Mengenal Lebih Dekat

878 Kata
Setelah membahas konsep lukisan dengan lebih mendetail, Rain menawarkan Dakota secangkir teh hangat yang disediakan oleh pelayan. Mereka duduk di sebuah sofa nyaman di sudut perpustakaan, dengan pemandangan langsung ke luar jendela yang memperlihatkan taman belakang mansion yang diterangi lampu taman. Dakota merasa sedikit canggung. Ia tidak terbiasa dengan suasana yang terlalu ... dekat seperti ini. Apalagi dengan seorang pria. Dakota selalu menjauh jika ada pria yang mendekatinya, namun kali ini dia tak bisa karena Rain adalah klien pertamanya. Rain yang biasanya dikenal sebagai pria yang sulit didekati, kini justru terlihat sangat hangat dan perhatian. "Jadi ... sejak kapan kau suka melukis, Dakota?” tanya Rain tiba-tiba, mencoba memecah kesunyian yang mulai terasa aneh. Dakota menatapnya sebentar sebelum menjawab. Wajahnya yang bersinar meskipun tak ada senyum sama sekali, tetap membuat Rain betah menatapnya lama-lama. "Sejak kecil.” Jawaban itu sangat singkat, seolah Dakota tak ingin menjelaskan detailnya. Lalu wanita itu beranjak dari sofa setelah menghabiskan tehnya. "Baiklah," katanya akhirnya dengan nada datar, mencoba kembali ke sikap biasanya. "Aku akan mulai melukis besok. Aku butuh beberapa peralatan. Aku akan membawanya sendiri." Rain mengangguk pelan, namun sorot matanya tak berpaling dari wajah Dakota. Dia tak ingin wanita itu buru-buru pergi. "Aku menantikan hasilnya," katanya lirih. “Kau ingin melihat koleksi lukisan yang kubeli? Beberapa tahun ini aku memang lumayan suka membeli lukisan.” “Benarkah? Itu sangat keren. Oke, aku ingin melihatnya,” ucap Dakota dengan sedikit tersenyum. Namun senyuman yang amat sangat tipis itu, bahkan sudah membuat Rain terpesona dibuatnya. * * Cahaya lampu di sepanjang taman merayap masuk melalui jendela besar di mansion milik Rain, menciptakan kilauan keemasan yang menari di sepanjang dinding marmer. Dakota berdiri di tengah ruangan dengan tatapan yang dipenuhi kekaguman. Dinding-dinding tinggi yang dilapisi lukisan-lukisan elegan menarik seluruh perhatiannya. Setiap guratan warna, setiap sapuan kuas, berbicara dalam bahasa yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang benar-benar mencintai seni. Rain, yang berdiri di sampingnya, melirik Dakota dengan senyum samar. Matanya tidak tertuju pada lukisan-lukisan itu, melainkan pada ekspresi Dakota yang terlihat begitu terpukau. Ada sesuatu yang berbeda ketika wanita itu memandangi karya seni—seakan-akan seluruh dunia di sekelilingnya memudar, hanya tersisa kanvas dan warnanya. Rain berdeham pelan, mencoba menarik perhatian Dakota. "Indah, bukan?" katanya dengan nada santai, meskipun dalam hatinya ada sedikit keraguan. Dakota menoleh, matanya berbinar. "Sangat. Ini … lebih dari indah. Lukisan-lukisan ini berbicara banyak tentang emosi. Lihat sapuan kuasnya, begitu ekspresif namun terkontrol. Kau benar-benar memiliki koleksi yang luar biasa, Rain." Rain mengangguk, menyembunyikan rasa senangnya dengan sikap tenangnya yang sangat terkontrol. Sebenarnya, dia sama sekali bukan penggemar seni. Koleksi ini hanyalah hadiah-hadiah dari klien-klien bisnisnya yang ingin meninggalkan kesan baik setelah kesepakatan ditutup. Namun, hari ini, semua lukisan itu seolah menemukan makna baru dan memiliki oeran berarti untuk memikat Dakota. "Aku senang kau menyukainya," ujar Rain sambil melangkah menuju salah satu lukisan terbesar di ruangan itu. Sebuah pemandangan kabut pagi di atas danau, dengan pantulan cahaya yang nyaris sempurna di permukaan air. Dakota mengikuti, jemarinya terulur, nyaris menyentuh kanvas, namun berhenti tepat sebelum bersentuhan. "Ini menakjubkan. Siapa pelukisnya?" tanyanya dengan suara penuh kagum. Rain terdiam sejenak. Nama pelukis itu tertera di sudut bawah kanvas, tapi dia ragu apakah Dakota ingin mendengar jawaban yang sekadar dibaca dari tanda tangan. "Aku … kurang tahu pasti. Ketika aku melihat lukisan bagus dan indah, aku langsung membelinya tanpa melihat siapa pelukisnya. Aku tak pernah membedakan karya pelukis terkenal atau pun tidak terkenal. Jika bagus, aku koleksi.” Dakota tersenyum tipis, dan itu membuat Rain semakin tak bisa melepaskan pandangannya pada wanita cantik itu. Rain mengangkat bahu, mencoba terlihat tenang. "Tapi, aku tak terlalu memahami seni seperti dirimu. Aku lebih banyak fokus pada dunia bisnis. Seni bukan bidang yang benar-benar aku pahami. Mungkin kau bisa mengajariku tentang bagaimana melihat seni?" Dakota kembali tersenyum tipis, “Aku bukan seorang master seni. Tapi, tak masalah jika kau ingin tahu lebih banyak.” Rain mengamati setiap ekspresi wanita itu dengan seksama, dan dapat merasakan sikap Dakota yang lebih santai dibanding sebelumnya. Inilah alasan dia mengajak Dakota ke sini. Ia ingin mengenal lebih dalam sisi wanita itu. Seni adalah jendela yang dapat membuatnya memahami Dakota lebih baik. Rain berjalan menuju lorong lain yang menghubungkan ke sebuah ruangan yang lebih kecil, namun tetap dihiasi dengan lukisan-lukisan. Kali ini, kebanyakan adalah potret manusia dalam berbagai ekspresi emosional—senyum lembut, tatapan kosong, bahkan ada yang memperlihatkan kesedihan mendalam. "Bagaimana dengan yang ini? Aku pernah mendengar bahwa potret seperti ini menggambarkan sisi terdalam manusia. Kau setuju?" Rain bertanya, mencoba memancing percakapan lebih jauh. Dakota terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. Matanya meneliti setiap detail lukisan di depannya. "Potret seperti ini memang sangat pribadi. Lukisan yang baik bukan hanya menampilkan wajah seseorang, tapi juga mengungkapkan cerita yang tak terucap. Lihat ini …" Dakota menunjuk ke salah satu lukisan seorang pria tua dengan tatapan kosong yang menatap ke arah jendela. "Pria ini … terlihat kesepian. Ada banyak beban di matanya, namun tidak ada yang bisa mendengarnya." Rain menelan ludah, merasa untuk pertama kalinya, lukisan itu berbicara padanya ketika Dakota menjelaskan makna di baliknya. "Kau … sangat memahami seni, Dakota." Dakota mengangguk pelan. "Aku seorang pelukis, Rain. Seni adalah bagian dari hidupku. Melukis … adalah caraku berbicara ketika kata-kata tidak cukup." Hening sesaat. Rain merasa ada sesuatu yang ingin dikatakan Dakota, namun wanita itu menahan diri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN