Bab 03

728 Kata
Hari itu akhirnya datang. Celine berdiri di depan cermin tinggi di kamar bridal suite Hotel Imperial. Gaun putih menjuntai sempurna membungkus tubuhnya, dengan ekor panjang menyapu lantai, dihiasi payet mutiara dan bordir bunga lily kecil. Di kepalanya, tiara perak bertengger seperti mahkota kemenangan. Wajahnya dipoles sempurna. Lipstik nude, blush tipis, dan bulu mata lentik membuat matanya terlihat berbinar. Tapi bukan karena bahagia—melainkan karena puas. Ia menang. "Semua yang kuinginkan... akhirnya milikku," gumamnya pelan, sambil tersenyum kecil pada pantulan dirinya sendiri. Pintu kamar terbuka. Papa-nya masuk mengenakan setelan abu-abu muda. Sorot matanya tampak canggung, campuran bangga dan anehnya, tidak sepenuhnya bahagia. Tapi ia tetap mendekat, mengulurkan tangan. "Ayo, Nak. Sudah saatnya." Celine menggandeng lengan papanya. Langkah mereka pelan menyusuri koridor menuju aula pernikahan. Di luar, puluhan tamu undangan dari keluarga, relasi bisnis, dan kenalan lama berdiri dalam diam. Musik organ gereja bergema lembut. Bunga lily putih digantung sepanjang lorong jalan masuk. Di ujung altar, berdiri lelaki yang tak pernah benar-benar tersenyum sejak awal prosesi ini diumumkan: Frans. Frans mengenakan jas hitam dengan dasi perak dan kemeja putih bersih. Rambutnya disisir rapi, wajahnya tegas dan tampan—tapi matanya mati. Tatapannya kosong. Tidak ada sedikit pun semangat di dalam dirinya. Hanya keterpaksaan yang membeku di garis rahangnya. Saat melihat Celine mendekat bersama ayahnya, Frans tidak tersenyum. Celine, sebaliknya, tersenyum lebar. Ia bahkan mempercepat langkah kakinya, seakan tak sabar berdiri di samping Frans di atas altar itu. Papa Celine berhenti di hadapan Frans. Ia menatap lelaki itu dengan dalam, lalu menuntun tangan putrinya, menyerahkannya langsung ke tangan Frans. “Jagalah putriku,” ucap Papa Celine tegas. “Dia bukan gadis yang mudah, tapi dia juga bukan seseorang yang layak disakiti.” Frans mengangguk pelan, tanpa kata. Celine berbalik memeluk Papa-nya singkat. Lalu berdiri tegak di sisi Frans, menggenggam lengan pria itu erat, seolah menunjukkan pada semua orang bahwa kini Frans adalah miliknya. Pendeta berdiri di depan mereka, membuka kitab kecilnya, lalu mulai berbicara. “Saudara-saudari yang kami kasihi, hari ini kita berkumpul menyaksikan ikatan suci antara Frans dan Celine…” Suara pendeta melantun panjang, menjelaskan tentang kasih, pengorbanan, dan janji suami-istri. Sementara itu, Celine terus tersenyum. Sesekali ia melirik Frans, yang berdiri tegak seperti patung. "Saudara Frans, apakah Anda bersedia menjadikan Celine sebagai istri yang sah, mencintainya dalam suka dan duka, sehat dan sakit, sampai maut memisahkan?" Frans menatap lurus ke depan. Diam sejenak. Lalu mengangguk. "Saya bersedia," ucapnya datar. “Saudari Celine, apakah Anda bersedia menjadikan Frans sebagai suami yang sah, mencintainya dalam suka dan duka, sehat dan sakit, sampai maut memisahkan?” Celine menoleh penuh semangat. Senyumnya lebar. “Saya bersedia!” jawabnya nyaring. Para tamu bertepuk tangan. Musik kembali dimainkan, dan mereka berganti cincin. Saat Frans menyematkan cincin ke jari manis Celine, matanya tetap tak menunjukkan rasa. Hampa. Namun Celine mencium tangannya sendiri setelah cincin itu terpasang dan berbisik pelan. “Sekarang kamu milikku.” Frans tak menanggapi. --- Pesta resepsi berlangsung mewah. Lampu gantung kristal, makanan dari chef internasional, para tamu berbaris memberi ucapan selamat. Tapi Frans hanya berdiri di sisi Celine, menjabat tangan tanpa ekspresi. Jay berdiri tak jauh dari pelaminan. Tatapannya tak bisa beralih dari adik perempuannya yang tertawa dan bergelayut manja di lengan Frans. Sesekali mata mereka bertemu—Jay dan Frans. Keduanya tahu, semua ini bukanlah cinta. Ini jebakan. Dan Jay tidak habis pikir dengan adiknya itu. Di akhir pesta, Celine menggandeng Frans naik ke suite pengantin. Saat pintu tertutup, keheningan menyeruak. Celine meletakkan buketnya di meja, melepas sepatu haknya, dan berjalan pelan ke balkon. Frans duduk di sofa, membuka dasi, dan menatap punggung perempuan itu. “Jadi, kita mulai dari mana?” tanya Celine sambil menatap lampu-lampu kota dari balkon tinggi itu. Frans hanya menatapnya dari kejauhan. “Mulai dari kamu berhenti berpura-pura jadi korban.” Celine tertawa kecil. “Sudah terlambat, sayang. Sekarang kamu adalah suamiku.” Ia berbalik, berjalan pelan ke arah Frans, lalu duduk di pangkuannya dengan santai. “Kau tidak mau sentuh istrimu ini?” bisiknya sambil menempelkan bibir ke telinga Frans. Frans menoleh menatapnya tajam. “Memang gadis licik.” Celine tersenyum lebar. “Dan kamu sekarang resmi jadi milikku, Frans. Sampai kapan pun.” Frans memejamkan mata. Dalam hati ia tahu, malam ini bukan awal dari kebahagiaan. Malam ini adalah awal dari mimpi buruk panjang yang belum tahu kapan akan berakhir. Dan dia tidak tahu sampai kapan terikat dengan Celine si gadis licik ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN