Om Satria menoleh kemari, lalu menatap ke bawah, tiba-tiba ia membekap bibirnya yang bermasker, melepas benda yang menutupi hidung juga bibirnya itu lalu, huek! Hu-eek! Suamiku itu muntah-muntah. Hanifa yang berpegang lututnya menangis keras melihat ayahnya terus seperti itu. Karena tak tega melihat Om Satria juga Hanifa yang menangis keras dengan satu tangan terulur ke arahku satu tangannya melingkar memeluk lutut ayahnya, aku pun segera masuk ke kamar mandi, mengguyur muntahan Om Satria lalu mengambil alih menyeboki Hanifa. Di kursi, Zaki tak henti tertawa sampai keluar air mata. Berkali-kali ia sedikit membungkuk memegangi perut sambil lagi-lagi tertawa. Sementara aku hanya menggelengkan kepala, tersenyum kecil saja. "Sayang, biar Mas saja," kata suamiku begitu aku selesai menyabuni p*