Prolog
Celine Arsanía, gadis 23 tahun itu, baru saja pulang dari klub malam. Tubuhnya limbung, wajahnya sayu, dan langkahnya berat. Aroma alkohol masih melekat di tubuhnya. Dia membuka pintu rumah perlahan, mengedarkan pandangan ke ruang tengah yang remang.
Matanya langsung menangkap satu sosok. Frans Devaron pria matang berusia 30 tahun.
Lelaki itu duduk di kursi makan, mengenakan kemeja putih yang lengannya tergulung. Cahaya lampu menyinari wajahnya yang dingin dan tajam. Frans, sahabat kakaknya, lelaki yang sudah lama menolak semua usaha Celine.
Celine tersenyum miring. Pusing di kepalanya menguap begitu saja.
Dengan langkah pelan, ia mendekat dan langsung duduk di pangkuan Frans tanpa aba-aba.
Frans terperanjat. “Celine, turun.”
“Aku kedinginan,” bisik Celine, meletakkan tangan Frans di pahanya yang terbuka lebar oleh gaun mini hitam yang nyaris tak menutup apa pun.
Frans mengepalkan rahang. Tapi sebelum sempat mendorongnya, Celine berteriak kencang.
“LEPASKAN AKU! JANGAN PEGANG AKU!”
Pintu-pintu kamar langsung terbuka. Jay keluar lebih dulu, diikuti Papa dan Mama. Suasana rumah langsung berubah mencekam.
“APA YANG KAU LAKUKAN, FRANS?!” bentak Jay.
Celine berpura-pura menangis, menyembunyikan wajahnya di d**a Mama. “Dia… dia narik aku ke pangkuannya…”
Frans berdiri, matanya membelalak. “Itu bohong! Dia yang—”
“Tutup mulutmu!” bentak Papa. “Kami sudah cukup mengenalmu, Frans. Tapi ini… ini tak bisa dimaafkan.”
Jay mendekat, mendorong d**a Frans. “Kau tinggal di rumah ini sebagai tamu, dan kau berani menyentuh adikku?!”
“Aku tidak menyentuh dia!” Frans membalas dengan nada keras.
Celine menangis makin keras. “Aku malu, Kak… aku malu banget… aku gak tahu harus bagaimana lagi…”
Mama memeluk Celine. “Kamu harus menikahi dia, Frans. Itu satu-satunya jalan.”
“Aku tidak menyentuhnya,” ulang Frans lagi. “Kalian semua salah paham.”
“Tapi semua bukti ada di depan mata kami!” Papa mulai emosi.
Frans mengepalkan tangan, napasnya memburu. “Kalau memang itu satu-satunya cara mengakhiri ini, aku akan menikahi dia. Tapi bukan karena aku melakukannya.”
Celine diam. Tidak menangis lagi. Matanya mengintip dari balik pelukan Mama.
Sorot matanya penuh kemenangan.
Papa dan Mama langsung berbicara soal pernikahan. Jay tetap menatap curiga, tapi tak bisa berbuat banyak di tengah situasi panas itu.
Frans masih berdiri kaku di tengah ruang makan, wajahnya penuh tekanan.
Celine perlahan berdiri. Gaunnya terangkat sedikit, tapi dia tak peduli. Dengan langkah pelan, ia berjalan menuju kamarnya di lantai atas.
Sebelum menghilang di tangga, ia menoleh sebentar ke arah Frans.
Tersenyum licik.
"Calon suamiku..." bisiknya nyaris tak terdengar, lalu membalik badan dan masuk ke kamarnya.
Frans menatap tajam ke arah punggung gadis itu.
Diam. Penuh kemarahan. Penuh keterpaksaan.
Memang gadis licik.