Bab 9. Kejutan Tak Terduga

1159 Kata
Andre membasahi tubuhnya dengan aliran air hangat di kamar mandi hotel, buru-buru dia menyelesaikan mandinya dan keluar dari kamar mandi. Pandangannya beralih pada seorang wanita di ranjang sana. "Bahkan kau lebih memilih tidur duluan tanpa menungguku," gumam Andre pelan. Andre memilih menundukkan dirinya di sofa, bahkan saat malam pertamanya dia tinggal tidur oleh Alena. Kenapa malah dia yang terlihat menyedihkan? Padahal dia yang menolak keras perjodohan ini. Begitu banyak kejadian hari ini yang cukup membuatnya sangat lelah untuk sekedar memikirkan hari esok, tidak mau ambil pusing dia juga tertidur di sofa menyusul Alena yang sudah berada di alam mimpi. *** Sayup-sayup Andre mendengar seseorang seperti sedang memanggilnya, dia merasakan elusan lembut di sebelah pipinya. Segera dia membuka mata dan melihat siapa yang ada di depannya "Mas bangun." Suara yang terdengar begitu lembut Andre membelalakkan matanya begitu tahu siapa yang ada di depannya, dia mendorong keras Alena agar menjauhinya, dia melakukan itu bukannya sengaja tapi hanya reflek karena jarak mereka sangat dekat. "Awh ..." rintih Alena. "Mas, kenapa kasar sekali?" Alena segera bangkit dari jatuhnya. "Salah sendiri! Aku sedang tidur nyenyak kenapa di bangunkan!" ketus Andre memasang wajah marah. "Tapi ini sudah jam 09.00 pagi, kita harus menjemput Hana dan Fadil di rumah Papa," ujar Alena "Kenapa setelah menikah kau jadi berani memerintahku?!" Andre merasa tak terima. "Bukan begitu, aku hanya memberi tahu saja." Alena kini menunduk takut menatap mata Andre yang tampak marah. "Ayo, tunggu apa lagi? Kau lama sekali!" teriak Andre di ambang pintu yang terbuka, entah sejak kapan dia sudah berada di sana. Alena segera mengekori Alena menuju mobil. "Jangan sekali lagi membangunkan aku yang sedang tidur, atau kau akan tau akibatnya," ucap Andre dengan nada dinginnya. "Maaf, aku hanya takut mereka belum sarapan." Di dalam mobil pun Alena masih menunduk. "Apa kau itu bodoh?! Apa kau pikir kita orang miskin?! Di sana banyak pembantu yang menyediakan makanan untuk anak-anakku, jangan kau jadi sombong hanya karena mereka bilang masakanmu enak!" ucap Andre dengan sangat tajam. Begitu pedasnya mulut Andre, padahal sebelum mereka menikah Andre tidak menunjukkan sifat seperti itu, kenapa baru sekarang? Alena merasa penderitaannya baru saja di mulai sekarang. "Maaf, aku hanya-" belum sempat Alena menyelesaikan kalimatnya, Andre sudah menginterupsi. "Berhentilah bersikap seperti itu, kau bersikap seolah menjadi gadis lugu yang baik dan penurut, aku muak melihatnya! Padahal kau melakukan pernikahan ini karena uang, kan!" Andre benar-benar tidak memikirkan perasaan lawan bicaranya. "Maafkan aku," ucap Alena dengan suara yang hampir tidak keluar karena napasnya tercekat, setelahnya dia diam seribu bahasa. Dia takut memulai obrolan karena mungkin saja perkataannya nanti memancing emosi Andre. Entah kenapa Andre sangat emosi waktu Alena menyinggung soal anak-anaknya, seperti dia yang paling tahu soal anak-anaknya padahal yang orang tuanya Andre bukan Alena, mungkin karena itu dia merasa tersinggung. Sampai di rumah ayahnya pun Andre masih terlihat emosi. "Bunda!" teriak Hana dan Fadil dari dalam rumah berlarian memeluk Alena. mendapat pelukan seperti itu yang tadinya ada perasaan takut karena bentakan Andre, sekarang Alena mulai merasa sedikit lega. "Masuk dulu Nak, kau tampak pucat, apa kau sakit?" tanya tuan Adit yang keluar menyusul setelah Hana dan Fadil. "Ah, tidak Pa. Aku hanya kelelahan saja," ucap Alena ragu-ragu. "Kau tidak berlaku buruk, kan?!" tanya tuan Adit pada anaknya dengan menatap tajam. "Tidak sama sekali, tanya saja dia," jawab Andre acuh. "Tidak Pa, aku hanya kelelahan," sahut Alena mempertegas kebohongannya. "Bunda Hana sama Fadil lapar, kami mau makan masakan Bunda, masakan Bibi tidak seenak masakan bunda," rengek Hana yang bergelayut manja pada Alena. "Iya Lena, tadi Papa sudah menyuruh mereka makan tapi mereka merengek ingin makan masakanmu," ujar tuan Adit menjelaskan. Sekali lagi Andre di buat seperti memakan omongannya sendiri. Baru saja tadi dia katakan pada Alena untuk tidak menyombongkan diri karena anak-anaknya memuji masakan wanita itu, tapi kenyataannya seperti menelan rasa malu yang teramat sangat. "Kalau begitu kami pulang dulu Pa." Andre memboyong anak istrinya ke mobil tanpa menoleh ke ayahnya lagi "Bunda duduk di belakang ya sama Hana dan Fadil." Masih dengan manjanya Hana memeluk Alena erat. "Iya Sayang," jawab Alena penuh kasih mengusap kepala Hana. Andre membukakan pintu belakang untuk Alena dan anak-anaknya, hal itu dia lakukan bukan karena dia merasa bersalah sudah membentak Alena tadi, tapi semata-mata hanya karena di depan ayahnya saja. Andre melirik ke arah Alena dan anak-anaknya yang sedang asik bercerita, terlihat jelas kalau kedua anaknya sangat cocok dan menyukai Alena sebegitunya. Terlintas lagi hal yang memalukan tadi kalau dia seakan yang paling tahu tentang anaknya, segeranya ditepis pikiran itu karena seperti yang dikatakan sebelumnya, gengsi Andre sangat tinggi. "Bunda, Fadil senang sekarang Bunda tinggal di rumah, sama kak Hana, sama Ayah, kita semua bisa main setiap hari," celetuk Fadil membuat Andre melirik lagi ke arah mereka lewat kaca spion. "Bunda juga senang." Alena terlihat penuh kasih dan sabar meladeni semua perkataan kedua anaknya, Andre jadi merasa bersalah sedikit karena membentak Alena tadi. "Hana, Fadil. Bunda sekarang sedang lelah, biarkan Bunda istirahat dulu, jangan membuat Bunda lelah nanti di rumah ya," ujar Andre pada kedua anaknya, dan mereka berdua langsung diam seperti takut pada perintah Andre. Sampai di rumah pun Andre membukakan pintu mobil untuk mereka bertiga karena rasa bersalahnya, dan Alena keluar dengan kepala yang menunduk, menghindari kontak mata dengan Andre. Andre bukan pria bodoh, dia juga tahu sekarang Alena menjaga jarak dan sedikit mengabaikannya. "Terima kasih," ucap Alena, ternyata Alena tidak mengabaikannya, hanya menjaga jarak dan menjauh sedikit. Andre juga mengeluarkan koper bawaan milik Alena dari bagasi, dituntun menuju pintu masuk, Alena yang melihat itu segera mencegatnya. "Biar aku saja," sergah Alena. "Tidak, aku saja." Andre menyingkirkan Alena dari hadapannya dengan mudah, dan Alena hanya menurut, dia takut memancing emosi Andre lagi. Mereka semua berjalan menuju pintu masuk bersamaan, dengan Andre menarik koper Alena dan Alena merangkul Hana dan Fadil masih terus memeluknya dengan erat. Betapa kagetnya mereka setelah melihat pintu sudah terbuka. Tampak seseorang yang sudah menunggu kedatangan mereka dari tadi di dalam rumah itu. Andre yang melihat orang itu ada di hadapannya seketika punggungnya menegang, napas panik menyeruak ke seluruh tubuh. Hana dan Fadil hanya bisa mengeratkan pelukannya, jantung mereka berdebar kencang sampai Alena bisa merasakannya, sedangkan Alena sendiri bingung kenapa mereka seperti ini. Alena menatap Andre tapi Andre masih membeku menatap orang itu, kemudian tatapan Alena beralih ke Hana dan Fadil yang terlihat sangat ketakutan, menyembunyikan wajah mereka di antara pelukannya yang memeluk Alena dengan kuat. "Bunda Hana takut," ucap Hana dengan suara gemetar. Alena masih tidak mengerti apa yang sekarang terjadi dan siapa orang itu, kenapa mereka hanya diam saja bertemu orang itu. "Mas—" "Diam!" Belum sempat Alena bertanya, Andre sudah menyuruhnya untuk diam. Orang itu tersenyum menyeringai menatap mereka semua, kemudian dia melangkahkan kakinya maju mendekat perlahan. "Wah ... lihat keluarga kecil yang tampak bahagia ini," ujarnya dengan kekehan licik mengejek. "Kenapa kau ke sini?" tanya Andre pada orang itu. "Memangnya aku tidak boleh ke sini?" tanya orang itu balik. "Bukan begitu—" ucap Andre yang terpotong. "Jadi kau istrinya?" tanyanya dengan senyum licik serta tawa kecil yang mengejek.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN