengan Oliver. Sepuluh menit keduanya menyelesaikan sajian di atas meja. Hazel berniat untuk segera pulang, namun kalimat Oliver membuat wania itu harus mengubur keninginan untuk segera terlepas dari pria tersebut. “Kita akan ke butik sekarang.” Oliver mendorong kursi ke belakang. Pria itu beranjak kemudian melangkah meninggalkan meja. Oliver mengambil mantel milik Hazel. Seperti selayaknya pria gentlemen, pria itu memakaikan mantel ke tubuh Hazel, sebelum mengambil mantelnya sendiri kemudian memakainya. Melapisi setelan jas warna dongker yang sudah membalut tubuhnya. Malam itu juga Oliver membawa Hazel ke butik yang menjual gaun-gaun pengantin untuk kalangan atas. Sosialita dan keluarga kerajaan. Dengan kekuasaannya, Oliver memilih satu gaun terindah untuk calon pengantinnya. Pria itu meminta beberapa modifikasi yang harus pihak butik selesaikan dalam lima hari. Dengan uang, semua bisa dilakukan. **** Hazel benar-benar tidak bisa merubah keputusan Oliver. Satu minggu setelah pertemuan pertama mereka, kini Hazel berjalan bersama papa angkatnya. Keduanya berjalan di antara deretan bangku-bangku kayu yang sudah terisi penuh oleh tamu undangan. Suara denting piano terdengar mengiringi setiap langkah kaki berbalut heels 14 centi meter berwarna putih. Membuat suasana terasa begitu hikmat dan syahdu. Semua pasang mata tertuju pada sosok yang beberapa saat lalu muncul dari balik pintu bersama seorang pria yang akan mengantar wanita itu menuju gerbang kehidupan baru. Tubuh Hazel terbalut gaun pengantin klasik dari kain sutra paling mahal warna putih tulang. Batu-batu swarovski bertaburan di seluruh gaun dengan ekor sepanjang dua meter. Model gaun yang tanpa lengan, memperlihatkan lengan putih mulus sang dokter muda di balik kain tipis. Di tangan Hazel, buket bunga langka seharga ribuan dollar. Wedding veil menutup kepala hingga d*da. Meskipun begitu, kain tipis itu tidak mampu menyembunyikan kecantikan Hazel yang memukau. Semua pasang mata tak terkecuali terarah pada wanita tersebut. Calon istri sang Miliarder. Ace Oliver Fermont yang akhirnya akan melepas masa lajang di usia yang sudah menginjak 35 tahun. Langkah kaki Hazel berhenti di depan seorang pria tampan gagah yang memakai setelan tuxedo warna hitam. Rambutnya ditata rapi. Wajah tampan pria itu tampak lebih seksi dengan bulu-bulu halus di sekitar rahang dan dagunya. Sepasang mata dengan manik berwarna biru itu tampak bersinar. Hazel menurunkan pandangan mata setelah mata mereka terpaut beberapa detik. Papa angkat Hazel mengulurkan tangan kanan Hazel yang semula melingkar di lengannya, kepada Oliver. Pria itu menatap sesaat Oliver. Menggerakkan kepala turun, sebelum berbalik kemudian melangkah menjauh. Hazel mengatur tarikan dan hembusan napasnya. Harapannya sudah hilang. Sebentar lagi ia akan terpenjara dalam kehidupan pria yang kini tersenyum ke arahnya. Wanita itu menelan saliva merasakan remasan di tangannya. Menggulir bola mata ke atas, Hazel bisa melihat seringai kecil pria yang sesaat lagi akan menjadi suaminya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN