Arlen menghampiri kedua wanita yang dipandanginya sejak tadi. Alley melihat Arlen yang mendekat dan tersenyum pada tunangannya itu.
"Madam Hannatara, ini Arlen. Tunanganku."
Hannatara melihat Arlen dengan mata yang menyipit, "Aku mengetahuimu, Mr. Arlen." Lalu Hannatara menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan.
"Wah, aku tersanjung jika diketahui oleh seorang Hannatara." Arlen tersenyum menyambut sambutan tangan Hannatara.
Tidak ada yang aneh dari salam perkenalan antara Hannatara dan Arlen. Sayup-sayup suara kecil mulai terdengar dan Alley mendengar beberapa ucapan yang aneh.
Hannatara dan Arlen berjabat tangan? Luar biasa, ini akan menjadi berita besar!
Wanita yang bersama dengan Arlen yang membuat ini semua?
Apa? Ini akan menjadi sebuah sejarah dalam dunia elit kita.
Alley mengernyitkan dahinya, dia bingung dengan beberapa ucapan yang dia dengar itu.
Memangnya ada apa dengan mereka berdua? batin Alley bingung dan masih melihat kedua orang yang menjadi pusat perhatian itu yang masih berjabat tangan.
"Jadi, kau adalah tunangan Arlen? Wanita sepertimu?"
Alley bingung dengan maksud ucapan Hannatara, "Maksud Madam?"
"Lupakan saja, yah aku hanya menyimpulkan sendiri."
Arlen tertawa melihat Hannatara yang tidak mengutarakan isi hatinya secara terbuka, "Katakan saja, Nyonya Hannatara... Apakah Alley tidak cocok denganku?"
"Aku rasa seperti itu, dia terlalu murni untuk dilingkupi oleh kegelapanmu. Aku jadi merasa kasihan dengan Alley." Hannatara mengusap lembut lengan Alley. "Dia lebih cocok bersanding dengan pria lain yang jauh dari dunia kita."
"Hahaha, anda sungguh lucu Nyonya Hannatara. Jika dia memang terlahir untuk hidup di dunia yang sama dengan kita, bagaimana?"
"Artinya dia mengalami kesialan." Hannatara menyeringai. "Kau sungguh tidak tahu sopan santun, Arlen..."
"Anda yang memulainya, Hannatara..."
"Kalian membicarakan apa sih?" si polos Alley melihat ke kedua orang yang saling menyeringai.
"Kau salah memilih tempatmu berdiri, Alley." Hannatara merangkul lengan Alley dengan erat. "Oh iya, siapa nama lengkapmu? Kenapa kamu bisa bertunangan dengan Arlen? Aku belum pernah melihatmu di pesta manapun."
"Namaku Cattaleya Sue Adwipurnama. Aku bukan kaum elit."
Cattaleya? Adwipurnama?
Arlen tersenyum senang melihat Hannatara menatap Alley dengan tatapan yang diinginkan olehnya. Tatapan terkejut sekaligus rindu.
"Adwipurnama? Siapa nama Ayahmu?"
Lanjutkan Alley, seringai Arlen kembali hadir.
"Nama Ayahku Rieffan Adwipurnama. Ada apa memangnya?"
.
.
.
.
.
Arlen teramat puas melihat wajah Hannatara yang pucat mendengar nama Ayah dari Alley. Dia juga tahu kalau Hannatara akan menyelidiki Alley secara diam-diam setelahnya. Dia mendapatkan apa yang diinginkannya.
Bingo.
"Kamu tampak begitu bahagia sejak pulang dari pesta pernikahan kemarin."
Suara Alley sukses membuat senyuman Arlen menghilang, "Apa aku tidak boleh bahagia mengingat pernikahan temanku kemarin?"
"Aku tidak bodoh, Arlen. Ini bukan soal itu. Sejak bertemu dengan Madam Hannatara, wajahmu selalu penuh senyum."
Holy crap.
Sial! batin Arlen. Dia tidak menduga Alley begitu intens memperhatikan dirinya.
Tunggu. Bukankah ini bagus? Dia sudah mulai masuk perangkapku!
"Kamu mulai tertarik padaku? Kurasa kamu sekarang memperdulikan aku?"
Alley tertawa hambar. "Apa kamu tidak bisa untuk tidak mengaitkan apapun dengan perasaan?"
"Kenapa? Aku tidak merasa ada yang salah jika aku mengaitkannya dengan perasaan yang ada diantara kita." Arlen mendekati Alley dan mengusap pipi halusnya. "Apa kamu merasa risih jika kita membahas soal cinta?"
"Karena aku merasakan ada yang janggal. Tentang hubungan kita yang ada di masa lalu dan saat ini."
"Bukankah kamu sudah percaya padaku?"
"Tidak sepenuhnya. Setelah apa yang Ayahku katakan padaku, aku sulit mempercayai siapapun." Alley menjeda. "Lalu tentang Ibu kandungku... Aku..."
"Jika aku mengatakan siapa ibu kandungmu yang sebenarnya, apa kamu akan percaya padaku?"
.
.
.
.
.
Luciel sangat khawatir dengan pertemuan mendadak dengan seseorang yang berpengaruh besar pada perekonomian negara ini-Hannatara. Dia tidak menyangka bahwa Hannatara sudah menyelidiki semua tentangnya.
Lebih tepatnya, Hannatara mulai menyelidiki jejak putrinya yang hilang.
Alley. Ah, tidak! Gracella.
"Jadi, katakan padaku sejak kapan kamu mengenal Alley."
Tatapan dingin serta nada yang suara yang mencekam membuat Luciel sedikit merinding. Dia tidak menyangka sama sekali bahwa darah Hannatara mengalir juga dalam tubuh Alley yang seperti malaikat itu.
"Aku mengenalnya sejak kecil. Dia adik dari temanku, Matthew. Sayang sekali, Matthew sudah meninggal. Aku hanya mengenal sebatas itu."
"Oh, lalu Alley masih punya sanak saudara?"
Luciel menggeleng, "Tidak. Dia hanya dua bersaudara dengan Matthew."
"Siapa nama Ayahnya?"
Ini dia...
"Saya sangat yakin bahwa anda sudah tahu semuanya tentang Alley. Apa saya masih harus menyebutkan nama Ayahnya?"
"Saya hanya ingin mengetahui kejujuran anda, Mr. Luciel."
Keheningan terjadi antara Hannatara dan Luciel. Tak ada lagi kelanjutan pembicaraan diantara mereka. Sorot mata Hannatara mendadak menggelap dan mengingat hari dimana dia kehilangan putri kecilnya.
"Apa anda menyukai Alley?"
Luciel menatap kembali mata Hannatara. "Jika aku mengatakan 'iya', apa yang anda bisa tawarkan pada saya?"
"Wow, anda gerak cepat juga."
"Aku akan bergerak cepat jika itu tentang Alley. Lalu mengapa anda begitu tertarik dengannya?"
"Aku yakin anda tidak bodoh, Mr. Luciel."
"Kau yakin dia adalah..." Luciel sengaja menggantungkan kalimatnya.
"Ya, aku sudah melacaknya dan di adalah putriku yang hilang."
.
.
.
.
.
Alley memandang wajah madam Hannatara dalam selembar foto yang diberikan oleh Arlen. Air matanya jatuh diatas lembaran foto itu. Segera mungkin Alley menghapus jejak air matanya dan meremas selembar foto itu.
"Aku dibuang oleh dia? Hanya karena aku tidak terlahir sebagai laki-laki?"
Alley memandang ke atas langit-langit ruangan kamarnya dan memenuhi paru-parunya dengan oksigen disana. Semua cerita tentang Ibu kamdungnya yang tidak mau memiliki keturunan peremouan dari Ayahnya yang hanya seorang bodyguard sukses membuatnya membenci madam yang sempat menghangatkan hatinya.
Tok tok.
Arlen masuk kedalam kamar Alley sebelum wanita itu menjawab atau pun membuka kamarnya. Ah-dia sudah tidak perduli lagi tentang semua itu.
"Jadi apa yang kamu rencanakan untuknya?"
Alley memejamkan mata sejenak dan berusaha memikirkan apa keputusan yang akan diambilnya. Setelah memutuskan, Alley kembali menatap manik mata Arlen.
"Aku akan menghancurkan bunga Cattaleya itu! Aku akan kembali pada Cattaleya!"
.
.
.
.
.
"Jadi kamu mau membantuku mendapatkan Alley? Dia sudah berada di dalam jebakan Rieffan dan Arlen. Aku sangat yakin kalau Alley telah dicuci otaknya ataupun cerita palsu yang mereka ceritakan agar Alley membenciku." Hannatara mengepalkan tangannya dan berusaha agar tidak meledakan emosi depan Luciel.
"Aku akan membantu anda semampu saya, karena hanya saya yang bisa bebas bertemu dengan Rieffan. Tapi alangkah bagusnya jika saya mendapatkan hadiah yang mewah."
Hannatara mendengus, "Kamu masih saja rakus dengan uang."
"Aku tidak menginginkan uangmu, madam Hannatara."
"Lalu kamu mau apa?"
"Jadikan aku tunangan Alley yang sebenarnya, karena akulah calon suami yang akan melindunginya."