Damar berjalan menghampiri Alfin dan Geri yang telah menantinya di dekat panggung. Suara band yang sedang tampil di atas panggung terasa memekakkan telinga dari jarak sedekat ini. Damar memberi isyarat kepada Alfin dan Geri untuk berpindah tempat agar mereka lebih leluasa dalam mengobrol.
Alfin membawa Damar dan Geri ke belakang panggung. Dia membuka salah satu pintu ruangan yang tidak ada seorang pun di dalamnya. Mereka bertiga masuk ke dalam ruangan. Alfin segera menutup pintu, lalu bergabung bersama Damar dan Geri yang telah mendudukkan diri di sofa yang ada di ruangan itu.
“Untuk apa kalian menunggu gue? Apa ada sesuatu yang ingin kalian bicarakan?” tanya Damar, membuka percakapan.
“Jelas ada, Mar,” sahut Geri. “Siapa wanita yang lo bawa untuk dikenalkan sebagai pasangan lo tadi?” tanyanya kemudian.
“Bukankah tadi kalian sudah berkenalan dengannya? Nama wanita itu Tasya,” ujar Damar, memberi tahu.
“Kalau namanya kita juga sudah tahu, Mar. Tapi, dia itu siapa? Jelas Tasya bukan pasangan elo karena elo datang ke acara Reuni SMA ini seorang diri,” kata Alfin, menimpali.
“Apa itu penting, Fin? Yang terpenting gue sudah mengenalkan seorang wanita sebagai pasangan gue kepada teman-teman kita,” ujar Damar.
“Jelas saja penting, Mar. Kami mengenal elo dengan baik. Lo nggak mungkin membawa sembarangan wanita untuk dikenalkan sebagai pasangan elo,” ujar Alfin, menatap Damar.
“Lagi pula kenapa lo harus berbohong di depan mereka semua sih? Lo tinggal mengatakan kalau elo datang sendiri ke acara ini, Mar,” timpal Geri.
Damar berdecak. “Gue nggak mau jadi bahan ejekan mereka karena datang sendiri ke acara Reuni SMA ini,” ujarnya menjelaskan.
Alfin dan Geri menggelengkan kepala tampak tak percaya.
“Biasanya lo paling cuek kalau menjadi bahan ejekan mereka, Mar,” ucap Geri.
“Kali ini nggak biasa, Ger. Gue sudah lama nggak datang ke acara Reuni SMA ini. Dan kalau gue datang ke sini tanpa membawa pasangan, mereka pasti akan terus-menerus mengejek gue,” terang Damar.
Damar sudah beberapa kali menghadiri acara Reuni SMA Pelita Buana seorang diri. Dia akan menjadi bahan ejekan teman-temannya karena datang tanpa membawa pasangan. Hampir semua teman-teman Damar datang bersama pasangan masing-masing ke acara Reuni SMA ini, termasuk Alfin dan Geri. Karena itu, kali ini Damar tidak mau menjadi bahan ejekan mereka lagi.
“Baiklah. Kita lupakan saja alasan kebohongan yang lo lakukan malam ini,” timpal Geri. “Yang ingin kita tahu, siapa Tasya hingga elo berani mengenalkan dia sebagai pasangan elo malam ini? Benarkah Tasya alumni SMA Pelita Buana?” tanyanya menatap Damar dengan raut wajah penasaran.
“Iya benar. Tasya alumni SMA Pelita Buana. Gue baru saja berkenalan dengan teman-teman Tasya yang menghadiri acara ini,” jawab Damar.
“Apa sebelumnya kalian sudah saling mengenal, Mar?” tanya Alfin, ingin tahu.
Damar menggeleng. “Belum. Lebih tepatnya gue belum mengenal Tasya, tapi Tasya sudah mengenal gue,” jelas Damar.
“Dari mana Tasya mengenal elo, Mar?” tanya Geri, penasaran.
“Tasya karyawan di perusahaan gue, Ger,” jawab Damar.
“Jadi, karena Tasya karyawan elo, makanya lo langsung mengajak dia untuk berpura-pura menjadi pasangan elo, Mar? Begitu?” tanya Geri, tampak tak percaya.
Damar mengangguk. “Iya. Gue rasa lebih baik meminta bantuan Tasya daripada gue harus meminta bantuan kalian berdua untuk mencarikan wanita sebagai pasangan gue,” kata Damar, menjelaskan.
“Lo bayar Tasya berapa supaya dia mau menjadi pasangan pura-pura elo, Mar?” tanya Alfin, tanpa basa-basi.
“Gue nggak membayar Tasya, Fin. Tapi sebagai gantinya, gue juga harus menjadi pacar pura-pura dia,” ujar Damar, memberi tahu kesepakatan yang telah ia dan Tasya buat.
“Lo mengenalkan Tasya kepada teman-teman kita, lalu Tasya mengenalkan elo kepada teman-temannya, Mar?” tanya Alfin, memastikan.
Damar mengangguk, mengiyakan.
“Sepertinya kalian berdua memang cocok, Mar. Elo dan Tasya sama-sama membutuhkan orang untuk berpura-pura menjadi pasangan kalian,” timpal Geri.
Damar meringis. Jika bukan karena terpaksa, dia juga tidak mau melakukan hal ini. Apalagi dengan karyawan perusahaannya sendiri. Reputasi Damar di kantor akan hancur jika sampai ada orang di perusahaan yang mengetahui kalau dia dan Tasya berura-pura menjadi pasangan di acara Reuni SMA Pelita Buana.
oOo
“Sya, antar gue ke toilet yuk ....” pinta Amel, memegang tangan Tasya.
Tasya mengernyit. “Bukankah elo sudah ke toilet saat bersama gue, Mel? Untuk apa lo ke sana lagi?” tanyanya memandang Amel dengan raut wajah heran.
“Perut gue mules, Sya,” jawab Amel. “Udah ah ... jangan terlalu banyak tanya. Ayo buruan antar gue ke toilet, Sya,” ujarnya menarik tangan Tasya. Amel berpamitan kepada teman-teman mereka sebelum meninggalkan ballroom hotel.
Tasya berdecak, kesal. Dia terpaksa mengikuti Amel menuju ke toilet yang berada di bagian belakang ballroom. Tasya mengernyitkan dahi saat melihat Amel tidak berbelok di pintu toilet wanita, tapi justru terus berjalan hingga ke pojok, lalu berbelok ke arah pintu keluar.
“Bukankah elo mau ke toilet, Mel? Kenapa malah ke sini?” tanya Tasya, setelah mereka menghentikan langkah di dekat pintu keluar.
“Enggak. Gue hanya membuat alasan supaya bisa menjauh dari ballroom,” jawab Amel, jujur.
Tasya mengernyitkan dahi. “Kenapa harus menjauh, Mel? Kenapa juga elo harus mengajak gue?” tanya Tasya, menunjuk dirinya sendiri.
“Karena gue ingin bicara sama elo, Sya,” jawab Amel.
“Bicara apa, Mel? Bukankah bicara di dalam ballroom juga bisa?” tanya Tasya, heran.
“Enggak bisa, Sya. Teman-teman kita bisa mendengar pembicaraan kita di sana.”
“Memang apa yang mau lo bicarakan hingga lo nggak ingin teman-teman kita mendengarnya, Mel?” tanya Tasya, ingin tahu.
“Tentang Damar. Siapa laki-laki yang elo kenalkan sebagai pacar lo tadi, Sya?” tanya Amel, menatap Tasya dengan raut wajah penasaran.
“Lo percaya kalau Mas Damar adalah pacar gue, Mel?” Tasya balik bertanya tanpa menjawab pertanyaan Amel.
Amel menggeleng dengan cepat. “Enggak. Kalau gue percaya, sejak dulu elo sudah memiliki pacar, Sya,” akunya jujur.
Tasya berdecak, kesal. “Kalau elo nggak percaya kenapa lo bertanya, Mel?”
“Karena gue penasaran di mana elo ketemu laki-laki tampan seperti Damar yang mau lo jadikan pacar dalam waktu sekejap, Sya,” ujar Amel.
“Lo yakin ingin tahu siapa Mas Damar, Mel?” tanya Tasya, memastikan.
Amel mengangguk dengan mantap. “Tentu saja, Sya.”
Tasya menghela napas panjang. Amel kalau sudah penasaran dengan sesuatu akan terus mencari tahu hingga ia mendapatkan jawaban atas rasa penasarannya itu. Amel tidak akan menyerah sebelum rasa penasarannya hilang.
“Mas Damar adalah bos di perusahaan tempat gue bekerja, Mel,” kata Tasya, mengungkapkan jati diri Damar yang sesungguhnya.
“Iya, Sya. Gue tadi mendengar perkataan Galang kalau Damar adalah pemilik perusahaan tempat lo – Apa?” Amel membelalakkan mata. Dia seolah baru menyadari maksud ucapannya sendiri. “Lo serius, Sya? Damar adalah bos di perusahaan elo?” tanyanya memastikan.
Tasya mengangguk. “Iya, Mel. Pak Damar adalah bos sekaligus pemilik perusahaan tempat gue bekerja sekarang,” ujarnya menjelaskan. Tasya telah mengubah panggilan ‘Mas’ pada Damar menjadi ‘Pak’ seperti yang biasa ia lakukan.
Amel terlihat menelan ludah, tak percaya. “Bagaimana bisa lo meminta bos perusahaan elo untuk menjadi pacar lo di acara ini, Sya?”
“Bukan gue yang meminta, Mel, tapi Pak Damar,” sangkal Tasya. “Kami nggak sengaja bertemu di sini. Pak Damar meminta bantuan gue untuk berpura-pura menjadi pasangan dia malam ini. Gue hanya memanfaatkan kesempatan dengan balas memintanya menjadi pasangan gue,” ujarnya bercerita.
“Jadi, kalian berdua saling memanfaatkan untuk berpura-pura menjadi sepasang kekasih di acara Reuni SMA ini?” tanya Amel, memperjelas cerita Tasya.
“Iya. Kira-kira begitu, Mel,” sahut Tasya.
Amel menggelengkan kepala, tak percaya. “Bagaimana bisa ada kebetulan seperti ini?”
“Yah ... mungkin ini yang dinamakan takdir, Mel. Pak Damar hadir di saat gue membutuhkan seseorang untuk dikenalkan sebagai pacar gue, begitu pun sebaliknya,” ujar Tasya.
“Mana ada takdir seperti itu, Sya? Kalau memang takdir, lo dan Pak Damar benar-benar menjadi pasangan yang sesungguhnya di kehidupan ini,” kata Amel, menimpali.
“Itu nggak mungkin terjadi, Mel. Gue dan Pak Damar nggak mungkin menjadi pasangan yang sesungguhnya di kehidupan ini,” sanggah Tasya.
“Kenapa nggak mungkin? Bukankah lo bilang ini adalah takdir, Sya?” tanya Amel, menaikkan sebelah alis memandang Tasya.
Tasya bergidik ngeri. Tidak mungkin dia dan Damar ditakdirkan menjadi pasangan yang sesungguhnya di kehidupan ini. Tasya dan Damar tidak saling mengenal meskipun status mereka adalah karyawan dan bos. Mereka memiliki kehidupan yang berbeda. Bisa dikatakan selama ini mereka tidak pernah bertemu di perusahaan, hanya sesekali Tasya melihat Damar dari kejauhan.
oOo