Bab 10.

1330 Kata
Happy Reading "Briana Cantika," gumam Shasha sambil jemarinya lincah mengetikkan nama yang pernah mengukir luka mendalam di hatinya, nama yang menjadi serpihan kenangan pahit dan kehancuran dalam rumah tangganya bersama Rainer. Layar ponselnya segera menampilkan sederet hasil pencarian, deretan foto Briana dan artikel-artikel masa lalu, tidak banyak, hanya beberapa dan itu pun seperti artikel yang sudah sangat lama. Sebagian besar foto menampilkan Briana di masa mudanya, kecantikan yang memancar, senyum yang merekah. Shasha tersenyum miris, Briana memang sangat cantik, pantas saja Rainer tidak bisa melupakan cintanya pada sosok Briana meskipun sudah bersamanya selama tiga tahun. "Memang cantik, auranya juga memikat," gumam Shasha memandang foto-foto Briana. Hanya segelintir foto yang memperlihatkan Briana di usia yang lebih matang, mungkin diambil beberapa tahun terakhir. Namun, ada yang berbeda. Wajahnya yang dulu bersemu merona kini tampak tirus, sorot matanya sayu, dan tubuhnya terlihat jauh lebih kurus, seperti kehilangan pendar kehidupan. Perubahan drastis ini mengundang tanya di benak Shasha. Ada apa gerangan yang terjadi pada Briana? "Kok penampilannya sekarang jauh lebih menarik aku, ya? Di foto ini, Briana terlihat jauh lebih tua. Apa Rainer tidak membiayai perawatan kecantikan dan kesehatannya? Mungkin dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Pakaiannya juga terlihat kurang modis, mungkin dia tidak punya banyak waktu untuk berbelanja. Atau mungkin saja dia memang lebih suka tampil sederhana dan natural." Shasha menggulir layar ponselnya lebih lanjut, matanya menelusuri setiap foto dan artikel yang muncul. Anehnya, tak ada satu pun foto atau artikel yang menampilkan Briana bersama Reiner. Padahal, dulu, di masa muda mereka, Reiner dan Briana adalah sepasang kekasih. Bahkan, Shasha masih ingat dengan jelas, tiga tahun setelah pernikahannya dengan Reiner, sang suami masih menyimpan rasa cinta yang begitu besar untuk Briana. Kenangan itu kembali menghantui Shasha, menusuk hatinya dengan rasa sakit yang tak terperi. Tiba-tiba, sebuah judul artikel menarik perhatian Shasha. "Terjebak sebuah skandal dengan sepupunya sendiri membuat Briana Cantika dikeluarkan dari kartu keluarga." Shasha mengerutkan keningnya, membaca judul artikel itu berulang kali. Pikirannya berkelindan, mencoba memahami arti di balik kalimat tersebut. "Skandal dengan sepupunya sendiri? Dikeluarkan dari kartu keluarga? Apa sebenarnya yang terjadi?" gumam Shasha, hatinya dipenuhi rasa penasaran. "Apakah ada banyak hal yang tidak kuketahui tentang masa lalunya dan Rainer?" Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di kepala Shasha, membuatnya semakin bingung dan gelisah. Shasha ingat ungkapan cinta Rainer saat pulang syuting tadi di parkiran gedung. Masih sangat jelas di telinganya jika Rainer meneriakkan kata cinta sehingga membuat asumsi publik sekarang banyak yang mengarah padanya dan sosok aktor dingin Rainer. "Tapi, Rainer kan seorang aktor," pikir Shasha. "Dia sudah terbiasa mengucapkan kata cinta, meskipun mungkin hatinya berkata lain. Seperti dulu, semuanya hanya sandiwara. Mungkin saja semua yang dia lakukan hanya untuk menutupi hubungannya dengan Briana. Rainer tidak ingin hubungannya dengan Briana terungkap ke publik, sehingga dia berpura-pura mencintaiku, seperti dulu." Shasha menghela napas panjang, senyum pahit tersungging di bibirnya. "Kamu nggak akan bisa melakukan trik yang sama lagi, Rai." Shasha memutuskan untuk menutup artikel tersebut. Dia melemparkan ponselnya ke atas ranjang, berusaha mengusir semua pikiran yang mengganggu benaknya. "Ah, kenapa aku harus repot-repot memikirkan kehidupan mereka?" gumamnya. Namun, bayang-bayang masa lalu tetap menghantuinya, meninggalkan rasa getir yang tak mudah dihapuskan. Shasha menyadari bahwa luka lama itu masih membekas, dan mungkin saatnya harus dihadapi. *** Hari kedua syuting berjalan dengan relatif lancar dan tidak terlalu melelahkan bagi Shasha. Jadwalnya hari ini memang lebih ringan dibandingkan hari sebelumnya. Hanya ada beberapa adegan singkat yang perlu diambil, sebagian besar melibatkan interaksi dengan aktor figuran. Salah satu adegan tersebut menggambarkan Shasha berjalan melewati kerumunan orang di sebuah taman kota yang ramai, di mana para figuran berperan sebagai pejalan kaki dan pengunjung taman. Shasha hanya perlu berjalan melintasi taman sambil menikmati pemandangan, sesekali berhenti untuk berinteraksi sebentar dengan beberapa figuran, seperti menanyakan arah atau memberikan senyuman ramah. Adegan ini diambil beberapa kali dari berbagai sudut untuk mendapatkan hasil yang sempurna. Selain adegan di taman, Shasha juga memiliki satu adegan penting bersama Rainer di sebuah restoran elegan. Adegan ini menggambarkan pertemuan antara Danish dan Kania yang akhirnya melakukan kesepakatan bersama, Danish akan memberikan Kania uang dan Kania mau menjadi istrinya sampai melahirkan pewarisnya. Sutradara memberikan arahan yang detail kepada Shasha dan Rainer mengenai ekspresi dan dialog yang harus disampaikan agar adegan tersebut terlihat natural dan meyakinkan. Setelah menyelesaikan pengambilan gambar di restoran, Shasha berniat untuk kembali ke ruang rias untuk beristirahat sejenak. Namun, langkahnya terhenti ketika Edo, asisten pribadi Rainer, menghampirinya dengan tergesa-gesa. "Sha, bentar deh, aku mau ngomong!" ucap Edo sambil menghadang Shasha. Raut wajahnya tampak serius, membuat Shasha sedikit penasaran. "Ada apa, Mas?" tanya Shasha dengan nada dingin. Edo sedikit terkejut dengan sikap dingin Shasha. Ia tidak menyangka bahwa Shasha akan bersikap demikian padanya, padahal ia hanyalah asisten pribadi Rainer. Rasanya Shasha jadi ikutan tidak suka padanya. "Rai mau kasih konfirmasi tentang gosip itu, gimana? Kamu nggak keberatan?" tanya Edo, menyampaikan pesan dari Rainer. Gosip kedekatan antara Rainer dan Shasha yang belakangan ini ramai diperbincangkan di media. Mendengar pertanyaan Edo, Shasha tersenyum tipis. Senyum yang menurut Edo justru terlihat sedikit menakutkan. "Duh, wanita yang dicintai Mas Rai benar-benar luar biasa, auranya itu bikin merinding," batin Edo dalam hati. Ia merasa sedikit terintimidasi oleh tatapan tajam Shasha. "Terserah, aku nggak peduli. Di sini aku cuma mau kerja dan nggak mau ada urusan dengan wartawan manapun, kalau memang Rainer mau lakuin itu, terserah," jawab Shasha dengan tegas. Senyum di wajahnya kini menghilang, digantikan oleh ekspresi datar yang sulit dibaca. Shasha kemudian berlalu meninggalkan Edo yang masih terdiam di tempat, memikirkan reaksi Shasha yang tak terduga. Ia menyadari bahwa Shasha bukanlah wanita yang mudah untuk didekati. "Mas Rai, siap-siap deh, bakal susah dapetin hati Shasha," gumam Edo. *** "Gimana, Do?" tanya Rainer dengan nada tak sabar. Sedari tadi ia menunggu kedatangan asisten pribadinya itu yang ditugaskan untuk menemui Shasha. Kegugupan terpancar jelas di wajahnya. Rainer berharap Edo membawa kabar yang dia inginkan. "Begini, Mas," jawab Edo dengan senyum kikuk, agak ragu untuk menyampaikan pesan Shasha. "Kata Shasha... terserah Mas Rainer saja." Edo menggaruk kepalanya yang tidak gatal, merasa kurang nyaman dengan respon singkat Shasha. "Serius dia bilang gitu, Do? Cuma 'terserah'?" Rainer mengerutkan keningnya, nada suaranya meninggi. Kecemasan mulai menggerogoti hatinya. "Apa dia nggak mau ketemu sama aku? Apa dia benar-benar marah?" Ia membayangkan berbagai kemungkinan buruk. Penolakan dari Shasha adalah hal yang sangat menakutkan. "Kamu nggak sempat minta nomor pribadinya, Do?" tanya Rainer lagi, secercah harapan kembali muncul. Ia harus bisa menghubungi Shasha secara langsung. "Saya sudah coba, Mas. Tapi sulit sekali. Kayaknya dia memang nggak mau ada yang tahu nomor pribadinya," jawab Edo. Ia merasa bersalah karena tidak berhasil mendapatkan nomor telepon Shasha. "Kalau gitu, coba minta ke manajernya. Silvia, kan?" usul Rainer, ia tak mau menyerah begitu saja. "Wah, apalagi Silvia, Mas. Dia mana mungkin mau ngasih nomor Shasha. Dia sangat protektif terhadap Shasha," jawab Edo dengan senyum canggung. Ia tahu betul betapa sulitnya berurusan dengan Silvia, manajer Shasha yang terkenal tegas dan disiplin. Rainer mendesah kecewa. Ia tadinya berpikir Shasha akan marah besar dan langsung mendatanginya untuk meminta penjelasan masalah gosip-gosip itu. Namun, respon "terserah" dari Shasha justru membuatnya semakin bingung dan frustrasi. Tiba-tiba, sebuah ide muncul di benaknya. "Ah, aku punya ide! Gimana kalau kita panggil dua wartawan? Aku mau kasih klarifikasi ke publik." Matanya berbinar, ia yakin ini adalah cara terbaik untuk menunjukkan keseriusannya pada Shasha. "Serius, Mas?" tanya Edo, ia terkejut dengan ide Rainer yang tiba-tiba. "Dua rius, Do! Aku akan buat seluruh publik tahu, kalau aku jatuh cinta pada Shasha. Aku akan jelaskan semuanya, bahwa aku serius dengannya," tegas Rainer dengan penuh keyakinan. Ia berharap dengan cara ini, Shasha akan mengerti perasaannya dan memberinya kesempatan. "Sha, lihat keseriusanku. Aku akan mengungkapkan pada semua orang kalau kali ini aku akan mengejar mu," batin Rainer. *** Shasha terpaku di depan televisi, rasa terkejut menjalar di seluruh tubuhnya. Berita itu menampilkan Rainer yang dengan gamblang menyatakan sedang mengejar cintanya. Pernyataan Rainer tersebut begitu tiba-tiba dan tak pernah terbayangkan sebelumnya oleh Shasha. Pikirannya berkecamuk, mencoba mencerna maksud di balik pengakuan publik yang tak terduga itu. Apakah ini sebuah strategi pemasaran yang dirancang untuk mendongkrak popularitas film mereka? Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN