"Melindunginya dari apa?"
Mata Luciel menyipit memandang Hannatara, wajahnya menampilkan senyuman mengejek. "Anda berpura-pura tidak tahu atau anda sedang menguji saya?"
Hannatara tertawa, "Ternyata kamu orang yang sangat tidak sabaran. Apa kamu sangat menginginkan putriku?"
"Saya mencintainya. Sejak dulu."
"Cinta pertama?"
"Maybe. Dia yang membuatku seperti ini." ucap Luciel sambil tersipu malu.
"Astaga, wajahmu tampak seperti bocah yang baru saja jatuh cinta. Hahahaha." Tawa Hannatara semakin meledak melihat rona wajah Luciel.
"Jadi, apa anda setuju saya yang akan menjaganya?"
Tawa Hannatara terhenti dan kini menatap serius manik mata Luciel. "Lakukan jika kamu mampu melakukannya."
.
.
.
.
.
Seharian ini, Alley merasa sangat marah. Bagaimana tidak?, hanya karena dia tidak terlahir sebagai anak laki-laki, kedua orang tuanya membuangnya begitu saja. Dia sangat bersyukur telah diselamatkan oleh Rieffan dan menjadi Alley seperti saat ini.
Arlen melihat Alley yang sedang berpikir sambil membuka buku dikedua tangannya, namun tidak membacanya. Arlen mendekati Alley dan mengusapkan punggung tangannya pada pipi Alley.
"Kamu masih saja memikirkan itu?" tanya Arlen dengan raut wajah khawatir.
"Aku marah dan.... kecewa." lirih Alley pelan.
"Jangan sedih. Jangan menangis untuknya."
"Menangis? Hahaha. Arlen, aku tidak sebodoh itu. Menangisi nasib buruk? Hei, aku ini beruntung tidak berada di keluarga itu sekarang. Aku beruntung bahwa aku diasuh oleh Ayah Rieffan dan menjadi Alley seperti saat ini. Aku tidak butuh keluarga asliku." Alley mendengus saat mengucapkan semuanya.
"Kau tampak berbeda sekarang..." ucap Arlen pelan.
Tampak seperti Hannatara yang memang tidak lemah jika menghadapi masalah.
Arlen menatap manik mata Alley.
"Berbeda seperti apa? Aku mirip dia?"
"Kamu memang tampak seperti dia."
"Sudahlah Arlen, sekarang pikirkan cara agar aku bisa menghancurkan Cattaleya. Aku ingin menguasai semuanya dan menghancurkan orang yang telah membuangku."
Arlen tersenyum sinis. " Aku tidak yakin kamu bisa melakukannya. Kamu kan sangat berhati malaikat, tidak seperti Ibu kandungmu."
"Bukankah itu yang lebih menyeramkan? Berwajah dan berhati malaikat untuk menyerang seseorang dengan leluasa?"
"Segitu dendam kah kamu pada Ibu kandungmu sendiri?"
Alley menyeringai, "Dia bukan Ibuku. Seorang Ibu tidak akan pernah membuang anaknya sendiri."
"Aku setuju." Arlen mengangguk dan melangkahkan dirinya mendekat pada Alley. "Aku akan membantumu."
Bagus. Alley masuk perangkapku. Keluarga Hannatara akan hancur oleh keturunannya sendiri.
"Kenapa wajahmu menyeringai seperti itu? Terlihat menyeramkan..." ucap Alley dengan perasaan sedikit takut.
"Aku hanya sedang berpikir, hukuman apa yang pantas untuk mereka."
Alley seketika melihat sosok gelap Arlen. Sepintas, hatinya takut dan membisikkan sesuatu.
Pria ini juga tidak bisa dipercaya.
.
.
.
.
.
Luciel termenung dalam kesunyian perkantorannya, berpikir tentang apa yang akan terjadi dalam hidupnya jika ia berurusan dengan keluarga Cattaleya. Sekilas ia membayangkan wajah Alley yang sedang menangis karena disakiti oleh Arlen.
Sial.
Luciel mengerutkan dahi, membuang semua kekhawatirannya. Segala permasalahan kegelapan yang akan dihadapinya jika masuk dalam lingkup keluarga Cattaleya telah dibuangnya begitu saja. Semua demi Alley. Hanya karena cintanya yang terlalu besar pada wanita itu.
Drrrtt.
Luciel melihat smartphone miliknya bergetar, sebuah pesan di WA miliknya.
Dari Alley.
Hari ini aku akan mengunjungi Papa. Kau mau ikut?
Alis Arlen naik satu, menandakan kebingungan terdalam. Ada apa dengan gadis yang dicintainya itu? Mengapa Alley menghubunginya lebih dulu? Dan lebih anehnya lagi adalah... Alley mengajak dirinya untuk ikut mengunjungi ayahnya? Atau lebih tepatnya... Ayah asuhnya ?
To : My Alley
Aku mau ikut. Apa kau pergi juga bersama dengan Arlen?
Jari-jari panjang Luciel mengetuk-ngetukan meja, menunggu jawaban Alley atas pertanyaannya.
Tidak, hanya aku. Kenapa? Kau mau aku mengajak Arlen?
Mata Luciel melebar, menandakan kebingungan yang dalam. Apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa Alley mengajaknya untuk mengunjungi Ayahnya di rumah sakit? Mengapa Arlen tidak menemaninya? Apa ini semua disengaja oleh Arlen?
Apa yang direncanakan manusia licik itu?
To : My Alley
Biar aku jemput kamu di rumah Arlen. Segera ganti bajumu yang cantik.
Ting.
Tanpa waktu lama Alley membalas pesan Luciel.
Iya. Aku tunggu.
.
.
.
.
.
Bola mata cokelat Alley menatap bayang dirinya di cermin dengan senyum. Dia baru saja selesai membersihkan dirinya dan segera bersiap untuk pergi menjenguk Ayahnya.
Ya, Ayahnya- atau lebih tepat disebut Ayah Asuhnya.
Alley memandang kembali dirinya dan melihat kembali foto yang menampilkan wajah ibu kandungnya-Hannatara.
Mirip. Mata cokelat ini mirip dengannya. Pikir Alley saat bercermin.
Rambut bergelombang ini juga...
Alley mengusap rambutnya. Dia masih memandang wajahnya yang sendu mengingat ibunya telah membuangnya. Apalagi Ibunya kini sudah bertemu langsung dengan dirinya. Perasaan Alley jadi bercampur aduk. Dia senang mengetahui bahwa kebenarannya adalah dia masih memiliki seorang Ibu yang masih hidup, tetapi beda hal jika dia telah dibuang oleh Ibu kandungnya sendiri. Dia merasa sangat... Kecewa. Alley bukan membenci Ibunya, dia tidak bisa. Apalagi saat pertemuan pertama mereka Alley diperlakukan dengan hangat oleh Hannatara, Alley tidak percaya bahwa Hannatara begitu tega membuangnya saat dirinya masih sangat kecil.
Sebenarnya... Kalau benar Hannatara adalah Ibu kandungku, dia bisa saja langsung menemukanku, Hannatara adalah orang kaya... Dia bisa saja menyuruh orang-orang professional untuk menemukanku.
Ada yang aneh dengan cerita Arlen.
Aku tidak bisa mempercayainya begitu saja.
Mungkinkah...
Tok tok.
"Nona Alley, mobil sudah siap."
Suara seorang pelayan wanita menghilangkan lamunan Alley, "Aku sudah selesai. Ayo, berangkat. "
Alley sadar ada yang aneh dengan Arlen. Mengapa pria itu sangat ingin memiliki dirinya, mengapa dia sangat berambisi untuk bertunangan dengannya. Dia tahu begitu banyak hal yang Alley rasa sangat janggal.
Saat ini, Alley tak bisa percaya dengan siapapun.
.
.
.
.
.
"Nyonya Hannatara mengundang anda secara khusus untuk makan malam bersama di kediamannya. Disini tertulis untuk mengajak Nona Alley juga. "
Mata Arlen menyipit melihat sebuah undangan yang diletakan oleh Herjunot diatas meja kerjanya. Sebuah tinta emas terlampir di atas amplop undangan mungil itu.
"Dalam rangka apa?" tanya Arlen sambil membuka amplop undangan.
"Saya tidak tahu, Tuan."
Senyum sinis Arlen terlihat diwajahnya, membaca kalimat undangan dalam rangka mempererat hubungan persahabatan membuatnya ingin tertawa terbahak-bahak. Rupanya Hannatara ingin bertemu lagi dengan anaknya yang hilang sampai harus membuat acara omong kosong seperti ini.
"Aku tidak berminat. Kirim saja bunga sebagai permintaan maaf atas ketidakhadiranku dan Alley. " Arlen membuang undangan itu ke tempat sampah.
Tidak semudah itu Hannatara.
"Tuan, tapi suruhan Nyonya Hannatara memaksa untuk anda dan Nona Alley untuk datang. Jika anda datang, ada sesuatu yang Nyonya Hannatara akan berikan. Itu pesan dari Nyonya Hannatara pada suruhannya tadi."
"Apa yang akan diberikannya?" Arlen menaikkan satu alisnya.
"Saya tidak tahu, Tuan. Tapi mungkin itu adalah yang selama ini anda inginkan."
"Tidak mungkin, Herjuno. Dia tidak akan pernah memberikan apa yang aku inginkan. Percayalah." Arlen menyeringai. "Karena apa yang aku inginkan sudah aku dapatkan saat ini."
Herjuno tahu maksud Arlen, "Nona Alley? "
"Betul. Dia adalah yang kuinginkan saat ini. Dia adalah pewaris tunggal Hannatara. Dia adalah kunci untuk menghancurkan keluarga Cattaleya."
"Apa Tuan sebenernya ingin membalaskan dendam Nona Vania? "
"Ya... Membalaskan dendam untuk wanita yang aku cintai dan bayinya yang telah meninggal. Keluarga yang harusnya aku miliki... Tapi karena keluarga Cattaleya, SEMUANYA HANCUR! "
Brak.
Arlen membuang semua benda yang ada di atas meja kerjanya. Berantakan. Seperti kondisinya saat ini.
Arlen memejamkan mata. Mengingat kehangatan wanita yang pernah amat dicintainya, Vania Rosetta. Wanita dari keluarga sederhana yang terpikat dengannya pada saat melamar pekerjaan di perusahaannya dan mereka menjalin hubungan terlarang. Disaat itu hubungan mereka sangat ditentang oleh keluarga Arlen dan Arlen berencana akan melakukan segala cara untuk mempertahankan hubungan mereka. Sampai pada akhirnya pekerja dari perusahaan Cattaleya yang sembrono karena tertidur saat menyetir dan menabrak mobil Vania. Arlen begitu hancur, dunianya begitu kelam saat itu. Tapi Alley datang membawa kehangatan. Dia memberikan harapan pada Arlen yang saat itu Arlen sedang berkunjung ke perusahaan Rieffan. Dia sangat tulus, murni dan polos. Mirip dengan Vania.
Tidak butuh lama untuk Arlen jatuh cinta pada Alley atau Grace yang saat itu belum hilang ingatan. Dia akan menjaga Alley, itu janji dirinya pada saat itu. Sayang, Arlen tidak bisa menjaga wanita yang dicintainya untuk kedua kali. Grace diculik dan dia trauma serta hilang ingatan.
Arlen mengutuki dirinya sendiri, dia bukanlah pria yang baik. Dia tidak bisa menjaga wanita yang dicintainya. Pada saat dia mencari Grace yang telah disembunyikan oleh Rieffan, pada saat itu pula Arlen tahu. Dia tahu bahwa Aley adalah anak kandung Hannatara.
Kini, Arlen sendiri terjebak. Dia masih sangat mencintai Grace namun disisi lain dirinya tetap ingin balas dendam pada keluarga Cattaleya.
Jalan satu-satunya adalah memanfaatkan Alley untuk menghancurkan Cattaleya dan tetap menjadikan Alley sebagai tunangannya.
Egois, bukan?
.
.
.
.
.
Luciel menunggu Alley di sebuah cafetaria mungil yang tidak jauh dari rumah Arlen. Dia tidak jadi menjemput Alley di kediaman Arlen, dia takut kalau Arlen menyiapkan jebakan disana.
Masih terlalu cepat untuk masuk ke sarang kegelapan.
Matanya tetap menunggu sosok Alley yang disayanginya, sayangnya wanita itu belum datang.
Tidak lama kemudian, mobil Alphard hitam muncul dan menurunkan sesosok gadis manis yang ditunggunya. Alley.
"Maaf menunggu, aku tadi mencari kue untuk dibawa kerumah sakit." Alley segera duduk di kursi yang ada di hadapannya.
"Iya, aku juga baru datang."
"Kenapa kamu tidak mau ke rumah Arlen? Apa kau takut disana banyak penampakan?"goda Alley pada Luciel yang mendadak berubah rencana penjemputan.
" Haha, bukan seperti itu. Hanya saja, aku merasa sungkan dirumah orang kaya raya seperti dia. Aku kan tidak sekaya itu."Luciel mencari alasan.
"Kau juga kaya raya. Hanya saja tidak kau perlihatkan. Aku tahu itu."
"Bisa saja... Alley, aku rasa kita harus segera pergi menjenguk Ayahmu. Biar tidak kesorean."
"Sebentar. Bolehkah aku bertanya sesuatu?" Alley memasang wajah serius menatap lurus wajah Luciel.
Luciel seakan paham apa yang akan ditanyakan oleh Alley, dia berusaha bersikap tenang.
"Apa yang kau ingin tanyakan, Alley?"
"Siapa Nyonya Hannatara itu di kehidupanku?"
Luciel pun terdiam.