Arlen's Heart

1289 Kata
Hannatara memang ibu kandungmu, Alley. Pikiran Alley melayang pada ingatan saat pertemuannya dengan Luciel siang tadi. Alley masih cukup shock saat mendengar bahwa Hannatara adalah ibu kandungnya. Padahal dia sudah mengetahuinya. Aku bingung... Jika dia tahu aku adalah anaknya, apakah aku akan dibunuhnya? Mungkinkah bagi Ibu aku adalah aib? Aku harus bagaimana? Alley menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Dia memendamkan wajahnya lalu memijit keningnya. Tanpa disadari Alley, Arlen sudah memperhatikannya dari sudut ruangan ruang perpustakaan miliknya. Arlen paham, mengapa Alley seperti itu. Mungkin gadis kesayangannya itu sudah mendengar sesuatu dari Luciel dan Ayah angkatnya. Arlen hanya tersenyum sedih. Entah mengapa melihat kondisi Alley yang sedang kebingungan ini membuatnya sedikit sedih. "Mau berapa lama lagi kau melihatku dari sudut ruangan itu?"tanya Alley yang memandang sendu wajah Arlen. Arlen melangkah menuju Alley yang murung. " Apa yang sedang kamu pikirkan? Harusnya kamu berbagi denganku." " Kenapa aku membawaku pada kehidupanmu? Kenapa kamu menarikku lagi pada kenyataan yang seharusnya tidak aku tahu?" Arlen terdiam memandang Alley, "Aku hanya ingin balas dendam pada Ibumu..." "Ibuku?" Alley terpaku mendengar ucapan Arlen. "Kenapa? Apa hubungannya denganku yang sudah dibuang olehnya? " "Karena kamu adalah senjata penghancur yang tepat untuk Hannatara yang tidak punya hati itu." Hati Alley terasa sangat remuk. Dia sangat kecewa dengan ucapan Arlen yang menyebutnya sebagai senjata penghancur. Dia tidak menyangka bahwa Arlen menjadikannya sebagai sebuah senjata. Padahal sebelumnya Arlen sedikit banyak percaya bahwa Arlen mencintainya... Ah, tidak! Dia berpikir Arlen perduli padanya. Ada air mata yang menggenang tertahan di pelupuk mata Alley. "Jadi, kamu bukan mencintaiku, kan? Jadi selama ini ceritamu soal pertunangan kita... Adalah bohong?" Arlen berlutut di hadapan Alley, memandang wajah yang sedih itu. Tangannya mengusap lembut pelupuk mata itu, "Kau kecewa bahwa aku tidak mencintaimu?" "Aku sudah menduganya, semua terlalu palsu untuk bisa aku terima. Segala ucapanmu tentang masa lalumu dan juga pertunangan kita. Aku sudah merasa aneh." "Tidak Alley, aku mencintaimu. Aku benar-benar mencintaimu. Tapi aku tidak bisa memaafkan ibumu. Dia yang sudah membuatmu begitu menderita. Aku sudah sangat membencinya. Tapi, aku tidak bisa membencimu. Walaupun aku tahu kamu anak kandungnya." Arlen memeluk Alley yang begitu rapuh. "Kau pembohong... Aku tidak percaya... Bagaimana bisa pria yang pernah membuatku begitu merasa spesial, pria yang pernah seenaknya tidur di pahaku. Pria yang pernah bilang bahwa aku adalah orang yang berarti baginya, menjadikan aku sebagai senjata penghancur? Apalagi untuk membalaskan dendam yang bahkan aku tidak ketahui penyebabnya. Bagaimana aku bisa percaya Arlen?" Alley membiarkan air mata turun, itu adalah tanda pembuktian sakit hatinya pada Arlen. Alley sebenarnya tidak menyangka bahwa ia akan menangisi hati Arlen yang seperti itu. Tapi, entah mengapa ia begitu sakit setelah tahu bahwa Arlen menjadikannya sebagai senjata. "Apa kamu sudah mulai jatuh cinta padaku, lagi?". Pertanyaan Arlen membuat mata Alley terbuka lebar, " Apa?" "Kamu menangis karena aku menyebutmu sebagai senjata penghancur, lalu kamu juga sedih ketika merasa aku permainkan. Kamu merasa aku tidak mencintaimu dengan tulus dan kamu merasa sakit hati karena itu. Bukankah itu artinya, kamu sebenarnya mencintaiku lagi?" "Mencintaimu lagi, bagaimana?" "Alley, aku paham kalau kamu sebenarnya selama ini tidak percaya sepenuhnya dengan ucapanku. Tapi aku tahu hatimu tidak bisa berbohong. Walaupun kamu tidak mengingatku, tapi hatimu bisa mengingatku." Alley menatap mata Arlen. "Aku tidak tahu kalau hatiku bisa mengingatmu atau tidak, hanya saja... Aku merasa aneh." "Aneh bagaimana?" Alley menghela nafasnya. "Aku sebenarnya ingin percaya denganmu karena kamu sudah menolong Ayahku dan juga memberikanku kehidupan yang layak. Bahkan kamu menjanjikan semua yang aku perlukan dan kamu memegang teguh janjimu untuk menyentuh tubuhku. Itu cukup meyakinkanku. Hanya saja semenjak kamu bilang bahwa aku adalah tunanganmu yang hilang, mengatakan bahwa Ibu kandungku membuangku dan tujuanmu untuk menjadikanku sebagai alat balas dendammu, membuatku takut. Aku takut padamu. Aku takut terlalu mempercayaimu." "Tidak apa, Alley. Tidak apa jika kamu tidak percaya padaku. Tidak apa jika kamu membentengi dirimu. Asalkan kamu ada disisiku sudah cukup. Aku tidak butuh apa-apa lagi darimu selain kamu berada disisiku." . . . . . Hannatara paham bahwa undangan makan malamnya tidak akan diterima oleh Arlen semudah itu. Dia paham bahwa Arlen akan susah ditemui olehnya setelah sengaja mempertemukan dirinya dengan anak kandungnya yang hilang. Hannatara juga tidak mudah untuk menemui Rieffan. Luciel adalah jalan satu-satunya untuk dirinya bisa bertemu dengan Alley. Karena mungkin Arlen tidak tahu kalau Luciel sudah kenal dengan dirinya. Tapi mana mungkin seperti itu, sepertinya Arlen tidak ingin membuat Alley tertekan jika dia melarang Alley bertemu dengan teman masa kecilnya. Ah, entahlah. Tanpa pikir panjang, Hannatara menghubungi Luciel untuk meminta bantuan agar bisa dipertemukan oleh Alley. Hannatara harus mendekati Alley dengan perlahan agar gadis kesayangannya tidak shock mendengar bahwa dia adalah anak dari seorang Hannatara. Tapi mungkin, gadis itu sudah membencinya karena Arlen. . . . . . "Arlen, aku mau menemui Luciel besok. Dia mau menjenguk Ayah lagi." Alley memberitahukan Arlen rencananya untuk besok agar pria itu tidak khawatir. " Sepertinya dia semakin sering menemui Ayahmu, apa itu alasannya untuk menemuimu saja?" Arlen menyipitkan matanya menatap tajam Alley. "Tidak, dia memang ingin bertemu dengan Ayahku. Kalau kau curiga ikut saja dengan kami." Arlen beranjak dari sofa nyamannya dan melangkahkan kakinya menuju Alley. "Apa kamu benar-benar tidak peka dengan maksudku?" Tangan Arlen meraih pinggang Alley, mendekatkan tubuh gadis itu kedalam dekapannya. Seketika tubuh Alley menegang karena terkejut. "Kamu mau apa?" "Menyentuhmu... Kau tahu, aku cemburu kau selalu bersama dengan Luciel jika ingin menjenguk Ayah asuhmu itu." "Ihh, apaan sih Arlen. Kamu jangan seperti ini. Aku malu." Alley berusah melepaskan diri dari Arlen yang mendekapnya erat. "Kau tidak suka aku memelukmu? Padahal dulu sebelum kau hilang ingatan, kau sangat suka dalam pelukanku." Alley mendongakan wajahnya ke atas, melihat Arlen, "Aku tidak percaya. Pelukanmu sangat erat, membuatku susah bernafas." "Apa kamu memang tidak mau aku dekap karena masih tidak percaya denganku? Kamu masih marah soal ucapanku tentang senjata itu?" "Iya, aku belum percaya denganmu. Apalagi kamu membenci Ibu kandungku." "Baiklah... " Arlen melepaskan dekapannya pada Alley. "Biarkan aku menggenggammu saja. Aku akan ikut menjenguk Ayahmu. Hari ini aku tidak ada jadwal penting." "Jangan seperti itu, aku tidak mau pekerjaanmu terbengkalai. Apalagi, kamu harus lebih sukses daripada keluarga Cattaleya, kan?" "Aku ini sudah diatas, Alley... Saat ini aku hanya perlu diatas hatimu saja."ucap Arlen yang terus berusaha memenangkan hati Alley kembali. . . . . . Manik mata Luciel terkejut tidak percaya, dihadapannya Alley bersama dengan Arlen yang sangat ingin dihajarnya ikut menjenguk Rieffan. Hari ini jadwal kemoterapi pertama untuk Rieffan. Ada sedikit kekhawatiran Alley pada kemo pertama ini tapi dia tetap berpikir positif untuk kesembuhan Ayahnya. " Jangan takut, aku berjanji akan menyelamatkan Ayahmu. Dia akan sembuh dan kembali bersama kita di rumah." Arlen mengusap lembut punggung telapak tangan Alley dan menciumnya. Arlen mencoba meringankan kekhawatiran Alley. "Cih, roman picisan... " cemooh Luciel melihat tindakan Arlen yang menurutnya menjijikkan. "Hmm, bilang saja kau cemburu El... " Alley tidak menghiraukan mereka berdua, dia masih tetap memikirkan kondisi Ayahnya. Dia menunggu proses kemoterapi Ayahnya. Dia berharap Ayahnya kuat mengahadapi kemoterapi pertama ini. Beberapa hari ini, Alley membaca artikel soal kemoterapi. Disana tertulis bahwa tidak semua pasien kanker mampu bertahan sampai pengobatan terakhir. Alley semakin takut, dia akan sendirian di dunia ini jika Ayah asuhnya meninggal saat menjalankan kemoterapi. Tiba-tiba Alley merasa ingin menangis. Entah mengapa. "Aku ingin membeli minuman dulu." "Biar aku saja... " "Tidak, aku ingin ke kantin sebentar... " ucap Alley mencegah Luciel atau siapapun yang mencoba membantunya membeli minum. "Biar aku temani-" "Tidak, biarkan aku sendiri... Aku hanya ingin sendiri dulu." Alley berjalan menuju kantin dengan perasaan sedihnya. Saat ini dia ingin menenangkan dirinya sendiri. Aku mohon Tuhan, sembuhkan Ayahku... Aku tidak ingin menjadi yatim piatu... Aku tidak ingin sendiri di dunia ini. "Alley? " Sebuah suara yang dia sangat kenal mengganggu doanya dalam hati, Alley segera menoleh kebelakang mencari tahu sumber suara itu. "Madam Hannatara?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN