Bab 4. Aku Menyesal, Luna.

1067 Kata
Happy Reading Alva langsung mematikan panggilannya setelah mendapatkan kabar yang begitu membahagiakan dari Jero. Kebetulan sekali temannya itu ada di bandara dan melihat Luna yang katanya ada di sana. Baru turun dari pesawat dan di sana juga ada Bima–ayahnya Luna. Jadi, bisa dipastikan jika yang dilihat Jero adalah Luna–wanita yang selama ini dicari oleh Alva. Sungguh Alva bahagia sekali mengetahui Luna sudah kembali ke Indonesia. Kabar yang tidak dia sangka sama sekali. Seperti memenangkan sebuah tender besar bernilai triliunan rupiah. Ah, mungkin rasanya lebih membahagiakan mendengar berita kembalinya Luna ke Indonesia dari pada mendapatkan tender besar itu. Pria itu segera mengambil dompet dan kunci mobilnya di atas meja, kemudian bergegas keluar dari ruangannya. Dia harus segera sampai di Bandara untuk menyambut Luna. Mutia melihat pintu ruangan Alva terbuka dan pria itu keluar dengan wajah yang serius dan terlihat panik. "Pak, Alva. Anda mau kemana?" tanya Mutia. "Aku akan pergi, mungkin tidak akan kembali sampai waktunya pulang." "Ah, tapi ...." ucapan Mutia hanya menggantung karena Alva sama sekali tidak berhenti atau pun menoleh kepadanya. Pria itu berjalan dengan tergesa menuju ke arah lift. Mutia tidak tahu Alva akan pergi kemana, tetapi dilihat dari gesturnya yang terburu-buru sepertinya ada sesuatu yang Mutia tidak tahu. Sepertinya bukan masalah pekerjaan dan hal itu membuat Mutia sangat penasaran. "Sampai saat ini bahkan kamu nggak pernah nganggep aku, Al. Kalau bukan karena aku bekerja di sini, mungkin kamu pasti pura-pura nggak kenal sama aku ketika kita bertemu," gumam Mutia miris. Pria itu benar-benar bersikap sangat dingin dan tidak tersentuh. Mutia juga tahu jika Alva selama ini masih mencari keberadaan Luna yang pergi enam tahun lalu. Mutia sangat iri dan cemburu dengan Luna. Apalagi Alva sekarang dengan terang-terangan selalu menyebut jika dirinya mencintai Luna. Sungguh dia begitu menyesal karena dulu dia mendapatkan Alva dengan cara yang tidak benar. Seharusnya dia bisa mengambil hati pria itu dengan cara yang lebih baik agar Alva tidak kecewa padanya seperti ini. Mungkin karena dulu Mutia melihat Alva memiliki perasaan lebih pada Luna dan hal itu membuatnya terobsesi ingin mendapatkan Alva. Secara saat itu Alva memang tidak mau mengungkapkan perasaannya pada Luna. "Gue harap lu nggak akan pernah kembali lagi, Lun. Udah bagus lu pergi seperti ini, meskipun sudah bertahun-tahun lamanya, gue tahu kalau Alva tetep nggak bisa melupakan lu," gumam Mutia. Dia ingin jika Luna tidak menampakkan dirinya lagi di hadapannya ataupun Alva karena sejujurnya Mutia masih ingin bisa rujuk kembali dengan mantan istrinya itu. Mutia kembali duduk dan melamun di meja kerjanya, berkhayal agar bisa bersama lagi dengan Alva. *** Alva langsung pergi menuju Bandara Soekarno Hatta tanpa supir, dia menyetir sendiri dan harus segera sampai ke sana sebelum Aluna pergi menghilang lagi. Perasaannya deg-degan dan grogi menjadi satu. Sungguh Alva tidak pernah merasakan segugup ini. Tangannya bahkan terasa begitu dingin, dia tidak sabar ingin segera bisa bertemu dengan Luna. "Lun, apakah kamu membawa anak kita juga?" gumamnya sambil melihat jalanan yang padat merayap. Rasanya Alva ingin keluar dari dalam mobil dan berlari saja karena melihat kepadatan di depannya. "Aku ingin ketemu sama anak kita, Lun." Alva ingin tahu seperti apa wajah anaknya, apakah mirip dengannya atau mirip dengan Luna. Alva senyum-senyum sendiri hanya karena membayangkan dia bertemu dengan Luna dan sang putra. Jalanan di depan masih macet, di dalam mobil, Alva mengerang frustasi karena dia tidak bisa segera ke bandara. Baru kali ini Alva membenci kemacetan dan hal itu sungguh membuatnya kesal. Alva mengusap wajahnya kasar. Pria itu mengambil ponselnya dan menatap foto yang dia jadikan walpaper itu. Alva tersenyum menatap foto Luna dan mengelus wajah cantik di dalam layar tersebut. "Luna, aku harap kamu bisa memberikan kesempatan buatku, aku ingin kamu memaafkanku meskipun itu nanti pasti akan sulit," gumam Alva yang sekarang membahasakan dirinya dengan sebutan "Aku" pada Luna karena wanita itu spesial untuknya. Setiap dia melihat foto Aluna dan mengajak gambar itu bicara, Alva seakan mencurahkan semua perasaannya. Dia selalu ingat kata-kata Aluna terakhir kali saat mereka bertemu. Saat itu Aluna mengungkapkan jika dia hamil dan Alva memintanya untuk menggugurkan kandungan itu. Luna menyumpahinya agar dia menyesal dan Tuhan membalas perbuatannya pada Luna. Dan hal itu pun terjadi. Alva benar-benar menyesal dan hidupnya semakin berantakan. Bahkan pernikahannya dengan Mutia hancur saat usianya masih seminggu. Mungkin doa Luna terkabul dan hal itu semakin membuat Alva terpuruk. "Aku menyesal, Lun! Kenapa waktu itu aku nggak menerima kamu, sayang," gumam Alva masih menatap foto Aluna yang tengah merangkulnya. Foto itu diambil saat setelah wisuda dan mereka merayakan hari itu dengan makan-makan di sebuah tempat yang kata Luna tempat romantis. Ya, waktu itu sebelum Mutia datang. Mengingat Mutia, ternyata perasaannya pada wanita itu memang bukan sebuah perasaan cinta yang sebenarnya. Hanya sebatas kagum, sayang, dan kasihan. Jika bukan karena "hal itu" mungkin Alva masih terus berada dalam permainan yang dibuat oleh Mutia karena begitu liciknya sang mantan istri. Mungkin Tuhan memang masih menyayanginya sehingga masih memberikannya kesempatan kedua untuk mendapatkan Luna kembali dan Alva menyadari jika selama ini sebenarnya dia sudah sangat mencintai Luna, bukan Mutia. "Lun, kalau kita bertemu aku ingin sekali bersujud di depanmu, aku harap kamu masih mau memaafkanku." Waktu enam tahun terasa begitu lama, selama itu pula Alva terus berusaha mencari tahu keberadaan Luna. Akan tetapi, semuanya sia-sia, seakan ada seseorang yang membuatnya tidak bisa menemukan Luna dengan mudah. Di sisi lain. Luna memeluk sang ayah dengan erat, dia sudah lama sekali tidak bertemu dengan ayahnya tersebut. "Luna kangen, Pah!" Luna melepaskan pelukannya dan menatap wajah sang ayah yang garis wajahnya sudah terlihat semakin tua. "Kangen tapi nggak mau pulang, kamu nggak kasihan sama Papa dan Mama?" sebenarnya niat Bima mengucapkan hal itu hanya menggoda Luna, tetapi hal itu berhasil membuat mata Luna berkaca-kaca. Dia tentu sedih sekali mengingat jika selama bertahun-tahun ini harus pergi jauh dari kedua orang tuanya karena menyembuhkan luka. "Maafkan Luna ya, Pah? Kali ini Luna nggak akan pergi lagi. Luna akan menetap di sini, bersama Valen," jawab wanita itu sambil mengusap air matanya. Valen sejak tadi hanya melihat keduanya dengan tatapan bingung. Tetapi dia mengerti jika sang ibu menangis karena senang bertemu kakeknya, bukan karena sedih. "Mami, ayok kita liat nenek!" Valen menarik ujung baju Luna membuat Luna dan Bima sadar jika ada Valen yang sejak tadi diabaikan. "Iya sayang, ayok kita pergi." Luna mengusap rambut sang putra yang wajahnya sangat mirip dengan seseorang yang telah membuatnya terluka begitu dalam. Setelah ini dia harus kuat menghadapi segala hal yang mungkin bisa membuka luka lamanya. Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN