Happy Reading
Luna tidak bisa lagi tinggal di kota ini, dia harus pergi jauh membawa luka hatinya. Setelah sekian lama mempertahankan perasaan cintanya pada pria yang sama selama bertahun-tahun, akhirnya Luna melepaskan perasaan cinta untuk Alva. Luna sudah lelah, dia sudah tidak mau berlari lagi mengejar pria itu, dia akan berhenti dan mulai menjauh. Mungkin dengan kepergiannya dari sang pembawa luka, perlahan Luna bisa memaafkan dirinya sendiri yang sudah begitu bodoh sampai merelakan kesuciannya direnggut oleh Alva.
Sudah cukup Luna mencintai Alva. Sampai kapan pun, pria itu tidak akan pernah membalas cintanya. Buktinya, dia tetap akan menikahi Mutia meski pria itu sudah tahu soal kehamilannya. Bahkan, Alva mengatakan pada Luna untuk menggugurkannya karena dia tidak menginginkan benih itu. Cukup sudah rasa sakit yang selama ini dia derita. Sekarang, Luna seperti mati rasa. Tersisa rasa penyesalan yang begitu dalam membatin dalam dirinya. Kalau tahu akhirnya akan seperti ini, Luna tidak akan memberikan kesuciannya pada Alva. Dia juga tidak akan nekat memberi obat perangsang kepada pria itu hanya karena obsesinya semata.
"Nak, kenapa mendadak sekali?" tanya Indira–ibunya Luna.
"Luna ada pekerjaan di sana, Mah. Maaf nggak ngasih tahu Mama sebelumnya. Sebenarnya Luna juga nggak tahu kalau lamaran pekerjaan itu akhirnya di ACC. Jadi, semuanya terkesan mendadak, padahal tidak sama sekali," jawab Luna tanpa menatap sang ibu. Dia sebenarnya tengah berbohong, tidak ada panggilan kerja di sana.
Luna bahkan tidak mengirimkan lamaran pekerjaan apa pun karena dia sudah merasa betah dengan pekerjaannya di Jakarta. Dia bekerja di salah satu perusahaan milik pamannya sebagai staf biasa. Meskipun ayahnya sendiri memiliki perusahaan kecil dalam bidang furniture, tetapi Luna lebih suka bekerja dari nol dengan menjadi staf biasa di perusahaan properti milik adik ibunya. Dia ingin karirnya berkembang sendiri dengan kerja kerasnya, bukan karena orang dalam yang bisa langsung memberikannya jabatan.
"Tapi, Papa kan belum tahu? Tunggu Papa pulang dari Jepang dulu, ya? Baru kamu berangkat ke Manchester," ujar Indira.
Entah kenapa dia merasa tidak tega jika putrinya harus pergi jauh dan ini benar-benar mendadak. Sebelumnya, Luna bahkan tidak mengatakan apa-apa atau memberikan kode jika dia ingin bekerja di luar negeri.
"Papa kapan balik ke Jakarta?"
"Besok lusa dia pulang, pokoknya kamu nggak boleh pergi sebelum papa pulang." Luna pun mengangguk dan menurut, tentu saja dia tidak bisa langsung pergi begitu saja. Dia juga harus segera mengurus visa dan tiket perjalanan. Untung saja paspornya masih berlaku selama enam bulan ke depan. Jadi, Luna hanya akan mengurus visanya saja.
"Oke, Mah."
"Apa nggak nunggu pernikahan Alva dulu?" Luna menegang mendengar sang ibu tiba-tiba menyebutkan nama yang sekarang sangat dia benci itu.
"Nggak, Mah, nanti keburu interview dan takutnya malah nggak lolos, ini kesempatan satu-satunya," jawab Luna. Tentu saja dia tidak akan menghadiri pesta pernikahan dua orang yang telah begitu menyakitinya itu.
Sebenarnya Luna tahu jika dialah sebenarnya yang egois. Luna mencintai pria itu dengan sangat dalam, tetapi Alva sudah mengatakan jika dia tidak bisa membalas cintanya dan hanya menganggapnya sebagai saudara perempuan, tidak lebih dari itu.
Sekarang Luna sadar kalau cinta memang tidak bisa dipaksakan. Lebih baik dia membenci Alva dan menata hatinya kembali daripada harus mengejar cinta dari pria yang jelas-jelas tak ingin membalas cintanya.
"Ya sudah, Mama ke dapur dulu.”
Luna mengangguk. Mengulas senyum saat sang ibu mengelus rambutnya lembut.
"Luna, sayang banget sama Mama, maafin Luna kalau belum bisa jadi anak yang baik," lirihnya saat sang ibu keluar dari kamarnya dan tak terlihat lagi. "Maaf kalau Luna bohong, Luna belum siap buat cerita yang sebenarnya."
Luna menghela napas panjang, dia berusaha menata hatinya dan bersiap dengan pelariannya. Saat ini, dia harus mempersiapkan segalanya. Menata hati dan pikiran agar siap berjuang hidup di negeri orang.
Masih duduk di tepi ranjang, Luna tampak membuka ponselnya yang sejak kemarin dia matikan. Rasa kecewanya yang teramat besar membuat Luna sampai memblokir nomor Alva. Pria itu sekarang sudah jadi musuh yang paling dia benci. Berharap jika setelah dia pergi tidak akan pernah bertemu dengannya lagi.
Luna melihat pesan yang dikirimkan oleh Mutia, wanita itu menanyakan kabarnya karena tiga hari tidak ada kabar sama sekali bahkan nomornya pun tidak aktif. Luna berusaha menahan perih di hatinya, Mutia itu sahabatnya dan Alva juga sahabatnya yang sangat dicintai. Tetapi, kenapa dia merasa Mutia seperti sudah menusuknya dari belakang. Ah, tentu saja Mutia dan Alva, dua-duanya menusuknya dari belakang karena diam-diam menjalin hubungan tanpa memberitahunya.
Jika bukan karena salah satu teman yang mengatakan melihat keduanya jalan bareng beberapa kali, tentu saja Luna tidak akan tahu jika keduanya memiliki hubungan.
"Gue nggak tahu apa salah gue sama lu, Mut. Lu tau kan kalau gue cinta sama Alva, tapi kenapa lu tega rebut Alva dari gue!" gumam Aluna menatap foto profil Mutia. Di mana foto itu adalah gambar Alva dan Mutia yang tersenyum bahagia menghadap kamera. "Selamat ya buat kalian berdua, gue udah ikhlas banget, semoga kalian mendapatkan apa yang kalian inginkan."
Luna juga memblokir nomor Mutia sebelum dia membalas pesan sahabatnya itu. Ah, sekarang sudah bukan menjadi sahabat lagi, lebih pantas disebut sebagai mantan sahabat.
***
Beberapa hari kemudian. Akhirnya, hari kepergian Luna pun tiba. Luna terlihat sudah berada di bandara ditemani kedua orang tua yang mengantar kepergiannya. Dia bahkan sampai mengarang cerita jika sudah diterima kerja di salah satu perusahaan besar di sana.
Sang ayah sebenarnya sudah curiga dengan kepergian Luna yang menurutnya sangat mendadak, tetapi Bima memilih diam. Jika sudah saatnya nanti, pasti putrinya akan memberitahunya tanpa dia minta.
Sementara itu, di kediaman Alva. Pria itu tampak gelisah. Alva sejak tadi hanya mondar-mandir tidak jelas. Ya, sudah empat hari Luna tidak ada kabar. Bahkan, nomornya sampai sekarang tidak aktif. Entah kenapa tiba-tiba Alva merasa sangat bersalah, bohong jika dia tidak memikirkan Luna, apalagi saat wanita itu mengatakan tengah mengandung anaknya.
"Sial! Kenapa semua jadi seperti ini!" Alva menjambak rambutnya frustasi.
Sungguh dia tidak pernah menyangka akan terjadi hal seperti ini dalam hidupnya. Alva merasa sangat bersalah pada Luna, tetapi dia takut jika harus membatalkan pernikahannya dengan Mutia dan pasti akan mengacaukan segalanya jika dia ingin bertanggung jawab. Saat itu yang ada dalam pikirannya adalah meminta Luna untuk menggugurkan kandungannya dan entah kenapa sekarang dia sangat menyesal dengan permintaannya itu.
"Sekarang gue harus gimana, Lun!"
Dering ponsel miliknya yang terdengar tiba-tiba membuat Alva kaget, wajahnya sudah sumringah dan dia berharap jika Luna yang saat ini menghubungi. Alva tahu betul jika Luna tidak akan betah lama-lama tidak mengabarinya. Pasti wanita itu sudah merindukannya seperti yang sering dia katakan.
"Al, gue kangen. Lu mau 'kan makan malam sama gue?"
"Alva, tolong bantu gue, ya? Sebenarnya gue cuma pengen ketemu aja, seharian nggak ketemu sama lu tuh berasa satu bulan aja."
"Al, gue cinta banget sama lu, bahkan mungkin cinta Mutia nggak sebesar cinta gue!"
Tiba-tiba ingatannya terus menampilkan beberapa pesan Luna yang dulu terkesan sangat mengganggunya. Namun, entah kenapa, saat ini Alva justru sangat merindukan kecerewetan Luna yang beberapa hari ini tak lagi menghubunginya.
Baru saja akan menjawab panggilan itu, Alva seketika terdiam, hanya menatap layar ponsel dengan kecewa saat tahu siapa yang menghubunginya.
"Mutia," gumam Alva.
Entah kenapa rasa kecewa itu datang karena bukan Luna yang menghubungi. Mungkin baru kali ini, Alva tidak suka jika panggilan itu berasal dari Mutia. Jika biasanya Alva selalu tersenyum saat melihat nama Mutia di layar ponselnya, sekarang dia lebih menginginkan nama Luna yang tertera di sana.
Bersambung