8

2586 Kata
subuh begini?" tanya Virgo pada adiknya sambil menguap lalu berusaha fokus lagi ke jalanan, beruntung jalanan pagi itu masih lengang. Cherry sendiri sedang duduk disampingnya sambil mengunyah roti sobek yang dibelinya tadi malam di supermarket dekat rumah. Dipangkuannya sudah ada bungkusan plastik berisi dua bungkus roti bantal dan dua kotak nescafe dingin. "Subuh apaansih bang, orang udah jam enam juga!" kata Cherry merasa ucapan abangnya berlebihan. Virgo lalu menempeleng pelan kepala adiknya. "Nyantai aja kenapa ngomongnya, ya abis kamu jalan masih gelap gini. Lagian rumah kita ke sekolah kamu gak jauh-jauh amat kali." Kata Virgo. Lalu mata Virgo tak sengaja melirik bungkusan di pangkuan Cherry dan tangan kirinya sudah akan merogoh kantung tersebut namun segera ditepis oleh Cherry. "Ngapain lo?" tanya Cherry galak. Virgo lalu melirik adiknya. "Pelit amat sih, roti lo gede gitu juga, masih kurang apa?" tanya Virgo menunjuk roti sobek ditangan Cherry. Cherry lalu memindahkan plastik berlabel minimarket ternama di pangkuannya jadi ke samping kirinya agar terbebas dari jangkauan Virgo. Cherry lalu memotek roti sobeknya dan menyodorkannya ke depan mulut Virgo. "Ini aja, itu bukan punya gue!" kata Cherry sambil menyuapi abangnya. Itung-itung bayaran juga karena sang abang mau mengantarnya ke sekolah pagi-pagi sekali meskipun dia masih sangat mengantuk. Virgo hanya menerima suapan adiknya itu dengan dahi mengernyit. "Titipan?" tanya Virgo penasaran yang hanya dibalas Cherry dengan senyuman yang entah bermakna apa. "kepo, lo!" Virgo memilih untuk tidak menyahuti adiknya itu dan kembali fokus menyetir. Perjalanan berlangsung cepat karena keadaan lalu lintas yang belum ramai. Cherry turun setelah mencium tangan abangnya yang hanya berbeda empat tahun dengannya itu. "Thanks, bang!" kata Cherry sambil menutup pintu lalu melambai. Cherry lalu masuk ke sekolahnya dengan riang. Hari ini ia berniat untuk melakukan aktifitasnya seperti biasa yaitu meletakkan sarapan di laci meja Nico. Jum'at kemarin ia tidak sempat melakukan aktifitas rutinnya itu karena datang terlambat. Cherry bahkan tidak sempat membawakan bekal makan siang untuk Nico. Dan Cherry juga absen dari menonton Nico latihan basket karena harus bekerja bakti membersihkan musholla dengan murid-murid lain yang juga terlambat. Bahkan seharian kemarin ia tidak melihat wajah Nico sama sekali. Jadi sebagai gantinya hari ini Cherry membeli dua roti dan dua kopi. Begitu masuk ke areal sekolah, ternyata sekolah sudah cukup ramai. Biasanya kalau keadaan sudah seperti ini di kelas Nico sudah pasti sudah ada penghuninya dan Cherry harus siap-siap diinterogasi atau di tanya ini itu oleh kakak kelasnya. Namun saat melewati ruang guru menuju ke gedung barat, Cherry berpapasan dengan ma'am Rossa, guru bahasa Inggris yang juga merupakan wali kelasnya. "Cheirilya!" entah antara menyapa atau memanggil, yang pasti wajah ma'am Rossa terlihat begitu gembira saat bertemu Cherry. Membuat Cherry mengernyit bingung. "Ee—eh iya ma'am?" Cherry merasa kikuk saat ma'am Rossa memegangi bahunya. "Kamu mau gak ikutan lomba debat bahasa Inggris? Kamu kan bahasa Inggrisnya termasuk yang pinter tuh," tanya ma'am Rossa. Cherry lantas menganga. "hah? Ee—eh maksudnya, kok saya ma'am? Kan wakilnya kemaren udah ada..." ucapnya bingung. Ya, setau Cherry wakil untuk ikut lomba debat bahasa Inggris itu Shakira anak kelas 10-3. "Iya nih si Shakira tiba-tiba kena diare, ma'am emang sebenernya jadiin kamu kandidat juga sih kalau emang Shakira gak mau. Eh tapi kamu mau gak? Mau aja ya, lumayan Cher dapet sertifikat," jelas ma'am Rossa panjang lebar. Cherry juga bingung. Sebenarnya dia mau-mau saja sih tapi dia belum ada persiapan apa-apa bahkan tidak tau nanti materi atau isu yang akan didebatkan itu soal apa. "Ih udah mau aja ya? Nico, perwakilan anak kelas sebelas udah duluan disana. Kamu kalau mau nanti jalannya ma'am anterin." Mata Cherry langsung membulat saat nama Nico disebut. Gila, ini namanya durian runtuh! Yakali Cherry mau nolak. "I—iya deh ma'am saya ikut. Tapi materinya gimana?" tanya Cherry bingung. Masalahnya dia benar-benar clueless soal debat tersebut. Ma'am Rossa mendesah nafas lega, lalu ia tersenyum lembut. "Udah tenang aja, nanti sebelum lombanya mulai tuh kamu ikutan workshop dulu, disitu nanti dikasih tau semuanya." Cherry lantas mengangguk. "Yaudah iya saya ikut." "Nah gitu dong! Yaudah yuk, ma'am bilang dulu ke kepala sekolah." *** Nico menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi dibelakangnya. Sepasang earphone terpasang ditelinganya sejak setengah jam yang lalu. Sesekali Nico memperhatikan siswa-siswi sekolah lain yang memakai nametag yang sama dengannya dengan nama dan nama sekolah masing-masing, ruangan aula salah satu universitas swasta terkenal di Jakarta itu mulai dipenuhi sesak oleh peserta lomba debat bahasa Inggris yang diadakan Universitas tersebut. Dan Nico adalah salah satu yang mewakili sekolahnya. Nico sedang menunggu perwakilan dari sekolahnya yang lain, yang mewakili kelas sepuluh, karena Nico mewakili kelas sebelas. Seharusnya wakil kelas sepuluh itu berangkat bersama dengannya naik mobil sekolah tetapi ketika Nico sudah siap di sekolah tadi, wakil itu belum juga muncul sehingga guru bahasa Inggris mereka, ma'am Rossa, menyuruh Nico berangkat duluan dan wakil kelas sepuluh itu akan menyusul nanti. "Nico!" Nico menegakkan kepalanya sambil melepas earphonenya yang sedang mengalunkan lagu leave out all the rest dan melihat ma'am Rossa sedang berjalan menghampirinya. Dibelakang guru bahasa Inggrisnya itu tampak seorang cewek, yang Nico duga adalah wakil kelas sepuluh mengekori ma'am Rossa. Ingin rasanya Nico menyemprot anak kelas sepuluh itu, tetapi Nico bukan orang seperti itu. Nico hanya akan menyimpan segala sesuatu, entah itu menyenangkan atau mengganggu hanya untuk dirinya sendiri, yah meskipun terkadang dia berbagi sedikit kepada Arif dan Dika. Tidak lama, ma'am Rossa sudah berdiri di depan Nico dan cewek kelas sepuluh itu masih berdiri mengumpat dibalik tubuh tinggi ma'am Rossa. Mungkin cewek ini pemalu, pikir Nico. "Co, maaf ya bikin kamu nunggu agak lama, soalnya peraturannya ,perwakilan dari setiap sekolah harus kumpul semua dulu baru boleh ambil booklet sama ngambil breakfast. Kamu pasti laper nungguin kami," ucap ma'am Rossa dengan nada bersalah. Nico memaksakan sebuah senyuman tipis. "Iya ma'am, no problem," No it's a problem, gue kelaperan parah. "Yaudah, ma'am tinggal, nanti ma'am jemput lagi. Kamu punya w******p ma'am kan?" Nico mengangguk, mengiyakan pertanyaan sang guru. "Nah, kan kamu kelas sebelas, jadi kamu jagain adik kamu ya? Cheirilya, ma'am tinggal ya? Kamu kalau ada something atau apa-apa bilang sama kakak ini. Ok?" Cheirilya? Don't say... "Iya, ma'am." Suara familiar itu... Dan sosok yang sejak tadi mengumpat dibalik ma'am Rossa itu kini sepenuhnya tertangkap mata Nico. Mata Nico yang agak sipit sedikit membesar saat melihat sosok cewek itu, namun dengan cepat Nico kembali memasang wajah datarnya. Setelah mengulas senyum tipis pada gurunya, Nico akhirnya berdiri mendekati Cherry dengan ekspresi datar. "Kak sorry, sebenernya gue—" "Apapun itu, gue laper. Buruan ke aula tempat makan, gara-gara lo gue ga bisa makan daritadi. Anak sekolah lain udah pada selesai makan." Cherry mengedipkan matanya takjub. Bukannya kesal karena ia di omeli Nico, dia takjub karena selama mengenal Nico, inilah pertama kalinya cowok ini bicara lebih dari satu kalimat padanya. Rekor! "Ck, lemot." Setelah mengucapkan kata sadis itu, Nico berjalan meninggalkan Cherry yang masih takjub akan apa yang terjadi didepannya. Kalau bisa dibilang sih anugerah. Ya, kapan lagi coba mendengarkan cowok pelit ngomong itu ngoceh panjang lebar. Cherry tersenyum dan dalam hati mensyukuri Shakira—murid yang seharusnya menjadi wakil kelas sepuluh ikut acara debat itu—terserang diare pagi tadi, dan Cherry harus menggantikannya. Kalau begini, dia jadi dapat waktu banyak untuk bisa berduaan dengan Nico tanpa cowok itu bisa protes dan kabur darinya. Dan kalau Cherry beruntung, siapa tau dia bisa mengambil hati cowok itu. "Woy! Buruan kenapa!" teriak Nico yang ternyata masih berdiri menunggu Cherry tidak jauh dari barisan tempat duduknya, membuat Cherry tersentak lalu dengan tergagap menjawab. "i—iya kak!" *** Dika menoleh ke kursi belakangnya yang kosong untuk kesekian kalinya dan mendesah lesu. Biasanya, di jam kosong seperti ini Dika mendengar suara cempreng Cherry yang sedang bertukar cerita seputar drama korea dengan Kania atau paling tidak fangirlingan. Dan saat-saat itu akan Dika manfaatkan untuk jebe-jebe untuk membuat Cherry kesal. Yah, walaupun sekarang mereka berdua resmi bersahabat sekarang, tetapi sifat jail Dika terhadap teman ceweknya itu tidak berkurang sama sekali, malah intensitasnya semakin bertambah karena mereka sudah dekat. Karena bagi Dika, wajah Cherry yang sedang kesal itu seperti asupan energi tersendiri untuknya. Yaampun, Dika mengusap sendiri wajahnya dengan sebelah tangan. Tanpa Dika sadari sejak tadi pagi, saat ia mendengar kalau Cherry diajak pergi ma'am Rossa untuk menggantikan siswa kelas 10 lain yang seharusnya jadi wakil sekolah untuk lomba debat, Dika merasa kehilangan. Kangen. Iya, Dika kangen sama Cherry. Dika lalu mengeluarkan ponselnya dari kantung celana abu-abunya. Ia membuka aplikasi Line dan membuka obrolannya dengan Cherry semalam. Dika lalu dengan cepat mengetikkan pesan. Mahardika: Cherr, kangen gangguin lo deh. Disana lagi apa? Dika lalu menelungkupkan kepalanya diatas tangannya yang sudah terlipat di meja. Mending gue tidur. *** Bel pulang sudah berbunyi dari sepuluh menit yang lalu. Gerbang sekolah kini dipenuhi mobil dan motor siswa yang akan keluar dari halaman sekolah, juga beberapa siswa yang memang tidak membawa kendaraan pun turut memenuhi gerbang. Tidak terkecuali Arif dan juga Dika yang sedang dalam barisan motor-motor siswa lain, mengantri untuk keluar gerbang. Karena banyaknya mobil yang datang menjemput, diikuti dengan beberapa siswa yang juga membawa mobil ke sekolah, membuat keadaan di depan gerbang sedikit macet. Satpam dan tukang parkir SMA Bakti Siswa bahkan harus ikut turun tangan mengatur jalannya kendaraan-kendaraan tersebut. "Rif, nongkrong dulu ga?" tanya Dika saat motornya bersisian dengan motor Arif yang langsung dijawab cowok bersenyum manis itu anggukan. Tak begitu jauh dari gerbang, Dika dan Arif memarkirkan motor mereka di warung penjual pop ice langganan mereka. Biasanya Dika langsung menyebat rokoknya sambil menikmati pop ice disana, tetapi kali itu Arif tidak mendapati Dika mengeluarkan sebatang rokokpun dan sibuk meminum pop ice rasa bubble gum kesukaannya. "Tumben gak nyebat?" tanya Arif dengan alis sebelah naik. "Biasanya keluar gerbang langsung ngepul kayak kereta api jaman dulu," lanjut Arif. Dika memasang wajah bete. "Lagi males." Bohong. Padahal Dika memang sedang mencoba untuk berhenti merokok atas permintaan Cherry. "Lo mau langsung balik?" tanya Dika mengalihkan topik. Arif lalu menggeleng. "Enggak, gue ada urusan dulu," jawab Arif sambil menyeruput pop ice rasa cokelat biskuit kesukaannya. Dika mencibir dengan bibirnya, membuat bentuk lucu. "Alah sepik, bilang aja urusannya ngapelin gebetan baru lo itu kan..." sindirnya. "Sok tau lo. By the way, lu sendiri mau kemana lek? Balik atau..." "Jemput Cherry, dia lagi ikut lomba debat." Jawab Dika. Menyebut nama Cherry, bibirnya pun ikut tersenyum. "Hah? Lah Nico kan juga ikut lomba debat, lek. Tunggu tadi siapa kata lo? Cherry? Lo kenal?" Dika menepuk jidatnya. "Oiya kok gue bisa gak inget? Iya Cherry mah sekelas ama gue, lumayan deket gua kali ama gue. Kemaren kan gue jalan ama dia. Anjir si Nico berarti daritadi berduaan ama Cherry dong, enak banget gue jadi ngiri, coba gue yang ngikut." Arif menempeleng kepala Dika. "Bego dah, yang ikutan lomba kan banyak tong. Udah gitu, sekolah gak mungkin lah ngirim elo buat ikutan lomba, lu aja masih suka ketuker bahasa Inggrisnya dua belas ama dua puluh!" Dika meringis. Memang benar, diantara mereka bertiga, Dika lah yang paling bego bahasa Inggris. Well, sebenernya Dika memang agak bego dihampir semua pelajaran. "Emang Cherry siapa lo deh Dik? Gebetan?" tanya Arif karena selama ini ia memang tidak pernah mendengar soal Cherry dari mulut Dika sama sekali. Padahal biasanya Dika selalu terbuka kepadanya ataupun Nico soal cewek yang sedang ia incar atau pacari. Apa mungkin karena Cherry hanya seorang teman untuk Dika? Semoga. Karena kalau memang benar Dika suka dengan Cherry yang ada cowok itu patah hati karena tau Cherry menyukai Nico. "Sahabat, hehehe. Baru kali ini gue punya sahabat cewek Rif!" ucap Dika gembira. Ada binar ceria meletup-letup saat Dika menceritakan bahwa Cherry itu sahabatnya. Arif lantas menghela nafas. "Serius?" tanya Arif memastikan. "Iyalah. Tau sih, gue emang awalnya ngajakin dia sahabatan. Tapi ya Rif gatau kalau sama dia tuh rasanya beda," jawab Dika polos. Arif lantas mengejapkan matanya. Dika terdengar tulus saat mengatakannya. Sebelum-sebelumnya Dika tidak pernah membicarakan soal perasaan semacam itu terhadap perempuan. Kalau pun Dika cerita tentang gebetan atau pacar, yang ia ceritakan lebih kepada soal fisik cewek-cewek tersebut. "tunggu deh, ngomong-ngomong soal Cherry emangnya lo kenal Rif? Pas ngeMOS kan elo gak jadi kakak penanggung jawab kelompoknya dia." Arif mengerjapkan matanya. Lalu mengangguk. "Lumayan, sering sapa-sapaan, sering ngobrol juga kalo dia lagi nyamperin Nico." Dika tiba-tiba tersedak pop icenya. "Uhuk—apa? Lah Nico kenal juga sama Cherry?" tanya Dika kaget dengan fakta yang satu itu. "Lo udah akrab ama Cherry dari kapan sih Dik?" tanya Arif karena bingung dengan ketidaktauaan Dika tentang Nico dan Cherry. Padahal tadi Dika sendiri yang bilang ia dan Cherry sudah bersahabat. Lagipula soal Cherry yang mengejar-ngejar Nico juga sudah tersebar luas di sekolah. Ahiya Arif lupa kalau Dika ini orangnya cuek dengan keadaan sekitar. Dika lalu melempar gelas plastiknya ke tong sampah. "Hmm deket sih dari awal masuk, soalnya gue sekelompok mulu sama dia. Sering kerja kelompok bareng, tapi akrab yang bener-bener kayak temen baru-baru ini." "Tapi lo tau Cherry suka sama Nico?" . Dika menatap Arif dengan ekspresi terkejut, seakan Arif baru saja berbicara bahasa alien padanya. Dika lalu menelan ludahnya. "E—emang iya?" tanya Dika untuk memastikan. "Lah, katanya sahabatan masa gak tau?" tanya Arif sambil mencoba mencerna ekspresi Dika yang tiba-tiba mengkeruh. Jelas sekali terlihat kalau berita ini seolah kabar buruk untuknya. Arif lalu berusaha menetralkan suasanya yang tiba-tiba berubah tersebut dengan menepuk bahu Dika. "Makanya kalo sekolah jangan kerjanya nyari gebetan mulu Dik, sampe gosip-gosip sekolah aja lo gak tau!" kata Arif dengan nada bercanda. Dika mengernyit. "Masa sih? Kok lo bisa tau Cherry suka Nico?" Arif melempar gelas plastik bekas pop icenya ke tong sampah di samping kursinya. Entah dia harus menceritakan hal ini atau tidak karena saat ini posisinya benar-benar membingungkan. Karena jelas-jelas kalau Dika naksir pada Cherry. Sedangkan Arif sangat tau bagaimana Cherry yang selama ini mencoba menunjukkan perasaan sukanya pada Nico. "Dia sering ke gedung kelas sebelas. Pagi, istirahat kedua sama pas ada ekskul basket atau futsal." Dika melotot. "Hah? Basket? Gue kan ikut ekskul basket juga kok gak tau!" "Lo aja jarang ikut latihan. Lagian Nico kan latihannya bareng tim inti di lapangan outdoor. Kalau anak-anak ekskul yang baru-baru sama yang gak masuk tim inti kan latihannya di indoor." "Terus ngapain dia sering banget nyamperin Nico gitu? Terus emang kok bisa gosipnya nyebar luas?" "Ya buat nemuin Nico. Ngasih sarapan, bekel, ya gitu deh. Paling heboh sih waktu dia masang puisi di mading kelas sebelas khusus buat Nico, dari situ dia jadi terkenal dikalangan kelas sebelas. Sampe-sampe dia dijulukin menel sama anak angkatan gue. Gak Cuma angkatan gue doang, angkatan kelas dua belas juga katanya udah pada tau." Dika mencoba mencerna informasi dari Arif ini dengan dahi mengernyit dalam. Kenapa bisa dia tidak tau sama sekali soal informasi penting ini. "Tapi kadang gue gak tega sama Cherry, lo tau sendiri kan lek si Nico itu begimana. Nico kalo nanggepin Cherry jutek banget. Tapi hebatnya si Cherry itu pantang menyerah banget anaknya," jelas Arif dengan matanya yang menatap Dika yang masih terdiam dengan wajah muram. "Lek, katanya mau jemput Cherry?" tanya Arif menyadarkan Dika dari lamunannya. Dika lalu mengusap wajahnya. "He-eh," jawabnya kikuk. Arif lalu mengangguk dan menepuk pundak Dika. "Gue duluan ya lek, lu hati-hati entar bawa anak orang. Terus kalo disana ketemu Nico, bilang kertas ulangan geografinya ada di gue." Arif sebenarnya tidak tega mendapati respon Dika yang diluar dugaannya ini. Ia tidak berfikir kalau Dika akan semuram itu dengan fakta tentang Cherry. Biasanya Dika cuek bebek kalau cewek incerannya sudah punya pacar atau hal lainnya karena Dika optimis ia bisa merebut hati cewek itu atau Dika sudah punya stok cewek lain sehingga baginya hal itu bukanlah masalah. Dika hanya mengangguk tanpa benar-benar mencerna omongan Arif. Didalam kepalanya masih terngiang-ngiang cerita Siska. Cherry, suka sama Nico? Entah kenapa d**a Dika tiba-tiba sesak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN