Sudah hampir satu bulan acara Reuni SMA Pelita Buana berakhir. Namun, cerita-cerita mengenai acara tersebut masih terus dibicarakan dengan hangat hingga saat ini, terutama tentang Damar dan Tasya yang datang sambil membawa pasangan masing-masing.
Damar hanya mengabaikan semua perkataan serta godaan dari sahabat dan teman-temannya. Dia bersikap seolah tidak mengetahui pembicaraan mereka tentang dirinya. Bagi Damar, acara Reuni SMA Pelita Buana telah berakhir, begitu juga dengan sandiwara hubungan dirinya dan Tasya.
Tasya yang tidak bergabung dengan grup chat angkatan alumni SMA Pelita Buana tidak tahu kalau teman-temannya sering membicarakan dirinya dan Damar di grup itu. Tasya mengetahui semua hal itu dari Amel yang sering memberi tahu dirinya saat mereka bertemu atau bertelepon. Tasya hanya menanggapi seperlunya saja ketika Amel menceritakan kehebohan teman-teman mereka dalam membicarakan dirinya dan Damar.
Sejak acara Reuni SMA Pelita Buana berakhir, Damar dan Tasya tidak pernah berhubungan lagi. Damar dan Tasya beberapa kali berpapasan di koridor perusahaan. Namun, mereka berdua bersikap seolah tidak saling mengenal satu sama lain. Tidak ada tegur sapa yang terjadi di antara Damar dan Tasya. Mereka berdua kembali bersikap selayaknya bos dan karyawannya.
Tasya sadar diri dengan posisinya saat ini. Dia hanya seorang karyawan biasa, sementara Damar pemilik perusahaan tempat ia bekerja. Damar hanya menganggap Tasya sebagai seorang karyawan yang membantunya di acara Reuni SMA Pelita Buana dan setelah acara itu berakhir, maka berakhir pula hubungan di antara mereka. Damar dengan tegas telah mengatakan hal itu. Maka, Tasya tidak kecewa ketika Damar bersikap seolah tidak mengenalinya ketika mereka berpapasan di perusahaan.
“Sya, laporan yang diminta Pak Fajar sudah selesai?” tanya Indah, teman satu ruangan Tasya di kantor.
“Belum, Ndah. Ini masih gue kerjakan. Sebentar lagi selesai,” ujar Tasya, memberi tahu.
“Ya sudah ... cepat selesaikan, Sya. Pak Fajar sudah menunggu laporan itu di ruangannya,” timpal Indah.
“Oke,” sahut Tasya, mengacungkan jari jempolnya ke arah Indah.
Tasya kembali fokus pada pekerjaan di depannya. Dia harus segera menyelesaikan laporan yang diminta Pak Fajar hari ini. Tasya tinggal mengetik bagian akhir laporannya, lalu mencetak semua laporan yang telah ia buat dan memberikannya kepada Pak Fajar, manajer HRD di perusahaan ini.
Tasya sudah bekerja di PT Wira Karya Mandiri selama tiga tahun terakhir ini. Butuh perjuangan keras hingga akhirnya dia bisa diterima di perusahaan besar seperti ini. Setiap hari Tasya juga harus bekerja keras menyelesaikan semua pekerjaannya. Meskipun pada awalnya terasa sulit dan melelahkan, tapi akhirnya Tasya bisa menyesuaikan diri dengan baik. Tasya juga memiliki teman-teman kerja yang baik dan mau membantunya.
“Yes ... sudah selesai,” gumam Tasya, tersenyum senang.
Tasya segera menyimpan data laporan yang telah selesai ia buat di komputer, lalu mencetaknya. Tasya menyusun laporan itu agar terlihat rapi dan memasukkannya ke dalam sebuah map.
Tasya membereskan meja kerjanya yang berantakan, lalu bangkit dari kursi yang telah berjam-jam ia duduki. Tasya akan memberikan laporan yang telah selesai ia buat kepada Pak Fajar di ruangannya seperti yang dikatakan Indah tadi.
“Lo mau ke ruangan Pak Fajar, Sya?” tanya Indah, saat melihat Tasya berjalan ke luar ruangan.
“Iya, Ndah. Kenapa?” jawab dan tanya Tasya, menghentikan langkah, lalu menatap Indah yang sedang duduk di balik meja kerjanya.
“Tunggu sebentar, Sya. Gue mau ke sana juga. Ada revisi laporan yang harus gue serahkan kepada Pak Fajar,” pinta Indah.
“Baiklah.” Tasya mengangguk, mengerti.
Tasya mengurungkan niat untuk ke luar ruangan dan kembali lagi ke meja kerjanya. Dia duduk di kursi di balik meja kerjanya sambil menunggu Indah menyelesaikan laporan.
“Ayo, Sya. Gue udah selesai,” ajak Indah yang telah bangkit dari duduknya.
“Iya, Ndah,” sahut Tasya, ikut bangkit dari kursi kerjanya. Dia berjalan menghampiri Indah yang telah berdiri di dekat pintu sambil membawa sebuah map sama sepertinya.
Ruangan Pak Fajar berada di lantai satu. Tasya dan Indah berjalan beriringan menuju lift untuk menuju ke sana. Mereka segera menyerahkan laporan masing-masing kepada Pak Fajar begitu tiba di ruangannya. Setelah Pak Fajar menerima dan memeriksa semua laporan itu, Tasya dan Indah berpamitan ke luar ruangan.
“Lo mau balik ke ruangan lagi, Sya?” tanya Indah, setelah mereka keluar dari ruangan Pak Fajar.
“Iya. Memang elo nggak mau balik ke sana, Ndah?” jawab dan tanya Tasya, memandang Indah.
Indah menggeleng. “Sebentar lagi jam makan siang tiba. Gue ada janji untuk makan siang di luar bersama kekasih gue, Sya. Mungkin sekarang dia sudah datang menjemput,” ujarnya memberi tahu.
Tasya memandang jam tangan yang melingkar di tangan kirinya. Jarum jam hampir berada di angka dua belas. Seperti yang dikatakan Indah, sebentar lagi waktu makan siang tiba.
Tasya mengeluh dalam hati. Dia tidak sadar kalau waktu makan siang segera tiba. Seharusnya Tasya membawa dompet ketika menuju ke ruangan Pak Fajar sehingga dia tidak perlu kembali ke ruangannya di lantai atas dan bisa segera membeli makan siang di luar kantor.
“Gue harus balik ke ruangan, Ndah. Gue nggak bawa dompet buat beli makan siang,” kata Tasya, memberi tahu.
“Baiklah. Kalau begitu gue—“
“Tasya.”
Perkataan Indah terhenti saat mendengar suara seseorang memanggil nama Tasya. Indah dan Tasya menghentikan langkah mereka, lalu menoleh ke sumber suara.
Tasya terkejut melihat seseorang yang memanggil namanya. Dia lebih terkejut lagi saat melihat orang itu tidak sendirian berdiri tak jauh dari tempatnya berada. Tasya terpaksa menampilkan senyum di wajahnya untuk membalas sapaan orang tersebut.
“Dia siapa, Sya? Lo mengenalnya?” tanya Indah, berbisik di telinga Tasya.
“Iya, Ndah. Dia teman sekolah gue dulu,” jawab Tasya dengan suara pelan.
“Sepertinya dia orang penting, Sya. Lihat saja ... dia sedang bersama Pak Damar,” ujar Indah, kembali berbisik.
Tasya mengangguk, setuju. Galang, orang yang tadi memanggilnya, merupakan seorang Direktur. Jelas dia adalah orang penting yang menjadi tamu di perusahaan ini.
“Sya, mereka datang ke sini,” bisik Indah dengan panik.
Tasya juga tak kalah panik dengan Indah, tapi untuk alasan yang berbeda. Tasya tahu kepanikan Indah terjadi karena kehadiran Damar di sisi Galang. Sejak dulu, Indah menyukai Damar yang menurutnya sangat tampan dan berwibawa, sedangkan Tasya panik karena tidak menyangka akan bertemu Galang dan Damar di perusahaan tempat ia bekerja secara bersamaan.
“Siang, Pak,” sapa Tasya dan Indah hampir bersamaan kepada Damar.
Damar hanya mengangguk menanggapi sapaan kedua karyawannya.
“Hai, Sya. Senang bisa bertemu kamu di sini,” sapa Galang, menatap Tasya.
“Iya, Lang. Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Tasya, memandang Galang.
“Aku baru saja membahas kerja sama dengan perusahaan ini, Sya,” jawab Galang.
“Oh. Jadi, perusahaan kamu akan bekerja sama dengan perusahaan ini?” tanya Tasya, memperjelas perkataan Galang. Dia sempat melirik ke arah Damar yang hanya berdiri diam di sebelah Galang.
Galang mengangguk. “Iya. Damar sudah menyetujui proposal kerja sama dari perusahaan aku, Sya,” ujarnya memberi tahu.
Tasya hanya tersenyum menanggapi perkataan Galang. Dia tidak tahu harus merasa senang atau sedih mendengar informasi ini. Jika perusahaan Galang bekerja sama dengan perusahaan ini, otomatis Galang akan sering datang ke sini untuk bertemu dengan Damar. Dan ada kemungkinan Tasya akan sering bertemu dengan Galang di perusahaan ini.
Bukan Tasya tak ingin bertemu dengan Galang, tapi dia lebih baik menghindari pertemuan di antara mereka. Tasya sudah tidak memiliki perasaan terhadap Galang sejak dia dikhianati olehnya. Namun, Tasya merasa kurang nyaman ketika dia bertemu dengan Galang. Lagi pula Tasya tidak mau terus-menerus berbohong kepada Galang mengenai statusnya dengan Damar. Yang Galang tahu, Tasya sedang menjalin hubungan dengan Damar, padahal kenyataannya tidak seperti itu.
“Kalian dari mana?” tanya Damar, buka suara.
Indah tampak terkejut mendengar pertanyaan Damar hingga tak sanggup berkata-kata. Terpaksa Tasya yang harus menjawab pertanyaan Damar.
“Kami dari ruangan Pak Fajar untuk menyerahkan laporan, Pak,” jawab Tasya, sopan.
“Loh .... Kenapa kamu memanggil Damar dengan sebutan ‘Pak’, Sya? kalian menggunakan bahasa formal ketika mengobrol?” tanya Galang, memandang Damar dan Tasya dengan raut wajah heran.
Tasya membulatkan mata, terkejut.
oOo