Hazel benar-benar panik mendengar suara keras sirine yang tak kunjung berhenti. Wanita itu berlari ke dalam. Berusaha mencari-cari tombol yang mungkin bisa ia tekan untuk menghentikan suara sirine tersebut. Namun, tidak. Tidak ketemu. Dia tidak berhasil menemukan tombol apapun.
Semakin panik, Hazel berbalik. Berlari keluar dari dalam ruangan yang penuh dengan senjata api tersebut, berniat untuk keluar dari bangunan yang disebut sebagai markas oleh para pengawal Oliver.
“Berhenti! Angkat tanganmu!”
Langkah kaki Hazel langsung berhenti. Wanita itu menghembus napas. Sepasang matanya terpejam sepersekian detik sebelum kembali terbuka.
“Angkat tangan!” Suara bariton itu terdengar lebih keras.
Hazel mengepal kedua tangan. Dia tidak mengangkatnya seperti yang diperintahkan. Wanita yang sedang berdiri membelakangi pintu masuk itu menghembus pelan napasnya, sebelum kemudian membelah sepasang bibirnya.
“Ini aku. Istri bos kalian. Kenapa harus berteriak?” Wanita itu mengatur ekspresi wajah setenang mungkin sebelum memutar tubuh. Berdiri menghadap dua orang pria berjas hitam-hitam, Hazel bisa melihat wajah terkejut keduanya.
Hazel kemudian mengayun kaki. Urung berjalan ke arah belakang bangunan untuk melarikan diri, langkah kaki Hazel terayun ke pintu depan bangunan.
Hazel berjalan melenggang melewati dua orang yang hanya diam di tempatnya dengan senjata api terarah ke depan. Hazel sempat melirik keduanya seraya tetap mengayun kedua kakinya.
Hembusan napas lega keluar dari celah bibir Hazel setelah ia berhasil keluar dari bangunan di belakangnya. Suara sirine masih terdengar hingga beberapa saat sebelum akhirnya berhenti.
Sumpah … Hazel semakin curiga dengan Oliver. Untuk apa Oliver menyimpan banyak sekali senjata api di dalam ruangan itu. Lalu tumpukan kardus-kardus besar itu isinya apa? Dia belum sempat melihatnya. Bisnis apa yang sedang Oliver jalani saat ini? Bukankah perusahaan pria itu perusahaan otomotif? Apa mungkin kardus-kardus besar itu berisi spare part kendaraan bermotor? atau isinya juga senjata api?
Langkah kaki wanita itu masih terayun, sementara isi kepalanya benar-benar sedang bising dengan banyak sekali pertanyaan. Mencoba menerka apa pekerjaan Oliver yang sebenarnya.
“Astaga.” Hazel berjingkat kaget mendapati seorang wanita paruh baya berdiri di depan pintu mansion bagian belakang. Di bawah cahaya lampu remang-remang. Sudah seperti Bathsheba di film conjuring 1.
“Apa yang kamu lakukan di sini malam-malam begini?” tanya Hazel sambil mengusap dadanya. Wanita itu membulatkan mulut. Memasukkan oksigen dan menghembus karbondioksida dari tempat tersebut.
“Nyonya, tempat itu terlarang untuk semua orang, kecuali tuan Oliver dan para pengawal. Tidak ada satu orang pun yang diperbolehkan masuk ke sana.” Wanita paruh baya itu tidak menjawab pertanyaan Hazel, melainkan memberikan informasi kepada sang nyonya tentang bangunan besar serupa gudang yang terpisah dari mansion utama.
“Sebaiknya Nyonya jangan mendekati tempat itu. Apalagi sampai masuk ke sana. Mansion ini sangat luas. Banyak tempat yang bisa Nyonya kunjungi. Selain tempat terlarang itu.” Wanita paruh baya itu melanjutkan.
Hazel diam menatap asisten rumah yang paling senior. Perempuan di depannya ini adalah kepala pengurus rumah.
“Sekarang silahkan masuk, Nyonya. Jangan sampai tuan Oliver melihat anda malam-malam di luar seperti ini.”
Wah … Hazel harus mengacungkan dua ibu jari pada kepala pengurus rumah yang dengan berani memberikan ancaman tersirat padanya. Oh, siapa kamu Hazel? Sampai kamu merasa boleh tersinggung mendengar kalimat-kalimat itu? Kamu hanya orang baru di tempat megah ini, Hazel. Satu sisi otak Hazel mengingatkan dirinya sendiri.
Hazel tersenyum seraya menganggukkan kepala. Wanita itu melangkah melewati sang kepala asisten rumah, masuk ke dalam mansion. Jangan khawatir. Dia tidak akan lama berada di tempat ini. Secepatnya ia akan pergi. Hazel sudah tidak sabar ingin segera bebas beraktivitas seperti sebelumnya. Dia merindukan kliniknya. Bagaimana kabar pasien-pasiennya?
Terus melanjutkan ayunan kaki, Hazel berbelok ke arah tangga. Menaiki satu per satu anak tangga menuju lantai dua. Hazel tidak menggunakan lift. Hazel sempat menoleh ke bawah. Wanita itu mengangkat kedua alis saat melihat sang kepala asisten rumah ternyata masih memperhatikan dirinya dari ujung bawah tangga.
Hazel berdecak kecil. Wanita itu mengalihkan pandangan lalu melanjutkan ayunan kakinya. Naik lagi ke lantai tiga, Hazel kembali ke kamarnya. Malam itu Hazel menyudahi rasa ingin tahunya tentang sang suami. Cukup untuk saat ini.
****
Tiga buah mobil sedan warna hitam melaju memasuki sebuah dermaga. Malam sudah semakin larut, namun suasana di dermaga tersebut masih tampak cukup ramai. Beberapa kapal penumpang dan barang dijadwalkan akan berangkat berlayar malam ini. Salah satunya adalah kapal yang akan membawa barang dagangan milik Oliver. Barang-barang itu hendak diseberangkan menuju ke negara-negara lain di sekitar Inggris.
Pembeli-pembeli Oliver sudah menunggu.
Tiga mobil sedan tersebut berhenti melaju. Oliver menoleh ke samping—memperhatikan beberapa kapal yang terlihat dari kaca pintu. Tak lama kemudian daun pintu terbuka dari luar. Oliver keluar dari dalam mobil.
Pria itu mengayun langkah sambil memasukkan kancing jas ke lubangnya.
“Tuan, mantelnya.” Dengan setia Tom membantu Oliver melapisi tubuhnya dengan mantel tebal warna hitam. Udara malam itu memang sangat dingin. Angin juga cukup kencang hingga membuat rambut sang miliarder yang sudah sedikit panjang, sesekali tampak bergerak-gerak.
Oliver melanjutkan ayunan kaki ke tepi dermaga.
Pria itu berdiri di tepi dermaga dengan sepasang mata menyapu sekitar. Beberapa saat kemudian tatapan pria itu berhenti saat melihat satu kapal besar yang ia kenali. Kapal itu masih bersandar. Sebuah derek besar terlihat sedang memindahkan kontainer untuk di tempatkan di dek kapal. Menumpuk beberapa kontainer hingga terlihat rapi.
“Berapa kontainer yang jalan malam ini, Tom?” tanya Oliver tanpa mengalihkan perhatian dari aktivitas kapal di depan sana.
“Dua puluh, Tuan.”
Oliver menggerakkan kepala turun naik. Sepasang bibir sang CEO perusahaan otomotif itu berkerut.
“Pastikan kamu sudah menghubungi semua orang.” Suara Oliver kembali terdengar.
Paham maksud sang bos, Tom mengangguk lalu berkata, “Baik, Bos.”
Tarikan napas samar Oliver lakukan. Pria itu memutar kepala. Beberapa anak buahnya terlihat siaga—berjaga di sekitar tempat tersebut. Oliver mengembalikan fokus ke arah pemindahan kontainer yang masih belum selesai.
Bertahan hanya berdiri di tepi dermaga untuk beberapa menit, akhirnya Oliver bergerak. Pria itu berjalan ke arah pintu masuk dermaga. Tom dan dua orang pengawal dengan sigap langsung mengikuti. Sementara beberapa pengawal lainnya tetap berjaga di sekitar dermaga.
Oliver menuruni beberapa anak tangga. Langkah kakinya terus berayun. Insting pria itu bekerja saat ujung matanya melihat sesuatu.
“Awas!” teriak Oliver seraya menarik tubuh ke samping. Satu peluru melesat cepat tepat ke arahnya. Jika saja refleksnya tidak bekerja dengan baik, sudah pasti timah panas itu tidak akan menghantam tiang besi di belakang sana, tapi akan melubangi tubuhnya.
Seketika suasana di dermaga tersebut berubah gaduh. Suara teriakan terdengar saling bersahutan. Orang-orang berlari untuk mencari perlindungan. Menyelamatkan diri mereka masing-masing.
Para pengawal Oliver segera berpencar mencari sumber peluru itu berasal. Tangan mereka tak lagi kosong. Mereka membawa senjata api, siap untuk melepaskan tembakan sewaktu-waktu. Sementara Tom dan dua orang yang semula berjalan mengikuti Oliver, kini sudah berada di depan sang bos. Bertindak sebagai tameng Oliver.
“Sebelah sana!”
Dua orang pengawal Oliver langsung berlari ke arah yang ditunjuk oleh Tom.
“Ayo, Tuan. Sebaiknya Tuan berlindung. Saya akan ikut mengejar orang itu,” ujar Tom, meminta Oliver untuk bersembunyi.
“Sialan, mereka berani bermain-main denganku.” Oliver mencabut senjata api dari balik pinggangnya.
“Tuan.”
“Aku akan menghukum mereka dengan tanganku sendiri.” Oliver menolak nasehat Tom untuk berlindung. Dia bukan pengecut. Siapapun yang berani melawannya, akan dia hadapi. Oliver segera berlari ke arah pengawal-pengawalnya sudah lebih dulu berlari.
‘Door!’
‘DOR! DOR!”
'Dor!’
Suara tembakan mulai terdengar bersahutan dari beberapa arah berbeda.
“Arah sana!”
“Brengs*k!” Oliver berlari sambil mengarahkan senjata api di tangannya.
‘Do! Dor!’ Pria itu melepas dua kali tembakan. Melihat sosok dengan pakaian serba hitam berlari di balik semak belukar, Oliver mempercepat larinya. Pria itu kembali melepaskan dua kali tembakan. Diikuti Tom yang juga melepas tembakan ke arah yang sama.
Oliver melompat untuk menghindari peluru yang terarah padanya. Pria itu berguling sambil melepas satu lagi peluru. Suara desing peluru bersahutan dari dua sisi yang berbeda.
“Arghhh …!”
‘Dor!’
Oliver beranjak. Pria itu kembali mengejar seseorang yang baru saja terkena tembakannya. Namun, ketika ia nyaris berhasil mengejar satu orang dengan pakaian serba hitam itu, ternyata pria itu tidak sendiri. Ada lebih dari sepuluh orang dengan seragam yang sama serta penutup kepala sudah menunggu Oliver dan Tom.
Sementara tiga orang anak buah Oliver sudah mereka ringkus. Moncong senjata sudah menempel di kening mereka.
“Buang senjata kalian sekarang!”
Oliver menekan keras katupan rahangnya. Pria itu meremas pistol di tangannya.
Tom langsung bergerak ke depan Oliver. Pria itu masih belum melepas senjata api di tangannya. Dua kelompok berlawanan dengan jumlah yang tidak seimbang itu saling menodongkan senjata api.
“Buang senjata kalian!” Salah satu pria dengan pakaian serba hitam itu berteriak sambil menodongkan senjatanya.
Melihat Tom serta Oliver masih bertahan menggenggam senjata api mereka, pria yang sedang murka itu bergerak cepat membelokkan arah moncong senjatanya, lalu suara keras tembakan terdengar, diikuti satu tubuh anak buah Oliver yang tumbang tanpa suara.
Suara gedebum terdengar cukup keras saat tubuh pria yang sudah tak lagi bernyawa itu terjatuh.
‘f**k!’