Jalan Tajam Keputusan

1111 Kata
Kadang sebagai manusia kita selalu terluka karena suatu keputusan atau tindakan yang menjelma menjadi suatu "pedang bermata dua". Hal yang tak akan bisa ditinggalkan tak peduli walau merasa sangat keberatan. Jika terus dipikirkan sebenarnya ada banyak kerugian, tapi tak bisa serta merta diabaikan. Seperti makan buah simalakama di mana jika tak dimakan atau dimakan juga pada akhirnya akan tetap terjun ke jurang kesalahan. Seolah tak ada yang salah atau benar jika diminta memikirkan itu semua. Tapi, pada akhirnya sebagai seorang manusia yang memang harus hidup di tengah banyak keputusan dan perbedaan. Kita harus bisa bertahan di situasi sekalipun tak ada keseimbangan di dalamnya. Karena meninggalkan hidup pun tak selalu bisa jadi pilihan untuk semua orang. * Hari ini, seperti biasa, Liam kembali pulang sekolah bersama Kenna. Meninggalkan Ishana pada beberapa pilihan: pulang sekolah dijemput supir bersama adiknya yang kurang cerdas. Atau pulang sendiri menunggu tebengan (demi menghemat pengeluaran emisi karbon monoksida dan menyelamatkan planet bumi) anak ekskul basket yang masih latihan sampai sore. Jadilah ia menunggu seorang diri di lapangan parkir sambil memanfaatkan salah satu fasilitas sekolah yaitu wifi gratis. Secara kebetulan ia lihat Tara di kejauhan yang melangkah gontai malah tampak seperti mayat berjalan. Langkah kakinya sangat lambat walau hanya untuk mencapai motor yang ia taruh di parkiran khusus siswa. Ada apa gerangan yang terjadi? Pertanyaan itu tiba-tiba jadi begitu mengusik Ishana. “TAR!” panggil Ishana sambil asyik melambaikan tangan setinggi mungkin walau tetap menjaga posisinya duduk. Tara langsung menolehkan kepala untuk melihatnya. Tersenyum kecil dengan bibir yang kering pucat. Ishana hampiri Tara dan mengajaknya duduk di salah satu gazebo sekolah. Ia merasa Tara tak cukup sehat untuk mengendarai motor besar yang ia bwa seorang diri. Bagaimanapun juga Ishana tak mau sampai hal buruk seperti kecelakaan terjadi pada Tara. “Apa yang kamu inginkan?” tanya Tara sengit sambil memalingkan wajah. “Nggak ingin apa pun, kok. Sederhananya mungkin aku hanya punya niat baik untuk mencegah jumlah pangeran sekolah ini berkurang aja. Kamu paling bakal mati kelindes truk kalau pulang dengan keadaan begitu,” jawab Ishana santai. “Begitu juga… baik, ‘kan?” tanya Tara lemas. Ia hanya tidur satu jam tadi malam karena sibuk mengamati chart. Ia sangat suka matematika. Ia suka fisika. Apalagi kimia. Mungkin begitu juga dengan biologi. Tapi, tidak pernah dengan ekonomi. Atau yang sebangsa dengan itu. Plaak. Langsung ditampar “pelan” wajah sahabat masa kecilnya itu. “Mota mati kamu bilang. Jangan sembarangan bicara! Kalau kamu mati itu nyusahin orang. Kecuali kamu bisa gali kubur sendiri,” peringat Ishana. “Memang kenapa?” tanya Tara. “Karena anak itu… aku seperti kehilangan segalanya. Awalnya kamu. Lalu, peringkat sekolahku. Sekarang gadis yang aku sukai pun tampak seperti angin lalu. Tak sekali pun ia tampak menoleh atau mengharapkanku. Keberadaannya bagai bunga yang termakan waktu. “Haahh…” “Sepertinya kamu sedang tidak sehat. Jangan bilang itu karena pukulanku kemarin,” tanya Ishana. “Kalau boleh jujur… sepertinya hukuman polisi akan lebih ringan timbang yang tengah aku alami saat ini. Terdengar naif memang. Tapi, begitulah kenyataannya," respon Tara. Langsung buat Ishana merasa aneh dibuatnya. Temannya Tara sampai meracau seperti itu memang ada masalah apa, sih? Apa yang sedang ia hadapi sekarang? Kenapa begitu banget? Seburuk apa kondisinya sebenarnya? “Bagaimana dengan keadaan Liam?” tanya Tara kemudian. “Sudah mulai baik-baik saja. Dia sudah bisa memainkan beberapa lagu sederhana dengan lancar. Tapi, tidak dengan lagu yang akan kami mainkan di concours bulan depan. Sampai kondisinya belum pulih sampai waktunya. Kau akan tamat di tanganku. Bukan orang tuamu,” ancam Ishana. Tara menatap kosong. “Aku sangat tidak enak padanya.” “Tenang saja. Kau sudah dimaafkan, kok,” beritahu Ishana menenangkan. Ia sendiri tau sebenarnya Tara bukan anak yang jahat. Ia hanya kesepian dan merindukan kasih sayang yang tak pernah ia dapatkan dari orang tuanya, batin Ishana. “Sama sekali tidak. Tidak ada ketulusan di dunia tempat kami berpijak. I’m in deep shit.” Ishana menggaruk belakang kepalanya dengan raut malas. “Aaargh, susah ya jadi anak dai jurusan MIPA.” Tara menoleh. “Maksudmu apa?” tanyanya. “You don’t know shit.” “Entah kenapa aku membayangkan begini. Ayahmu akan menghukum tindakanmu dengan memintamu menghasilkan sejumlah uang dari pasar modal dengan modal awal yang tidak masuk akal,” tebak Ishana. Tara menatap Ishana nanar. “Kemampuan deduksi yang luar biasa,” pujinya. “Bukan deduksi. Aku hanya mempelajari watak ayahmu dari beragam video rapat dan konfrensi di komputer orang tuaku,” beritahu Ishana. “Sama saja, bodoh,” respon Tara garing. “Berikan saja akun dan kata sandimu padaku. Akan aku buat ayahmu malu sudah berani memintamu melakukan hal seperti itu,” pinta Ishana. Secara tak langsung menawarkan bantuan gratis. Ishana sendiri lebih berpengalaman beberapa tahun dalam dunia per-pasar modal-an. Entah sebagai investor maupun broker. Timbang Tara. Yang hanya menyukai hal-hal berbau scientific dan pasti. “…” “Aku tidak bisa menjamin. Tapi, kau bisa lebih berharap kalau diserahkan di tanganku. Tangan Ishana gitu,” ucap Ishana percaya diri. Tara bangkit dari duduknya. “Nein. Kepala kita berdua bisa sama-sama dipenggal sampai ketahuan melakukan hal seperti itu,” tolaknya “halus”. “Mengambil resiko dipenggal berdua lebih baik, ‘kan? Timbang dipenggal sendiri,” tawar Ishana belum menyerah. “Kenapa kamu sangat berkeras?” tanya Tara. “Kalau tidak ada Liam. Pasti kau yang akan menjadi pengiringku,” jawab Ishana. Tara tersenyum sarkastis. “Intinya kamu hanya tidak ingin kehilangan orang-orang yang bisa kamu manfaatkan. Untuk kesenangan dan kepuasanmu sendiri.” Ishana mengangkat kedua telapak tangan dan bahu dengan tampang tak mau tau. “Tepat sekali,” jawab remaja itu. Ia tersenyum ceria, “Aku bisa menyingkirkan siapa pun yang aku anggap tak ada gunanya dalam hidupku.” “Tanganmu belum kotor oleh darah, ‘kan?” tanya Tara. Dirangkul pundak sobatnya. “Membunuh untuk melampiaskan emosi itu sangat primitif. Kalau boleh jujur.” Keduanya berjalan menuju motor Tara. “Lalu, yang menurutmu kekinian apa?” tanya Tara merinding disko. Sebagai satu-satunya sahabatnya. Bahkan temannya. Ia sudah tau Ishana “a little bit” tidak normal sejak kecil. Tapi… “Entahlah. Mari kita lihat saja nanti,” jawab Ishana dengan seringai mengerikan di ujung bibir. Seringai yang sangat ber-damage jika sampai dilihat oleh perempuan. “Aku tidak akan pernah memaafkanmu lho sampai berani menyentuh Kenna. Dia bukan seseorang yang pantas disentuh oleh sepasang tanganmu yang entah sudah kotor oleh apa saja itu,” peringat Tara seraya naik ke bagian jok penumpang di motornya. Yang akan dikendarai Ishana (demi mengurangi emisi karbon dan menyelamatkan dunia). “Entahlah. Kita lihat saja nanti,” jawab Ishana. Brooomm. “No matter how freak you’re. I owe you one.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN