Ada semacam pola berulang yang Nia sadari sejak beberapa minggu terakhir. Arif cenderung selalu ingkar janji dan kini kalau tidak Nia yang mengiriminya pesan singkat setiap harinya pria itu seolah lupa dengan Nia. Maksudnya sama sekali tidak mengirimi Nia pesan. Akibatnya euforia yang Nia rasakan sudah tidak sebesar di awal. Namun begitu ia tetap mencoba bersabar dan meyakinkan diri bahwa pria yang sedang ia sukai itu adalah pria yang sibuk. Setidaknya mereka sudah beberapa kali melakukan panggilan video dan panggilan suara sehingga bisa lah digunakan untuk mengobati kangennya yang bertumpuk selama beberapa hari.
“Ee.. Gacik*!” (Anj*ng!) seru Azka pada Gilang yang duduk di sebelah Kakaknya. Mereka bertiga sedang berada di rumah makan padang, makan siang bersama. Bagaimana Azka tidak akan menyeru temannya itu dengan nama hewan barusan? Ini ya posisinya sedang berada di rumah makan yang lauk-pauknya lengkap sekali. Tapi lihat piring yang datang? Hanya piring Azka saja yang disiram-sirami dengan segala macam kuah. Sedang piring Kak Nia dan Gilang penuh oleh ayam bumbu. Sejak awal Azka juga sudah curiga. Biasanya kalau kamu makan di rumah makan sebesar ini sudah pasti mereka menghidangkan segala jenis lauk ke mejamu. Tapi Gilang yang berinisiatif seperti babu malah menanyakan menu apa yang Azka dan Kak Nia inginkan. Tidak taunya supaya ia bisa mengerjai Azka seperti ini.
Nia menoleh pada adiknya yang berseru cukup keras, membuat para pengunjung mulai memperhatikan mereka. Tidak bisa berbuat banyak, Nia hanya mampu menendang tulang kering sang adik dengan sangat keras sehingga dia meringis kesakitan.
“Hehehe..”
“Hehe hehe kecek, Ang!”
“Yo lah, dek Ang sedang ulang tahun namuah Den mambalian samba nan katuju dek Ang..” (Oke lah, karena kau lagi ulang tahun dan berhubung aku lagi baik, kau boleh deh pesan lauk apapun yang kau suka) Gilang menoleh pada pramuniaga yang sejak awal sudah gemetaran mendengar permintaan Gilang untuk Azka. “Ni*.. gulai kijang, ciek!” *Uni = Ni = kakak = panggilan untuk perempan yang lebih tua.
“Ee.. indak-indak. Ayam kecap se lah, Ni,” ucap Azka setelah membalas tendangan dari Kak Nia beberapa saat yang lalu pada Gilang. Akibatnya Gilang yang sedang meringis ikutan mengumpaati dirinya. Ketahuan sekali kalau selama ini tuh Azka dikerjai habis-habisan oleh Gilang. Hampir setiap hari saat bersama Gilang ia selalu makan nasi dengan kuah segala macam kuah plus cabe goreng. Pakai alasan ulang tahun segala lagi, ulang tahun Azka kan masih delapan bulan lagi. Ga ada akhlak nih memang. Ini nih definisi kurang ajar to the bone. Atau sebut saja indak bautak (Ga ada otak.)
“Iyo sabana padiah gaya, Ang, yo! Kok makan taruih den balian, a kandak Ang den turuik-an, nongkrong di café, bali baju, bali sarawa, sadonyo Ang den balian.”
(Ga ada otak ya kau, Lang.. dasar! Padahal apa sih yang ga aku kasih? Semua pengen kau kuturutin, nongkrong di café lah, beli baju, beli celana. Semuanya, Lang!)
“Eh ma ado yo! Nongkrong di café iyo. Tapi ndak ado yang sampai bali sarawa jo bali baju bagai do. Pitih den surang yang untuak bali sarawa jo baju rayo waktu tu nyo, babayia lo ongkir nyo ka waang mah. Kaco mato iyo ang balian, Den.”
(Eh mana ada. Nongkrong di café mah iya. Tapi ga sampai beli celana sama beli baju juga kali. Baju sama celana yang pas lebaran kapan hari itu dibeli pakai duitku, mana ongkirnya juga kubayar. Kalau pun ada yang kau belikan untukku itu cuma kaca mata ga lebih.)
“Halah.. itu sarawa kotok hari tu?” (Halah, kolor yang waktu itu?) tanya Azka tidak terima. Keluar duit banyak loh berteman sama Gilang Ivander Aldari tapi doi malah tidak sadar diri. *Sarawa kotok = kolor.
“Ang kalau lalok di rumah, Den, ang pakai sarawa kotok sia? Sarawa kotok den tu mah Azka.. nan baru lo nyo agiahan dek Amak den ka Ang lai tu.” (Kau kalau menginap di rumahku pakai kolor siapa? Kolorku itu Azka… mana Ibu ngasih yang paling baru.) balas Gilang dengan nada yang sama mencomoohnya dengan Azka.
Nia hanya bisa gelang-geleng kepala. Dirinya tidak mau banyak bicara karena sebelum bertemu Gilang dan Azka, dia sudah kesal duluan. Sejak dua hari belakangan Nia ingin mengetes Arif. Sengaja sekali untuk tidak mengabari pria itu. Berharap dia akan merasa ada sesuatu yang kurang. Tapi lihat? Sudah dua hari berlalu sejak terakhir kali mereka chat dan tidak ada pertanda kalau pria itu merasa kehilangan.
Besok pokoknya Nia ingin menyusuli Arif. Pria itu besok katanya pulang ke rumah orang tuanya di Jakarta. Nia pokoknya ingin bertemu. Kangen. Semoga saja dengan kejutan yang akan Nia berikan, Arif jadi lebih perhatian padanya.
>>>
Fateh datang ke rumahnya Bang Raka tanpa persiapan apapun. Sekedar informasi, ia memang sudah kembali ke asalnya. Sudah mencoba menghubungi Aini berkali-kali tapi Fateh justru berakhir bicara dengan dayangnya. Sulit sekali menembus pertahanan Dayang yang satu itu memang. Alhasil, menjelang mendapatkan cara untuk bisa bertemu lagi dengan Puti Aini, Fateh terpaksa pulang. Fay juga tidak mengizinkannya untuk mengirimkan Ammar berdua saja dengan Vio. Bukan karena Vio yang tidak becus tapi karena kalau Ammar dibiarkan berdua saja dengan Vio, yang ada mereka bisa membuat pesawat meledak. Ga deng bercanda, mereka ribut besar aja kalau sudah bertemu. Bulan depan ia juga akan kembali ke kamar barunya di rumah Om Bayu kok.. tenang saja perjuangan Fateh baru akan di mulai.
Fateh tau kalau Bang Raka tidak suka jika Fateh menyebut tiga bocah kembar ini dengan sebutan anak tirinya. Tapi tetap saja, tiga anak tirinya Bang Fateh itu berdiri sejajar di depan fateh sambil menengadahkan tangan. Meminta kado darinya. Lain anaknya Fay, lain lagi anaknya Bang Raka. Mereka semua memang butuh penanganan khusus, tidak bisa disamakan. Dan terkhusus untuk Rima dan Ayyara, Fateh memang lebih lembut.
“Om Ateh ga bawa kado, Nak..”
“Bagus, Om.. kita bisa pergi beli sekarang. Kadonya jadi bisa kastem,” ucap Rima semangat.
“Kas- kas apa, Nak?” tanya Fateh lola.
“Kastem, Om.. maksudnya bisa pesan sesuai keinginan sendiri.”
Oo.. custom, ucap Fateh membatin. Gayaan sekali nih si Rima pakai basaha Inggris. Pasti Bapak nih yang ngajarin. Bapaknya Bang Raka memang senang sekali mengajarkan bahasa Inggris pada cucu-cucunya. Kaya yang beliau pandai sekali saja. Kalau di test toefl nya paling cuma dapat dua ratusan.
“Ya, Om?” tanya Rima dengan mata membulat sempurna. Mana bisa Fateh menolak kalau sudah begini?
“Ya udah kalau gitu kiss dulu,” ucap Fateh sambil merendahkan tubuhnya, menyondongkan wajah pada si triplet.
Tepat di depan Om Fateh, Maga dan Ghafi yang berdiri di sisi kanan dan kiri Rima menyerngit geli. Sudah sebesar ini semua orang dewasa masih saja minta cium pada mereka. Ingin menendang Ghafi, tapi jaraknya terlalu jauh. Jadi lah Maga mundur selangkah kemudian mencolek juru bicaranya itu.
“Eng.. ga usah deh, Om.. aku sama Maga ga butuh hadiah, kok. Kami berbaris kaya gini juga Rima yang suruh,” ucap Ghafi yang sudah mendapat perintah dari Maga.
“Kok aku?” tanya Rima tidak terima. Bukannya Maga dan Ghafi juga punya sesuatu yang mereka inginkan yang tidak bisa di dapatkan dari Mama dan Ayah? Kok jadi Rima sendiri saja yang terlihat seperti tukang minta-minta di sini?
Maga mendekat pada Rima kemudian berbisik. “Udah.. ngikut aja. Kamu ga ingat Ayah larang kita ciuman sama Om-Om?” tanya Maga pada sang Kakak.
“Tapi ini Om Ateh. Adek kesayangan Ayah,” ucap Rima tidak terima. Dia memang sedang benar-benar menginginkan sesuatu makanya akan melakukan apapun sampai keinginannya itu terkabul.
“Tetap aja dia Om-Om. Ga punya pacar lagi,” ucap Maga yang mulutnya paling mirip dengan Raka.
“Ya terus gimana? Katanya pada ga mau minta hadiah sama Papa?”
Fateh mendengus. Tiga bocah itu mengadakan rapat tepat di depan batang hidungnya. Mereka pikir bisikannya itu tidak akan bisa Fateh dengar apa? Sampai ketiganya selesai dengan agenda rapat mereka itu, Fateh sengaja menegakkan punggungnya kembali. Ga kuat lama-lama rukuk di depan Rima.
“Om?” tanya Rima pada Om Fateh yang sudah menjauh.
Fateh berniat untuk mencari Kak Uci dan mengadukan kelakukan anak-anaknya ketika Rima menyadari gerakannya. “Berembuk aja dulu.. Om ga mau ganggu.” Begitu ucapnya.