Bab 10. Dinding Pembatas

1099 Kata
Satu tamparan mendarat di pipi Alena yang mulus, semua kaget melihat itu terlebih lagi Alena yang mengalaminya, dia tampak syok kenapa dia mendapat perlakuan seperti itu. "Sintia, sudahlah." Andre berusaha masuk di antara mereka dan menjauhkan Sintia dari Alena. "Wow, apa sekarang kau sedang membelanya?" tanya Sintia tak terima, dia menatap nyalang mata Andre, ada rasa kecewa sedikit yang dia rasakan tapi sebagian besar adalah amarah yang menjalar di hatinya. "Aku tidak membelanya, jangan berlaku kasar seperti itu, dia juga tidak bersalah." Andre masih berusaha menghalangi Sintia yang nampak mencari celah agar bisa mendekati Alena lagi. "Kau lupa dengan janjimu?" tanya Sintia dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Tidak! Tidak sama sekali, tapi tolong jangan bermain fisik seperti itu, itu kekerasan, apa lagi sekarang di depan anak-anakku, mereka jadi semakin takut padamu." Andre memegangi kedua tangan Sintia yang sudah siap melayangkan pukulan lagi. "Karena anak-anakmu atau karena wanita itu?! Kau bilang aku prioritasmu, tapi sepertinya kau tidak memikirkan bagaimana perasaanku sama sekali!" Sintia sudah meneteskan air matanya. "Aku memikirkanmu Sayang, percaya padaku, bahkan ini baru satu hari, tapi kenapa kau sudah begini?" Andre mencoba menenangkan Sintia dengan cara memeluknya. "Bagaimana aku bisa percaya padamu?! Aku melihatmu menciumnya di depan semua orang dengan penuh gairah! Jika saja aku tidak datang waktu itu maka aku tidak akan tahu kelakuanmu di belakangku." Tangis Sintia pecah, dia memukuli d*da bidang Andre. "Mengertilah posisiku sayang, di sana banyak orang," ujar Andre walaupun tidak di dengar oleh Sintia yang sedang meraung-raung di pelukannya. Hana dan Fadil semakin menenggelamkan wajah mereka, setiap kali mendengar teriakan Sintia di antara pelukannya dengan Alena. Sedangkan Alena masih bingung dengan situasi sekarang, dia hanya bisa menenangkan Hana dan Fadil dengan menepuk-nepuk punggungnya. Di tatapnya Hana dan Fadil seperti trauma sekali mendengar suara Sintia, pandangan Alena mencoba mendongak melihat apa yang terjadi setelahnya, namun betapa kagetnya dia, Sintia sudah berada di depannya dan mendorong dirinya sekuat tenaga, membuat mereka bertiga terpental kebelakang. "Sintia, apa yang kau lakukan?!" teriak Andre dari belakang mencengkeram pergelangan tangan Sintia. "Kau yang membuatku seperti ini!" sahut Sintia. "Apa kau sadar? Kau juga menyakiti anak-anakku!" bentak Andre dengan suara yang meninggi. "Kenapa kau jadi membentakku seperti ini?" ucap Sintia tak terima. Buru-buru Andre berlari membantu Alena dan kedua anaknya bangun, tanpa memperdulikan Sintia yang terus mengumpat di belakang, Andre memastikan kedua anaknya dan Alena baik-baik saja, kedua anaknya memang baik-baik saja mungkin hanya syok, tapi tidak dengan Alena, tangan kanannya terbentur pintu. "Bawa anak-anak masuk ke kamar sekarang," perintah Andre pada Alena dan Alena hanya bisa menurut. "Mau kemana kau j*l*ng?!" Sintia mencoba meraih rambut panjang Alena tapi segera di cekal oleh Andre. "Jangan pedulikan dia, kau masuk saja," ujar Andre membuat Alena melanjutkan langkahnya. "Tenangkan dirimu Sayang." Andre memeluk Sintia dan sedetik kemudian menciumnya dengan lumatan kecil agar Sintia menjadi lebih tenang. Benar saja, Sintia menjadi lebih tenang dari sebelumnya dia memberontak, sekarang dia menerima perlakuan Andre dengan santai. "Aku antar kau pulang ya, sembari aku menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya kepadamu." Andre mencubit gemas hidung Sintia. "Aku membencimu," celetuk Sintia. "Aku juga mencintaimu," goda Andre. *** Andre kembali setelah mengantar Sintia pulang, begitu membuka pintu dia sudah di sambut Alena di depannya, tapi sepertinya Andre sedang malas bertemu Alena, dia melimpahkan semua kejadian tadi menjadi kesalahan Alena, padahal Alena tak berbuat apapun. Andre langsung menerobos tanpa memperdulikan Alena di hadapannya yang tampak kecewa karena di abaikan, Andre juga masih tidak perduli melihat Alena berjalan mengekor di belakangnya. "Mas," panggil Alena dari belakang. Panggilan dari Alena di abaikan, Andre pura-pura tuli dan terus melanjutkan langkahnya, tanpa memperdulikan Alena yang terus berjalan di belakangnya. "Mas ..." panggil Alena dengan suara lebih pelan. Andre berbalik menatap Alena nyalang, tersirat emosi di wajahnya, rahangnya mulai mengeras dan dia mendengus kesal. "Bisakah kau tidak terlalu dekat denganku?!" bentak Andre. "Jangan karena kita sudah menikah, kau jadi merasa dekat denganku!" Andre mengepal tangannya kuat-kuat. "Tapi aku—" Alena belum selesai berbicara. "Apa? Kau terluka? Lalu mauku obati?!" Bentakan Andre semakin kuat menggema di rumah itu. Andre melirik ke arah tangan kanan Alena yang terluka tadi akibat terbentur pintu, kemudian meraih tangan itu dengan genggaman kuat. "Hanya terluka seperti ini, harusnya jangan manja!" Andre menghempaskan tangan Alena kasar membuat Alena meringis kesakitan. "Aku tidak—" "Jangan menyalahkan Sintia atas apa yang dia lakukan, itu salahmu, karena kau menikah denganku!" Napas Andre sampai terdengar karena emosi yang sepertinya akan meledak. "Dengar dulu ..." lirih Alena. "Diam!" ucap Andre penuh penekanan. "Tetaplah jadi gadis yang pendiam dan penurut!" sambungnya. "Aku akan diam, tapi dengarkan aku terlebih dulu," ucap Alena dengan nada sepelan mungkin, berusaha untuk tidak membuat Andre tambah marah. "Katakan! Setelah itu kau masuk ke kamarmu, dan jangan keluar sebelum aku mengizinkan kau untuk keluar!" Andre menunjuk wajah Alena dengan mata yang membara. "Kau tahu sendiri kalau tanganku sakit, 'kan. Aku jadi tidak bisa memasak—" "Lalu?" seperti biasa Andre sangat suka memotong perkataan Alena. "Kau juga tahu kalau Hana dan Fadil belum makan dari tadi, aku ke sini tanpa sepeserpun uang. Aku tidak bisa memasak dan juga tidak bisa memesan makanan untuk mereka." Penjelasan Alena cukup membuat Andre tertegun. Bisa-bisanya Andre mengabaikan kedua anaknya hanya karena kedatangan Sintia ke rumah, harusnya dia yang paling tau dan paling khawatir keadaan anak-anaknya tapi malah Alena yang melakukan hal itu. Seakan hancur sudah rasa malu Andre, padahal dia kira Alena mengajaknya berbicara karena ingin mengadu soal tangannya terluka, tapi ternyata Alena malah mengkhawatirkan anak-anaknya yang bahkan dia abaikan. Gengsi pria ini begitu tinggi sampai pada saat seperti ini pun dia tidak mengakui kelalaiannya, dan mencari cara agar bisa menarik masalah baru untuk menutupi masalahnya. "Kau tidak punya uang sepeserpun? Lalu kau mau menumpang hidup denganku seumur hidupmu? Kau lupa kalau ayahmu sudah menerima suntikan modal dengan jumlah besar dan kau masih merepotkanku sekarang!" Seperti ini cara Andre menutupi kesalahannya, Alena yang mendengarnya pun juga tidak habis pikir kenapa ada pria bermulut seperti Andre. "Maaf, mulai besok aku akan mencari kerja, setelah dapat pekerjaan aku tidak akan merepotkanmu lagi," ucap Alena dengan nada yang mendadak berubah dingin, tidak seperti saat pertama dia mengajak Andre berbicara. "Kau mau kemana?!" tanya Andre masih terlihat kesal karena Alena sudah melangkah meninggalkannya. "Ke kamarku!" ketus Alena yang sudah jauh dari Andre. Andre menyadari kalau cara bicara Alena berubah drastis dalam waktu singkat ini, padahal sebelumnya Alena memanggil dengan sebutan mas dan nada bicaranya sangat sopan dan lembut, tapi sekarang malah Alena terlihat enggan memanggilnya mas, bahkan Alena terlihat sangat dingin. "Apa aku keterlaluan? Kenapa dia jadi seperti orang lain? Ah, siapa peduli dengan wanita itu," gumam Andre yang mulai menekan-nekan ponselnya dan memilih beberapa menu makanan kesukaan anaknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN