Bab 3. Kembali

1309 Kata
Happy Reading Enam tahun sudah berlalu. Banyak yang Luna lewati selama tinggal di London. Tentu saja bukan hal mudah untuk tinggal di negara orang, terlebih dia hanya tinggal sendiri di sana. Namun, berbekal pengalamannya kerja di perusahaan milik pamannya dulu, Luna bisa mendapatkan pekerjaan dengan mudah di kota itu. Awalnya, Luna menganggap jika dia bisa dengan mudah menjalani itu semua. Namun ternyata, semuanya tidak seperti yang dia bayangkan. Dua bulan pertama bekerja, kondisinya yang saat itu sedang hamil trimester pertama membuatnya sering merasa lelah dan drop. Dia juga mengalami gejala morning sickness meski tidak terlalu parah. Walaupun Luna selalu bersemangat untuk menata hidupnya dengan sang calon buah hati, tetapi kondisinya yang sering lelah dan tidak nafsu makan, membuat Luna jadi berpikir jika seharusnya dia tidak pernah melakukan perbuatan yang membuatnya sampai mengandung anak Alva. Meski penyesalan itu sering datang saat hidupnya berjalan berat, Luna menganggap semua itu sebanding dengan apa yang dia dapat sekarang. Kini, dia merasa bahagia, hidupnya tak lagi sepi karena ada Valen–buah hatinya. "Mami, kaos Valen yang gambar bola di mana, ya?" "Warna apa? Bolanya bola apa? Valen 'kan punya kaos bola lima dan semuanya beda warna, Sayang." "Itu loh, Mi. Bola basket yang warna biru." "Oh, yang itu ada di lemari, coba cari dulu!" "Udan Valen cari, tapi nggak ada!" Wanita itu berdiri dari posisi duduknya dan keluar dari ruangan yang menjadi tempat kerja kedua di rumahnya. Menghampiri seorang anak laki-laki yang kini tengah cemberut. "Valen, udah cari di bagian bawah belum?" Anak laki-laki itu menggeleng. Wanita itu tersenyum dan mengelus rambut sang putra dengan sayang. "Kaos gambar bola itu semuanya Mami taruh di bagian bawah, Sayang. Jadi, pasti ada di sana. Ayo, Mami kasih tahu tempatnya." Anak laki-laki bernama Valen itu pun mengangguk. "Ayok, Mi. Tadi Valen udah cari, tapi tetep nggak ketemu, kalau yang nyari Mami pasti ketemu." Ada-ada saja tingkah Valen ini. Sebenarnya dia hanya ingin merepotkan ibunya karena sebenarnya Valen bahkan belum membuka lemarinya. Keduanya berjalan beriringan menuju kamar yang pintunya bertuliskan Valen Mahardika Sebastian. "Coba Mami lihat, kemarin Nany Anna bilang kalau dia udah taruh baju-baju gambar bola di sana." Saat akan mencari di mana letak baju bola milik Valen, tiba-tiba ponsel wanita itu berdering. Nama sang ayah nampak di layar. Sudah lama sekali mereka tidak berkirim kabar karena mungkin kesibukan masing-masing yang membuat mereka lupa untuk saling menghubungi. "Halo, Pah. Apa kabar?" "Halo, Nak. Kabar Papa baik, tapi … mama kamu …." "Mama kenapa, Pah?" "Luna, mamamu kambuh lagi dan kali ini harus masuk rumah sakit buat opname. Dia selalu nanyain kabarmu, Lun." Jantung Luna seperti diremas saat mendengar ucapan sang ayah. Ibunya sakit dan dirawat. Kesehatan ibunya memang akhir-akhir ini menurun. Meski begitu Luna memang tidak ingin jika disuruh pulang ke Indonesia selama enam tahun menetap di London. Di tahun-tahun pertama Aluna–saat dia hamil dan melahirkan, Indira dan Bima yang datang bolak-balik ke London. "Bisa ‘kan kamu pulang, Nak? Papa yakin kalau kamu sudah siap. Kasian mamamu, selama ini dia sudah kangen banget mau ketemu sama kamu dan Valen. Bahkan, kalau Mama kamu sehat, dia pasti sudah terbang ke London dari kemarin-kemarin buat ketemu kalian." Luna mendesah berat, dadanya terasa sakit sekali mendengar ucapan Bima tentang ibunya. "Luna, tolong turunkan egomu sedikit saja, demi kami!" lanjutnya. Luna berjalan keluar kamar Valen, dia memilih duduk di sofa ruang tamu. Kedua kakinya tadi terasa begitu lemah saat mendengar kondisi ibunya yang tengah drop. Apakah dia sudah siap jika harus kembali ke Indonesia? Apakah dia sudah siap jika harus bertemu kembali dengan orang-orang dari masa lalunya, terutama Alva? “Lun, gimana? Demi mamamu, pulang, ya!” Setelah lama diam, akhirnya Luna pun menjawab permintaan ayahnya. Wanita itu tampak menghela napas kasar. Dia tak punya pilihan. Pulang dan bertemu dengan ibunya yang sedang sakit. Luna tidak ingin menyesal jika sang ibu sampai kenapa-kenapa kalau dia mempertahankan egonya untuk tidak pulang. "Baik, Pah. Luna akan pulang, tapi kasih waktu Luna buat urus pengunduran diri Luna, ya?" “Makasih ya, Sayang.” Bima begitu senang. Akhirnya, putrinya mau menuruti permintaan untuk kembali pulang. *** Beberapa hari kemudian, di sebuah ruang kantor, Alva tampak sedang berada di kursi kerjanya. Pria itu memang lebih pendiam sejak kepergian Luna ke London. Meski sudah berusaha mati-matian mencari keberadaan Luna, tetapi dia selalu gagal. Tiba-tiba ketukan pintu terdengar, membuyarkan lamunan Alva. “Ya, masuk!” "Alva, ini kopi buat kamu," ujar Mutia menyerahkan kopi hitam kesukaan Alva–mantan suaminya. Meskipun pernikahan mereka sudah kandas lima tahun lalu, tetapi Mutia masih bekerja sebagai sekretaris Alva di perusahaan Xanders Grup. "Makasih, taruh aja di situ!” jawab Alva tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar laptop. Mutia meletakkan kopi itu di sebelah laptop dan dia pun tidak sungkan untuk duduk di kursi meskipun Alva tidak memintanya. "Ada apa? Apa ada sesuatu yang ingin kamu laporkan?" Kali ini Alva menatap Mutia yang duduk dengan wajah sendu di depannya. "Ehm, jadwalmu hari ini lenggang, tidak ada rapat ataupun meeting," jawab Mutia menggigit bibir bawahnya. "Lalu? Kenapa kamu nggak kembali ke meja kerjamu?" Pertanyaan Alva semakin membuat Mutia menggigit bibir bawahnya. Ada rasa takut dan gugup, sebenarnya dia sangat ingin mengatakan sesuatu pada mantan suaminya, tetapi melihat tatapan Alva yang tajam, entah kenapa membuat Mutia mengurungkan niatnya. "Al–" "Panggil aku "pak" seperti yang lain, Mutia! Meskipun kita hanya berdua, tapi kita masih di kantor dan kita harus profesional. Jangan karena kamu mantan istriku lalu dengan seenaknya kamu bersikap tidak sopan pada atasanmu! Ingat! Kalau bukan karena keinginan Pak Salam, aku tidak akan mempertahankanmu jadi sekretarisku lagi." Perkataan Alva benar-benar membuat Mutia begitu sakit. Wanita itu tak berani menatap Alva. Memilih menundukan kepala, menyembunyikan air mata yang sudah membasahi kedua pipinya. Cepat-cepat Mutia mengusapnya, dia berdiri dan membungkuk hormat. Tanpa mengatakan apa-apa, Mutia langsung keluar dari ruangan Alva. Mutia menahan tangisannya agar tidak pecah. Mau bagaimanapun, dia tidak boleh menangis meski hatinya sakit saat mendengar ucapan Alva yang menurutnya sangat jahat. Namun, apa yang diucapkan mantan suaminya itu benar adanya. Jika bukan karena ayahnya yang memohon dan meminta pada Alva agar tidak memecatnya, sudah sejak lima tahun lalu dia pasti sudah tidak bekerja di perusahaan besar ini lagi. Mutia duduk di meja kerjanya dengan perasaan campur aduk. Sudah lima tahun berlalu, tetapi Alva masih belum bisa membuka hati untuknya lagi, padahal Mutia sudah berulang kali meminta maaf dan berusaha menjadi istri yang baik. Namun, lima tahun lalu Alva tetap menceraikannya. "Apa kamu benar-benar udah nggak mau kasih kesempatan buat aku, Al? Apa yang sebenarnya kamu cari? Aluna? Dia bahkan udah pergi, nggak tau di mana sekarang, tapi kenapa kamu masih menunggunya?" lirih Mutia memandang foto Alva yang dia letakan di laci meja kerjanya. Sungguh dia tidak pernah menyangka jika ucapannya pada sang ibu yang tidak sengaja didengar Alva, tepatnya seminggu setelah mereka menikah, akan membuat Alva membencinya, padahal jelas-jelas dulu Alva sangat mencintainya. Ya, sejak saat itu, Alva jadi tahu jika selama ini dia termakan hasutan dan fitnah Mutia pada Luna. Bahkan selama setahun pernikahan mereka, Alva tidak pernah mau menyentuhnya. Setelah kepergian Mutia, Alva tampak mengusap wajahnya dengan kasar. Pria itu mulai mengambil figura kecil di depannya dan mengelus wajah cantik Luna dalam figura itu. "Lu di mana, Lun? Gue mau minta maaf. Gue nyesel, Lun. Hidup gue benar-benar berantakan setelah lu pergi bawa anak kita. Semua yang lu ucapin waktu itu jadi kenyataan, gimana caranya gua bisa ketemu sama lu? Balik, Lun, gua kangen sama lu,” gumam Alva dengan mata yang berembun. Tiba-tiba dering ponsel membuyarkan lamunan Alva, dia melihat nama Jero–temannya di layar ponselnya dan langsung menjawabnya. "Halo, Al. Gue liat Luna di bandara!" "Luna? Aluna Sebastian?" “Iya, dia udah balik, Al.” Seketika ada harapan yang mulai menyeruak dalam dirinya. Harapan di mana dia bisa menemui Luna dan anaknya yang dulu dia sia-siakan, bahkan Alva sempat meminta Luna untuk menggugurkan kandungannya. "Gue pasti akan tebus kesalahan gue yang dulu, Lun." Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN