6

683 Kata
Aya merasa napasnya tercekat saat keluar dari kantor sore itu. Langit senja yang biasanya terasa menenangkan kini justru membuatnya merasa semakin gelisah. Ia melangkah dengan cepat menuju tempat parkir, seakan ada mata-mata yang terus mengawasinya. Pesan dari nomor tak dikenal itu masih memenuhi pikirannya. Kamu tahu dia sudah punya istri, kan? Kalimat itu terus bergema di kepalanya, seperti ancaman yang siap meledak kapan saja. Sesampainya di mobil, Aya buru-buru masuk dan mengunci pintu. Jantungnya masih berdegup kencang saat ia meraih ponselnya, menatap layar dengan penuh kebingungan. Haruskah ia menghubungi Prasetyo lagi? Tapi sebelum ia sempat mengambil keputusan, matanya menangkap sesuatu di kaca spion. Seorang wanita. Berdiri tak jauh dari mobilnya, mengenakan gaun panjang berwarna gelap. Wajahnya tertutup sebagian oleh bayangan, tapi tatapannya lurus ke arah Aya. Aya membeku. Dadanya berdebar semakin kencang. Siapa itu? Tangannya gemetar saat ia perlahan menyalakan mesin mobilnya. Tapi saat ia kembali melihat ke kaca spion, wanita itu sudah menghilang. Aya menelan ludah. Ia tidak bisa tinggal di sini lebih lama. Dengan cepat, ia menekan pedal gas dan meninggalkan tempat parkir. Tapi bahkan saat ia melaju di jalanan kota yang mulai gelap, rasa takut itu tidak ikut menghilang. *** Di rumahnya, Widhi duduk dengan tenang di sofa ruang keluarga. Lampu ruangan hanya menyala redup, menciptakan bayangan lembut di wajahnya. Di tangannya, sebuah ponsel lain, ponsel yang ia beli khusus hanya untuk satu tujuan: mengawasi pergerakan Aya. Ia sudah mengirim pesan itu, dan reaksinya persis seperti yang ia bayangkan. Aya pasti ketakutan sekarang. Dan itu baru langkah awal. Ia bisa saja langsung mengonfrontasi Prasetyo. Bisa saja membuat keributan besar. Tapi itu terlalu mudah. Terlalu biasa. Tidak. Widhi ingin membuat mereka merasakan sesuatu yang lebih dalam. Ketakutan. Kecemasan. Dan pada akhirnya… kehancuran. Tangannya bergerak ke layar ponsel, membuka galeri. Foto-foto Prasetyo dan Aya terpampang jelas di sana. Foto yang diambil dari kejauhan, tapi cukup untuk membuktikan segalanya. Widhi tersenyum tipis. Ia hanya tinggal menunggu waktu yang tepat untuk bertindak. *** Prasetyo mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang, pikirannya penuh dengan skenario terburuk. Ia baru saja menyuruh orang untuk melacak nomor tak dikenal yang mengirim pesan ke Aya, tapi sejauh ini hasilnya nihil. Siapa pun yang mengirim pesan itu, orang tersebut pintar. Ia menarik napas panjang. Haruskah ia menemui Aya malam ini? Tapi sebelum ia bisa mengambil keputusan, ponselnya berbunyi. Nomor tak dikenal. Darahnya langsung berdesir. Dengan sedikit ragu, ia mengangkatnya. “Halo?” Tak ada suara di seberang sana. “Halo?” ulangnya lagi. Lalu terdengar suara napas. Pelan, tapi jelas. Dan kemudian… “Sampai kapan kamu mau terus berbohong?” Prasetyo mencengkeram kemudi lebih erat. Suara itu… ia mengenalnya. “Widhi?” tanyanya, meski ia sudah tahu jawabannya. Keheningan. Lalu suara tawa kecil, nyaris terdengar menyeramkan. “Kau tidak akan bisa menyembunyikannya selamanya, Pras.” Klik. Panggilan terputus. Prasetyo merasakan dingin merayapi tubuhnya. Widhi tahu. Dan jika ia sudah sampai pada tahap ini, berarti semuanya sudah di luar kendali. *** Aya baru saja masuk ke apartemennya ketika ponselnya kembali bergetar. Kali ini, bukan pesan dari nomor tak dikenal. Prasetyo. Tangannya masih gemetar saat ia mengangkatnya. “Pras?” “Aku di jalan ke tempatmu sekarang,” suara Prasetyo terdengar tegang. Aya langsung merasa semakin gelisah. “Ada apa?” “Widhi tahu,” jawabnya pelan, tapi tajam seperti pisau yang menusuk jantung Aya. Aya merasakan tubuhnya melemas. Ia harus berpegangan pada dinding agar tidak jatuh. Widhi tahu. Widhi tahu. Kata-kata itu berputar-putar di kepalanya, semakin lama semakin keras. Ini bukan lagi sekadar ancaman. Ini nyata. Aya memejamkan matanya, menahan napas. Ia tahu saat ini hanya ada dua pilihan: bertahan dan menghadapi semua konsekuensinya… atau pergi sebelum semuanya terlambat. Tapi sebelum ia bisa memutuskan, bel apartemennya berbunyi. Aya membeku. Bukan Prasetyo. Ia bahkan belum sampai. Jadi siapa? Jantungnya hampir berhenti berdetak saat ia melangkah mendekati pintu, tangannya terulur dengan ragu untuk membuka kunci. Dan ketika pintu terbuka… Matanya membelalak. Di depannya berdiri seorang wanita. Widhi. Dengan ekspresi yang tenang… tapi mata yang menyimpan badai di dalamnya. Aya bahkan tidak bisa berkata-kata saat Widhi menatapnya dengan senyum tipis yang nyaris tidak berperasaan. “Hai, Aya,” katanya pelan. “Akhirnya kita bertemu.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN