Setelah seminggu kejadian di rumah sakit, Alley tahu ada yang berubah dari Arlen. Dia tahu bahwa ada kejadian yang dia ketahui saat pingsan di rumah sakit. Pertama kali Alley membuka matanya, Alley melihat Hannatara yang menggenggam tangannya dengan mata yang bengkak. Waktu itu Alley sempat terharu, namun melihat Arlen yang menatap tajam dirinya saat itu, membuat Alley sedikit takut akan pria itu.
Tatapan mata Arlen sangat dingin, pria itu seakan memakannya hidup-hidup. Sejak saat itu, Arlen hanya mengunjungi Alley sebentar saja. Mereka tidak lagi bercengkrama seperti dulu. Semua terasa beda.
Alley berpikir bahwa Hannatara yang membuat Arlen seperti itu. Entah apa yang bicarakan, tapi Alley harus mencari tahu. Dia tidak ingin hubungannya dengan Arlen seperti ini terus.
Dia merasa hampa saat pria itu sedikit menjaga jarak.
.
.
.
.
.
Pekerjaan Arlen sebagai CEO semakin sibuk di bulan terakhir tahun ini. Banyak yang harus dituntaskan sebelum akhir tahun. Apalagi dia harus menghadiri rapat dengan beberapa petinggi perusahaan untuk mengetahui perkembangan dan keuntungan saham perusahaan miliknya. Arlen memang mengelola banyak, selain perusahaan properti, dia juga memiliki anak perusahaan di bagian teknologi. Sebagai CEO dia harus terus melihat perkembangan perusahaan agar terus bisa menjaga eksistensi perusahaannya.
Terkadang dilanda kesibukan seperti ini, dirinya merindukan sosok Alley yang bisa diajak bicara santai. Gadis itu sudah seperti relaksasi bagi Arlen. Tapi, sejak Hannatara membahas kembali masa lalunya, kegelapan terdalam yang sudah lama di kuburnya seakan hidup kembali.
Arlen mempunyai 2 kepribadian, bagian kegelapan dan Arlen yang biasanya. Saat ini dia mati-matian mencegah kegelapan itu merusak dirinya.
"Anda baik-baik saja, pak?" tanya Herjuno melihat Tuannya agak pucat.
"Saya baik-baik saja, jangan khawatir."ucap Arlen sambil menutup berkas yang sedang dibacanya.
" Kalau anda mau, kita bisa batalkan rapat hari ini. Anda bisa istirahat dulu."
"Saya baik-baik saja." sinis Arlen mulai kesal dengan perhatian Herjuno yang berlebihan pada dirinya.
Herjuno tidak bertanya lagi, dia tahu Tuannya sudah merasa emosi dengan pertanyaan dia.
"Siapkan mobil, aku mau brunch sejenak."
.
.
.
.
.
Alley berjalan cepat menuju taman bunga, dia terkejut melihat Arlene tiba-tiba saja mengajaknya untuk brunch bersama. Padahal dia sedang sibuk mengurus urusan kantor menjelang akhir tahun. Tapi hati Alley merasa sedikit senang karena pada akhirnya Arlen kembali perhatian padanya.
Langkah Alley berhenti. Dia mulai bingung dengan perasaannya sendiri.
Kenapa dirinya sebahagia ini? Ada apa?
Kerutan di dahi Alley terlihat, dia berpikir mengapa hatinya terasa tenang. Apa karena mereka sudah lama tinggal bersama? Atau karena segala perhatian Arlen membuatnya nyaman? Atau karena dia adalah pria yang cukup misterius?
Membingungkan.
"Kenapa kamu berdiri lama disitu? Apa kamu tahu aku hanya punya sedikit waktu untuk bertemu?"
Suara Arlen membuatnya fokus kembali pada saat ini, di hadapannya ada Arlen yang sedang dipikirkannya.
"Ah, iya... Tumben sekali kamu tidak sibuk di jam seperti ini... " ucap Alley sambil duduk di kursi yang sudah disiapkan pelayan.
"Aku hanya ingin istirahat sebentar." ucap Arlen dengan secangkir kopi di tangannya.
"Kamu baik-baik saja?"
"Kenapa semua orang bertanya seperti itu padaku?" Arlen mendengus.
"Karena kamu tampak berbeda. Kamu terlihat memiliki banyak beban pikiran." Alley melihat Arlen dengan tatapan sayu.
"Jelas banyak beban pikiran, sedang banyak pekerjaan di kantor."
"Bukan, bukan seperti itu..."ucap Alley setelah menyesap teh hijaunya.
" Lalu seperti apa?"
Alley terdiam sejenak, lalu dia meletakkan cangkir teh hijaunya di meja. Setelah itu, Alley melihat lurus mata Arlen.
"Apa saat aku pingsan, ada kejadian antara kamu dan maddam? "
Arlen sedikit terkejut, tapi dia harus mengakui bahwa Alley memang sangat peka terhadap sekitarnya, namun tidak untuk perasaan.
"Tidak ada. Kenapa kamu bertanya itu?"
Alley kembali bingung, ternyata dugaannya salah. "Ohh... Aku kira-"
"Aku kira apa?" sela Arlen pada ucapan Alley.
"Ti-tidak maksudku kamu berubah setelah aku pingsan di rumah sakit waktu itu... " Alley mulai menjelaskan.
"Maksudmu, aku berubah seperti apa?"
"Yah, seperti ini... "lirih Alley bingung menjelaskannya lagi.
Arlen mendekati tempat duduk Alley dan mengusap pipi wanita mungil itu, " Katakan padaku, seperti apa aku berubah?"
"Ughh... Jangan seperti ini. " Alley menepis tangan Arlen.
Kesal dengan tepisan Alley, Arlen tanpa permisi langsung mencium bibir mungil Alley. Kaget, Alley mencoba mendorong Arlen menjauh, sayangnya dia kalah tenaga dengan Arlen yang mendekapnya dengan erat. Nafas Alley tersengal-sengal, dia sudah mulai hilang kesadaran. Arlen dengan perlahan melepaskan ciumannya.
Wajah Alley memerah malu, tanpa sadar dia mengeluarkan air mata.
"Kenapa kamu menciumku?" lirih Alley hampir terisak.
"Aku hanya ingin tahu, seperti apa aku berubah? Apa aku berubah seperti ini maksudmu? "goda Arlen yang kembali mencoba mencium Alley.
"Aku tidak mau kamu menciumku tanpa perasaan..."
"Siapa bilang aku menaruh perasaan saat menciumku? Kamu selalu menilaiku seperti itu?"
"Aku hanya senjata balas dendammu, kan?" Alley menitikkan air mata. "Jangan seperti itu, Arlen..."
Deg.
Pria itu terdiam dihadapan Alley. Dia tidak menyangka bahwa Alley masih akan mengingat kalimatnya saat itu. Saat dirinya menjadi sisi gelap. Ya-sisi dalam dirinya yang berusaha dia kubur.
"Aku mencintaimu Alley... Jangan menangis."Arlen menyeka air mata Alley.
" Arlen... Aku ju- ARLEN!!!"
Deg.
Bruk.
Alley belom menyelesaikan kalimatnya pada Arlen, secara mendadak pria itu jatuh pingsan di hadapannya. Alley hanya mampu menyelamatkan kepala Arlen agar tidak terbentur. Suara teriakan Alley membuat seluruh pelayan datang ke taman.
"Tuan Arlen! Astaga, cepat hubungi dokter!"
Herjuno berusaha menolong Arlen yang mendadak pingsan. Pelayan yang lainnya segera memanggil dokter, sedangkan beberapa pelayan wanita membantu Alley agar bisa pergi ke kamar pribadinya, tapi Alley menolaknya.
"Aku tidak ingin pergi."
Deg.
Dalam ketidaksadaran Arlen, dirinya merasakan rasa panas. Lalu dalam sekejap dirinya membuka mata dan tubuhnya merasakan rasa kaku.
"Hei, Juno... Apa kabarmu?"
Herjuno terkejut dengan suara Arlen yang lebih rendah dari biasanya. Dia paham apa yang sedang terjadi pada Arlen.
" Anda sudah kembali, Tuan... Hormat saya pada Anda."
Seluruh pelayan memberi hormat pada Arlen yang tampak di penuhi kegelapan. Alley tidak tahu apa yang sedang terjadi disini. Alley hanya melihat Arlen dengan rasa takut.
"Wah, wah... Ternyata ada kelinci kecil disini rupanya..." ucap Arlen dengan langkah panjang mendekati Alley yang masih menatapnya dengan wajah bingung diliputi ketakutan.
"Arlen... Apa itu kamu?" Alley bergetar melihat kegelapan yang teramat dingin.
"Iya, My bunny girl... " Sekali lagi Arlen menyentuh pipi Alley. "Lucu sekali, hanya karena kelinci kecil ini si Arlen b******k itu jadi melemah..."
"Kamu bukan Arlen... Kamu siapa?"
Senyuman sadis hadir diwajah tampan Arlen, "Aku Dark Arlen, my baby..."
"Dark Arlen?"
"Yup, aku akan menjadi mimpi burukmu sayang..."
Eh?
Alley masih menatap mata Arlen yang menggelap. Tiba-tiba saja, Arlen menarik lengannya dengan kuat. Entah kemana pria itu akan membawanya. Para pelayan yang melihat kejadian itu tidak bisa berbuat banyak. Mereka sangat takut dengan Arlen saat ini.
"Lepaskan aku!!! Arlen, sakit!"
Plak.
Tangan Arlen menampar Alley dengan keras dan membuat tubuh mungil Alley jatuh tersungkur. Tanpa bisa kabur, Alley segera di gendong oleh Arlen dan memasuki kamar pribadi Arlen.
Tubuh Alley dihempaskan di kasur king size yang ada disana. Sambil mengaduh, Alley merangkak menuju ujung tempat tidur, namun Alley sudah menindih tubuh mungil Alley.
Baju Alley dirobek dengan paksa hingga dirinya hanya tersisa pakaian dalam. Alley mati-matian mempertahankan lapisan terakhir tubuhnya dengan kuat disertai air mata.
"Kumohon Arlen, jangan sakiti aku..."
Arlen tertawa dalam kegelapan dirinya.
"Kamu akan menikmatinya, sayang... Aku yakin aku lebih lihai dari Arlen yang kamu sayangi itu..."