Bab 3. Sah Suami Istri.

1339 Kata
Semua terjadi begitu cepat. Hazel tidak pernah menyangka ia akan berstatus sebagai istri orang disaat umurnya baru 24 tahun. Tidak--karena pria itu bukan Rion, kekasih yang sebelumnya ia harap akan menjadi suaminya. Sayang, pria itu lebih memilih perempuan lain. Hubungan yang Hazel harap akan berakhir di depan pendeta itu kandas di tengah jalan. Cintanya ternyata hanya bertepuk sebelah tangan. Tidak ingin sakit hati, Hazel memutuskan mundur. Setidaknya dengan dirinya yang mundur--Hazel masih bisa menjaga kepalanya untuk tetap terangkat. Dan sekarang, baru saja pendeta meresmikan hubungan barunya dengan seorang pria asing bernama Ace Oliver Fermont. Pria yang baru satu kali ia temui, dan hari ini adalah kali kedua ia bertemu dengan pria tersebut. “Silahkan cium pengantin anda.” Suara hening. Semua undangan diam memperhatikan sepasang manusia yang baru saja mengikat janji suci pernikahan dan diresmikan sebagai suami istri. Oliver mengangkat kain tipis yang menutupi kepala dan wajah cantik Hazel. Pria itu menyapu wajah cantik di depannya. Memperhatikan setiap bagian wajah Hazel yang sudah resmi menjadi istrinya. Hazel mengangkat sedikit kepalanya—menatap sepasang mata pria yang berdiri di depannya, memegang tangannya. Wanita itu menelan saliva. Mengatur tarikan dan hembusan napas untuk menenangkan rontaan jantung yang sudah menggila. Bukan! Jangan salah sangka. Jantungnya berdegup kencang bukan karena ia jatuh cinta pada pria di depannya, yang kini sudah sah menjadi suaminya. Benar. Dia harus mengakui jika pria bernama Ace Oliver Fermont ini tampan. Sangat tampan bahkan. Dari bentuk tubuh, mata, hidung serta bibir. Hazel mengerjap saat yang ia lakukan justru memperhatikan dan mengagumi fisik pria di hadapannya. Hazel tersentak saat tiba-tiba tubuhnya ditarik ke depan. Refleks, kaki kanannya tertarik ke depan hingga tubuhnya menempel dengan tubuh Oliver. Tak lagi berjarak. Ia bisa merasakan d*da bidang pria dengan aroma maskulin memabukkan. Degup jantung Hazel semakin menggila. Tanpa mengalihkan tatapan dari Hazel, Oliver mendekatkan kepala. Mengikis sisa jarak yang tersisa, lalu menyatukan bibir mereka. Semula hanya menempel, sebelum kemudian pria itu menggerakkan bibir, memaksa Hazel untuk membuka sepasang bibirnya hingga ia bisa mencium lebih dalam wanita yang sudah sah menjadi istrinya. Beberapa detik, Oliver berhenti menggerakkan bibirnya. Untuk pertama kalinya ia mencium seorang wanita saat mereka sudah terikat hubungan suami istri. Hazel menarik kepala ke belakang, melepas pautan bibir mereka. Namun, detik berikutnya bibir mereka kembali menyatu saat sebuah tangan menahan pergerakan kepalanya. Wanita itu hanya diam dengan jantung berdegup kencang. Tangannya meremas jas yang membalut tubuh pria yang masih belum berhenti menggerakkan bibirnya. Menginvasi setiap inci bibirnya. Hazel hanya terus diam. Sama sekali tidak menyambut ciuman suaminya. Beberapa menit yang terasa begitu lama bagi Hazel, akhirnya berakhir juga. Ketika Oliver melepas bibirnya dan menurunkan tangan dari belakang tengkuknya. Hazel menghembus napas lega. Suara riuh langsung terdengar ketika para tamu undangan memberikan tepuk tangan setelah melihat sepasang suami istri baru itu memperlihatkan cinta mereka dengan berciuman. Itu yang mereka lihat. “Sekarang kamu sudah jadi istriku.” Oliver bersuara. “Sekarang, ayo ikut aku pulang.” Oliver meraih sebelah tangan Hazel lalu menariknya. Hazel menahan pergerakan Oliver. Wanita itu membungkuk untuk menarik ekor gaun pengantinnya. Melihat yang dilakukan Hazel, Oliver langsung membantu. Setelah itu Oliver kembali menggandeng tangan istrinya dan mengayun kedua kakinya. Kejadian itu membuat suara tepuk tangan perlahan surut, lalu menghilang. Dua orang yang duduk di deretan kursi terdepan berdiri, kemudian menghadang sepasang pengantin yang hendak meninggalkan tempat tersebut. “Oliver.” Oliver tersenyum. “Aku sudah tidak sabar membawa istriku ke mansion, Mom.” Perempuan yang dipanggil ‘Mom’ oleh Oliver itu berdecak pelan, sementara kepalanya menggeleng. Beberapa detik kemudian ia menggeser tatapan ke samping. Menatap lekat dan dalam perempuan yang kini menjadi anak menantunya. Putranya yang satu ini tidak bisa dilarang jika sudah berkehendak. Wanita itu menarik napas dalam sebelum menghembus perlahan. Menoleh, kini wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu menatap sang suami. Sementara suaminya kini sedang beradu tatap dengan sang putra. Tidak ada kata yang keluar dari celah bibir yang tertutup tersebut. “Aku harus pergi sekarang, Dad.” Oliver berpamitan pada sang papa. Begitu melihat gerak bola mata sang ayah, Oliver kembali mengayun kaki sambil menarik sebelah tangan istrinya. Hazel hanya menggangguk kecil pada dua orang yang kini ia ketahui adalah kedua orang tua Oliver. Ini pertama kalinya mereka bertemu. Sambil mengayun kaki bersama Oliver, Hazel menoleh ke arah dua orang tua angkatnya duduk. Mereka sempat bertemu tatap sebelum Hazel meluruskan pandangan ke depan. Masih sambil membawa buket bunga, Hazel keluar dari gereja tempat pemberkatan dilakukan. Semuah mobil limosin hitam sudah siap di depan gereja. Seorang pria langsung membuka pintu penumpang belakang. Selayaknya pria gentlemen, Oliver berdiri—menunggu Hazel masuk ke dalam mobil, sebelum memutar langkah lalu berjalan memutari kepala mobil. Pintu ditutup. Pria dengan jas hitam-hitam langsung berlari ke mobil sedan yang parkir di belakang mobil limosin. Hazel berulang kali menarik napas panjang. Dia tidak tahu akan seperti apa hidupnya setelah ini. Siapa sebenarnya pria yang saat ini duduk di sampingnya? “Kamu tidak kecewa kita langsung pulang, kan?” Pertanyaan itu membuat Hazel memutar kepala ke samping. “Tidak,” jawab Hazel. Untuk apa dia kecewa? Pernikahan itu tidak ia inginkan. Dia terpaksa melakukannya demi orang tua angkatnya. Tersenyum di depan banyak orang, sementara hatinya tidak bahagia itu sulit. Mobil melaju. Hazel memilih diam. Dia hanya memperhatikan jalanan yang dilewati dari kaca pintu samping. Tidak peduli pada pria di sebelahnya yang terdengar berbicara entah dengan siapa melalui telepon genggam. Hazel bahkan tidak berkeinginan untuk sekedar menoleh, apalagi bertanya. Sampai kemudian mobil yang ditumpangi berbelok memasuki halaman luas, barulah Hazel meluruskan pandangan ke depan. Mengerjap melihat penampakan mansion tempat tinggal Oliver. Bola mata wanita itu bergerak ke kanan kiri, memperhatikan sekitar. Terpana? Ya, sangat. Namun, lebih karena berpikir bagaimana caranya bisa kabur dari tempat tersebut. Mobil itu belum berhenti bergerak bahkan setelah lima menit melaju dari gerbang besi tinggi kokoh yang terlihat begitu mengintimidasi siapapun yang hendak melewatinya. Hazel menelan ludah susah payah. Beberapa pria dengan tubuh tegap berpakaian jas hitam-hitam terlihat mondar mandir di beberapa area tempat itu. Sepertinya dia baru saja masuk ke kandang hewan paling berbahaya di muka bumi ini. Bahu Hazel terjatuh. Harapan untuk bisa kabur sepertinya akan sangat tipis bisa terwujud. Wanita itu menghela napas berat. Mobil berhenti. Pintu di samping Hazel langsung terbuka. Wanita itu keluar sambil memegangi ekor gaun pengantinnya. Hazel mengikuti Oliver. Mereka disambut berderet wanita dengan seragam maid serta penutup kepala dan juga sepatu yang serupa. “Selamat datang Tuan Oliver, Nyonya Hazel.” Mereka bersuara serempak. Membuat Hazel hanya bisa menahan gelengan kepala. “Ayo masuk. Aku akan menunjukkan kamar kita.” Hazel tidak bersuara. Hanya terus mengikuti Oliver hingga langkah kakinya berhenti di depan lift. Tak butuh waktu lama, pintu lift yang terbuat dari kaca tebal terbuka. Hazel melangkah masuk. Oliver meraih sebelah tangan Hazel, lalu menarik wanita itu keluar begitu lift berhenti dan pintu terbuka. Pria itu mengayun langkah menuju dua daun pintu berwarna coklat tua. Oliver mendorong sebelah daun pintu dengan satu tangan. Ayunan kakinya melewati ambang pintu. Tangan kanan pria itu masih menggenggam tangan Hazel. Begitu Hazel masuk ke dalam ruangan super besar yang membuat wanita itu sempat terpana beberapa saat, Oliver menutup pintu. Pria itu kemudian melangkah ke depan Hazel. Berdiri di depan Hazel, pria itu menatap sang istri dengan senyum miring. “Sekarang aku ingin mengambil hak setelah kualirkan dana 100 juta dollar ke rekening daddy mu.” Lalu pria itu menarik langkah ke depan. Menghilangkan sisa jarak diantara mereka. Dua tangan pria itu terangkat melewati bahu Hazel. Tangannya bergerak menarik turun zipper di punggung Hazel, sementara bibirnya mulai menyapa kulit leher putih jenjang Hazel yang tidak tertutup apapun. “Aku suka aroma tubuhmu.” Oliver mengecup leher Hazel. Membuat Hazel merinding. Hazel hanya bisa menelan susah payah salivanya saat Oliver melepas wedding veil, lalu menurunkan gaun pangantin yang dipakainya. Sesaat kemudian Hazel merasakan tubuhnya melayang. Oliver berjalan, membawanya ke sebuah ranjang besar dengan hiasan bunga di atasnya, serta kelambu putih yang terikat di empat tiang ranjang. Oliver menurunkan tubuh Hazel ke atas ranjang empuk dengan lapisan kain berwarna putih. Pria itu tersenyum menatap tubuh Hazel yang kini hanya tertutup oleh pakaian dalam dengan ukuran super minimalis.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN