Celine berdiri di tengah aula besar Hotel Imperial. Aula itu telah berubah sepenuhnya menjadi panggung dongeng versi dirinya sendiri. Warna pink lembut berpadu dengan biru muda menyelimuti seluruh ruangan, dari karpet mewah, dekorasi dinding, hingga tirai-tirai panjang yang menjuntai ke lantai. Ratusan bunga lily segar menghiasi sisi kanan dan kiri lorong tengah, ditata dalam vas kaca transparan tinggi, mekar sempurna, dan wangi samar yang menyebar seperti pelukan halus.
Celine menatap semuanya dengan mata berbinar. Di matanya, ini lebih dari sekadar pesta pernikahan. Ini adalah pencapaian. Sebuah pembuktian bahwa dia mampu mendapatkan apapun yang dia inginkan—termasuk lelaki keras kepala bernama Frans.
Dia berjalan perlahan di sepanjang lorong, menyentuh ujung kain satin yang menjuntai dari kursi-kursi tamu. Semua terasa sempurna. Ia sudah mengatur semuanya dari awal. Ia memilih sendiri dekorator, tema warna, bahkan jenis bunga. Tidak satu pun yang boleh menyentuh rencana ini tanpa persetujuannya.
Jay berdiri tak jauh di belakang adiknya. Matanya menyipit memperhatikan cara Celine menatap semua itu—terlalu senang, terlalu puas.
“Cel,” panggil Jay dingin.
Celine menoleh, wajahnya cerah.
“Kamu kelihatan bahagia banget. Emang segitu senangnya kamu menikah karena insiden kemarin?” tanya Jay datar, penuh curiga.
Sekejap, ekspresi Celine berubah. Senyum di wajahnya lenyap digantikan raut terluka. Bola matanya membesar, bibirnya mulai gemetar, dan matanya berkaca-kaca seperti baru saja disiram kenangan pahit.
“Aku gak bahagia!” bentaknya tiba-tiba.
Jay terdiam.
“Aku malah sedih, Jay! Kamu pikir aku senang menikah begini?” lanjut Celine sambil menyeka air mata yang tiba-tiba mengalir dramatis di pipinya.
Jay menatapnya bingung. “Tapi kamu barusan—”
“Aku punya lima pacar sebelumnya! LIMA! Dan aku harus tinggalkan mereka semua karena harus nikah sama Frans! Frans b******n itu!” teriak Celine sambil menunjuk Frans yang baru saja masuk ke aula.
Frans yang mengenakan kemeja hitam dan celana abu gelap itu menghentikan langkah. Matanya langsung mengarah ke Celine yang masih berdiri dengan tangan menunjuk padanya, air mata di pipi, dan Jay yang berdiri canggung di sampingnya.
“Dengar semua orang!” pekik Celine seperti pemeran utama di drama murahan. “Aku ini korban! Harusnya aku nikah sama lelaki yang aku pilih sendiri! Bukan lelaki yang memanfaatkan kesempatan untuk melakukan hal tercela padaku!”
Frans berjalan pelan mendekat. Senyum miring muncul di bibirnya.
“Kamu lupa latihan naskah? Drama kamu makin kacau, Cel,” ucap Frans pelan namun cukup keras untuk didengar Jay.
Celine mendengus, menghapus air mata dan menatap Frans dengan tajam.
“Aku gak lupa apa pun, Frans. Justru kamu yang lupa… kamu itu hanya pemeran pembantu di naskah hidup aku.”
Frans terkekeh pendek. “Dasar tukang drama.”
Celine membalikkan badan, berjalan kembali menyusuri aula dan meninggalkan aroma parfum mawar yang menyengat. Jay memandang adiknya, lalu menatap Frans.
“Kau yakin mau menikah dengannya? kalau kau tidak mau, aku bisa untuk-” tanya Jay agak kasihan sebenarnya, sahabatnya harus menikah dengan adiknya yang agak gila itu.
“Gak perlu, Jay. Aku akan tetap menikah dengannya, bukankah aku disangka memerkosanya?” potong Frans sambil menatap dekorasi pernikahan itu dengan tatapan kosong. “Ini soal harga yang harus dibayar karena aku gak pergi dari rumahmu sejak awal.”
Jay terdiam.
Hari itu berakhir dengan keheningan. Tapi rencana tetap berjalan. Undangan sudah tersebar. Fotografer pernikahan telah dijadwalkan. Semua orang di lingkaran keluarga dua pihak sibuk mempersiapkan pesta yang mewah—pesta yang penuh kepalsuan.
---
Tiga hari menjelang pernikahan, Celine sibuk di ruang rias hotel. Ia duduk di depan cermin raksasa sambil mencoba tiara. Seorang makeup artist merapikan bulu matanya. Karena Celine meminta make up artist itu menghiasnya dulu dan melihat hasilnya nanti. Apakah bagus dan jangan ada yang kurang sedikitpun dari pernikahannya ini.
“Mbak Celine, kelihatan bahagia banget ya?” puji sang MUA.
Celine tersenyum samar. “Tentu. Aku dapat semua yang aku mau.”
Sementara itu, Frans duduk di balkon kamarnya di hotel yang sama, menatap langit Jakarta yang mendung. Di tangannya ada segelas kopi hitam. Pikirannya tidak pernah bisa tenang. Ia tahu, saat ia naik ke pelaminan nanti, ia tidak hanya akan kehilangan kebebasannya—tapi juga harga dirinya. Semua orang percaya ia pria biadab yang menodai adik sahabatnya sendiri. Padahal tidak satu pun dari itu benar.
Tapi siapa yang peduli?
Ia meneguk kopinya dalam diam. Di kejauhan, suara tawa Celine menggema dari koridor hotel. Gadis itu sedang sibuk fitting gaun, mencoba sepatu pernikahan, dan memberi arahan keras pada dekorator karena penataan bunga lily tidak sesuai keinginannya.
Frans tahu, hidupnya tidak akan sama lagi setelah ini.
Namun yang paling ia tahu…
Celine Arsanía bukan korban.
Celine adalah sutradara.
Dan ia hanya aktor yang tak bisa berhenti berjalan ke altar.