Bab 01

776 Kata
Frans berdiri di depan jendela kamarnya malam itu. Matanya kosong menatap langit Jakarta yang kelam. Tangannya masih mengepal, rahangnya tegang. Pikirannya berputar, tak percaya dirinya bisa dijebak begitu dalam oleh gadis bernama Celine Arsanía. Adik dari sahabatnya sendiri. Frans mengambil ponsel, menekan nomor Mama di Singapura. Suaranya bergetar saat mengucap, “Aku akan menikah, Ma.” Hening sesaat. Lalu terdengar suara terkejut dari seberang. “Apa maksudmu, Frans? Dengan siapa?” Frans menarik napas dalam. “Dengan Celine.” “Kau bercanda? Gadis kecil itu? Adiknya Jay?” “Aku gak punya pilihan.” Frans menutup telepon tanpa menjelaskan lebih lanjut. Ia tahu Mama dan Papa-nya pasti langsung terbang ke Jakarta secepat mungkin. --- Dua hari kemudian, tepat jam sebelas siang, mobil hitam berhenti di halaman rumah keluarga Arsanía. Dari dalamnya turun sepasang suami istri paruh baya. Elegan, berpakaian rapi, dan terlihat tak percaya dengan langkah mereka yang berat menuju teras rumah orang tua Celine. Papa dan Mama Celine menyambut dengan sopan. “Silakan masuk, Bu, Pak…” “Terima kasih… kami ingin berbicara langsung. Frans hanya berkata dia akan menikah dengan putri kalian, tapi kami belum mendengar penjelasan apa pun,” ujar Mama Frans tenang, meski wajahnya menyiratkan kekecewaan. Frans keluar dari kamar tamu dan langsung berdiri di tengah ruang tamu. Celine muncul belakangan, dengan wajah sedih dan mata berkaca-kaca. “Frans, tolong jelaskan semuanya,” pinta Papa-nya dengan nada tegas. Frans hendak membuka mulut. Tapi Celine lebih cepat. “Aku… aku gak bisa ngomong banyak,” ucap Celine pelan sambil menunduk. “Tapi malam itu… Frans…” “Celine,” tegur Frans tajam. Namun Celine malah terduduk di sofa, menutup wajah dengan tangan dan mulai menangis sesenggukan. “Dia paksa aku melakukan sesuatu yang aku gak siap… aku merasa kotor setelah itu…” ucapnya lirih, terputus-putus di tengah tangis yang dibuat begitu meyakinkan. Papa dan Mama Frans menatap putra mereka dengan mata terbelalak. Papa Frans menggeleng pelan, dadanya naik turun, berusaha menahan amarah. “Kau—kau menyentuhnya tanpa menikahinya dulu?” tanya Papa Frans nyaris tak percaya. “Itu tidak benar!” seru Frans, tapi suara Celine yang tersedu lebih menguasai ruangan. “Aku gak minta dinikahi. Tapi Papa dan Mama Celine gak mau kehilangan kehormatan keluarga mereka karena aku,” lirih Celine. Frans mengatup mulutnya. Rahangnya menegang. Mama Frans menghela napas panjang. Ia menatap Mama Celine yang duduk di seberangnya. “Saya benar-benar minta maaf atas kelakuan putra kami. Kami tidak menyangka Frans akan sejahat ini. Kami merasa gagal sebagai orang tua.” “Tidak apa-apa, Bu. Kami semua tentu tidak ingin hal ini terjadi. Tapi kami juga harus menjaga nama baik keluarga dan anak-anak kami,” jawab Mama Celine dengan senyum penuh arti. Papa Frans menepuk paha, lalu berdiri. “Kalau memang ini tak bisa dihindari, kami akan ikut bertanggung jawab. Kami akan membantu menyiapkan pernikahan mereka sebaik mungkin. Tak perlu sederhana. Kami akan adakan pesta pernikahan besar, sepadan dengan nama keluarga.” Celine mengangkat kepala pelan, mata merahnya memancarkan kemenangan. Ia berdiri dengan lambat, mendekati Mama Frans, menggenggam tangannya dengan lembut. “Terima kasih, Tante. Maaf kalau saya mengecewakan.” Mama Frans tersenyum kecil. “Kamu tidak mengecewakan. Kamu korban di sini, Celine.” Frans memejamkan mata. Ingin sekali ia teriak bahwa semua ini palsu. Bahwa dialah korban dari permainan kotor ini. Tapi untuk apa? Semua sudah telanjur. --- Hari-hari berikutnya, rumah keluarga Celine dipenuhi dengan kesibukan. Wedding organizer silih berganti datang. Gaun pengantin dipesan langsung dari butik Prancis langganan keluarga Frans. Lokasi pernikahan di hotel bintang lima sudah disiapkan, dekorasi mewah dengan tema emas putih. Celine tampil layaknya calon pengantin paling bahagia. Tapi di balik semua persiapannya, ia tak pernah benar-benar memedulikan dekorasi, bunga, atau katering. Yang ia pedulikan hanya satu: Frans menjadi miliknya. Jay mulai curiga. Tapi setiap kali ia bertanya, Celine hanya menjawab dengan tangis. Mama dan Papa pun memilih mendiamkan semua. Frans sendiri menjalani semua dengan diam dan tekanan. Dalam banyak momen, dia hanya bicara seperlunya. Ia ikut sesi pemotretan pra-nikah dengan wajah kaku, menggenggam tangan Celine seperti memegang pisau. Tapi Celine selalu tersenyum manis di depan kamera. Dan malam itu, seminggu sebelum pernikahan, saat rumah sudah sepi dan semua orang sudah masuk ke kamar masing-masing, Celine berdiri di tangga lantai atas. Mengenakan piyama satin putih, rambutnya tergerai. Frans melintas di bawah, hendak menuju kamarnya di lantai bawah. Celine menatap dari atas. Senyum tipis muncul di bibirnya. “Selamat malam, calon suamiku yang tampan,” bisiknya pelan. Frans berhenti di anak tangga terakhir. Menatap ke atas dengan mata dingin. Tapi Celine sudah membalik tubuh, melangkah masuk ke kamarnya dengan senyuman penuh kemenangan. Frans memandangi pintu kamar gadis itu tertutup. Matanya menajam. Nafasnya berat. Memang gadis licik.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN