Isabella duduk di ayunan yang biasanya dia gunakan untuk mengobrol bersama Diana. Matanya masih sembab karena hampir semalaman menangisi kepergian kakak satu-satunya. Entah bagaimana dia bisa bertahan untuk melanjutkan hidupnya tanpa sang kakak.
“Kak Di… kenapa ninggalin Bella sendirian..hiks.”
“Kak Di, kan, janji mau nemenin Isabella lihat-lihat kampus yang bagus.”
“Kak Di… hiks…”
Seseorang tiba-tiba duduk di hadapannya. Membuat atensi Isabella yang awalnya berfokus menatap kedua kaki mungil miliknya.
“Jangan nangis, lagi, Bella.” katanya sembari menggenggam kedua tangan Isabella. Benar, dia adalah Nando pacar kakaknya. Isabella menatap Nando: sangat tampan. Cocok dengan kak Diana.
“Kak Diana pergi,nanti, Bella sama siapa?” adunya pada Nando yang kini sudah berpindah duduk di samping kirinya
“Kalau kamu nangis terus nanti kak Diana nggak akan bahagia disana.” Nando berkata dengan intonasi sangat lembut
“Isabella pengen berkunjung ke tempat kak Diana…”
“Oke. Kak Nando anterin, ya. Tapi jangan nangis lagi.”bujuknya agar Isabella tidak terus menerus menangis.
“Iya…”
Nando menyodorkan kelingking pada Isabella, “Janji dulu dong cantiknya kak Nando,”
“Janji…” ucap Isabella
Begitu sampai di depan mobil Nando menghentikan langkahnya. Membukakan pintu mobil untuk Isabella. “Kamu ke mobil kak Nando dulu, ya. Kakak mau angkat telepon dulu.” Nando menunjukkan layar ponselnya yang menyala. Dan Isabella mengangguk lalu pergi meninggalkan Nando sendirian ke mobil.
Isabella masuk le mobil tanpa merasa curiga. Matanya melirik ke lantai kursi belakang. Terdapat sebuah papper bag dengan ukuran lumayan besar. Karena dia beranggapan itu adalah hadiah untuknya maka Isabella berpindah posisi duduk di kursi penumpang.
Tangannya tanpa ragu membuka bingkisan. Matanya melotot kaget begitu mendapati isi di dalam paper bag. Sebuah pisau dengan darah yang sudah mengering. Dia ingat kalau kematian Diana juga ditemukan bekas tusukan. Namun Isabella tidak pernah menaruh curiga kepada Nando. Isabella sudah mengerti, dia sudah SMA dengan umur 17 tahun.
“Kak Nando yang bunuh kak Diana.” ujarnya bermonolog sendiri
Isabella buru-buru memasukkan kembali pisau di tangannya ke papper bag lalu hendak keluar. Tapi ekor matanya lebih dulu melihat beberapa mobil polisi yang datang dan secara paksa memborgol kedua tangan Nando.
Dan setelah itu Isabella tidak pernah bertemu Nando lagi.
Mata indah Isabella terbuka. Mimpi itu kembali datang. Kepalanya menoleh ke samping. Kosong
Perasaan tadi malam dia tidur dengan Nando di rumahnya. Tapi kemana perginya laki-laki itu. Apa dia sudah pergi bekerja?!
Suara gemericik di kamar mandi membuat Isabella beranggaan jika Nando tengah melaksanakan ritual membersihkan diri.
Tok..tok…
“Do… kamu mandi?”
Suara gemericik air berhenti, “Iya, sayang.” ujarnya dari dalam bilik kamar mandi
“Oke. Lanjutin. Aku mau prepare baju dulu buat ke kampus.”
Tidak ada sahutan dari dalam kemungkinan besar Nando sudah kembali pada aktivitasnya di kamar mandi.
Isabella mengobrak akbrik isi almarinya. Mencari pakain yang akan dia kenakan hari ini. Seharusnya gampang saja karena Nando sudah membelikannya banyak pakaian. Sayangnya Isabella bukan tipe perempuan yang gampang menentukan pakaian apa yang akan dia kenakan hari ini. Dia harus berpusing-pusing ria dulu sebelum akhirnya menemukan baju yang tepat untuk dipakai pergi ke kampus.
Lagipula sekarang Nando mengaturnya. Ya setidaknya dia harus menurut untuk kemulusan rencananya bukan?!
Matanya menemukan tank top berwarna hitam. Juga cardigan rajut model crop. Tentu ini akan jadi pilihannya hari ini. Paling tidak Isabella harus berpenampilan semenarik mungkin.
“Kamu pakai apa hari ini, sweety?” Nando muncul dengan hanya mengenakan handuk putih di pinggang
“Ini…” Isabella menunjukkan satu setel pakaian pilihannya dan langsung dibalas dua jempol jari oleh Nando
“Kamu keliatan sekseh kalau pakai itu. Aku suka.” Komentarnya memuji pilihan Isabella
Isabella hanya memutar bola mata malas. Memang sikap Nando benar-benar sangat menyebalkan. Dia punya obsesi pada wanita cantik. Dan betapa tidak beruntungnya Isabella jadi salah satu pilihannya.
________________________________
Aida membolak balik proposal miliknya lalu beralih pada Beryl. “Gimana. Ber?”
Beryl yang sedari tadi mengetik pada keyboard di laptopnya menoleh dan memusatkan atensinya pada Aida. “Lo lolos tahap satu dari Prof. War tinggal lanjut ke tahap berikutnya saja.”
“Makasih…” ujar Aida sembari tersenyum dan membuat matanya seperti bulan sabit
Beryl ikutan tersenyum, “Mau jalan?”
“Hah?” Aida kebingungan
“Ke mall yuk. Nonton film.”
_______________________________
“Mau nonton film apa, horror?” tawar Beryl begitu mereka ada di depan kasir
“Jangan. Thriller aja gimana?”
“Oke.”
Aida merangkul lengan Beryl, “Eh, Ber. Duduk di belakang aja, jangan di depan. Pegel nanti leher lo.”
“Iya, Aida.” kata Beryl dengan nada lembut
Aida tersenyum senang apalagi saat Beryl merangkulnya dan mengajaknya untuk segera masuk ke gedung karena film sebentar lagi dimulai.
“Dimana, Ber…” Aida mengekori Beryl
Beryl meraih tangan Aida dan mengajaknya ke nomor kursi mereka. Karena takut juga Aida akan hilang apalagi lampu di bioskop remang-remang. “Sebelah sini, Da.”
“Mau minum?” tawar Beryl begitu melihat mbak-mbak penjual makanan dan minuman berkeliling menawarkan minuman soda beserta popcorn
“Boleh…”
“Lo suka nonton film thriller?” Beryl menyodorkan minuman milik Aida sementara dia menyesap minumannya sendiri dan memasukkan satu suap berondong jagung ke mulutnya
“Lumayan…” kata Aida lalu ikut menyuapkan popcorn dari tangan Beryl. “Kalau elo suka apa?! Yang mellow gitu, ya?”
Beryl tertawa. “Nggak lah. Gue jarang nonton film. Ini aja mungkin baru ketiga kalinya gue nonton film di bioskop.”
“Loh, emangnya iya?” Aida sempat tidak percaya jika Beryl jarang menonton film jika melihat dari bagaimana sikap Beryl yang banyak tahu.
“Hmmm…” Beryl mengangguk, “Di rumah ada tempat nonton juga milik nyokap cuma gue jarang pakai.”
Aida melotot saking terkejutnya, “Lo beneran punya bioskop pribadi di rumah?” Aida tidak bisa membayangkan betapa kayanya orang tua Beryl. Meski teman-teman sekelasnya banyak yang mengatakan kalau Beryl memang berasal dari keluarga berada apalagi dilihat dari profil kesuksesan orang tuanya sebagai pengusaha.
“Ada. Kalau mau nonton pribadi bilang aja sama gue. Cuma kalau soal film apa yang bagus gue nggak bisa ngasih saran soalnya gue jarang banget nonton.”
“Gue tagih, loh, Ber…” Aida bercanda namun sepertinya Beryl serius mengajaknya karena jawaban setelahnya adalah.
“Datang aja. Tinggal call gue.”
Begitu layar menampilkan adegan peradegan film. Kedua orang itu malah larut dalam obrolan yang menyenangkan melupakan tujuan awal mereka menonton film.
“Jadi elo pernah dianter pulang sama Pak Zaki gara-gara nungguin kakak elo nggak datang-datang?” tanya Beryl saat Aida menceritakan pengalamannya pernah pulang bersama pak Zaki salah satu dosen pendidikan
“Hmmm….iya. Dan gue deg-degan banget karena lo tau sendiri, kan, gimana menakutkannya pak Zaki di mata mahasiswa?”
“Nah…” Beryl menyodorkan popcorn pada Aida, “Sama aja. Kadang gue juga ngerasa pak Zaki ngincer gue.”
“Loh, kenapa?”
“Nggak tahu. Ngerasa aja. Mungkin gue yang terlalu percaya diri. Atau karena udah tiga kali gue absen pas mata kuliah dia.”
Aida mendengus geli. Dia tahu jika Beryl memang pernah membolos pada mata kuliah pak Zaki karena sakit juga kesibukannya sebagai asisten Prof.Warsono. “Eh, Ber…”
“Kenapa?”
“Emm… lo kok betah, sih, jadi asistennya Prof.Warsono. Bukannya dia galak, ya?” Aida mengatakan dengan sangat hati-hati agar tidak menyinggung perasaan Beryl. Dai juga bukan kategori orang yang suka ceplas ceplos saat mengutarakan pertanyaan. Bagi Aida diam adalah emas. Ya, karena bisa menyelamatkan saat terdapat kesalahan berbicara.
Beryl berdehem, tidak mengerti juga kenapa Aida mengutarakan pertanyaan seperti ini. Meski sering disodorkan banyak pertanyaan tetapi jika Aida yang bertanya itu saja sudah cukup mengherankan bagi Beryl.
“Entah… menurut gue…Prof.Warsono nggak semenakutkan itu kok. Dia baik dan sangat mengerti gue.” Setidaknya itu yang Beryl rasakan soal menjadi asisten Prof.Warsono. Namun berbanding terbalik saat Beryl melaksanakan misinya untuk mengawasi Isabella. Itu jauh lebih rumit.
Ngomong-ngomong entah kenapa dia dan Aida jadi bisa seakrab ini.
“Lo mau ambil S2 nggak, Ber?” Aida bertanya saat mereka berjalan keluar dari bisokop karena film sudah selesai. Dan ternyata yang mereka lakukan bukan menikmati film melainkan menikmati obrolan.
Beryl diam sejenak guna memikirkan jawabannya. “Mungkin. Cuma gue nggak tahu kapannya.”
“Kenapa nggak langsung lanjut aja?”
Beryl mengedikkan bahu. “Belum tahu. Masih dipikirkan, nih.” Beryl beralih menatap Aida, “Lo mau lanjut kemana?”
Aida terlihat memikirkan jawaban yang tepat. “Mungkin. Juga disini aja. Nggak mau jauh-jauh dari keluarga.”
“Bagus. Emang keluarga, kan, nomor satu.”
“Makan dulu, nggak?” tawar Beryl saat melewati sebuah restoran dengan berbagai macam ramen
“Boleh.”
_________________________________
“Lo tahu nggak sih. Gue masih sayang sama elo, Zico!”
“Tapi gue nggak!” tolak si laki-laki dengan tegas
“Please, balikan, ya.” Pintanya memohon
“Gue tekankan sama elo, ya. Kalau seandainya di muka bumi ini hanya ada satu cewek dan itu elo. Gue tetap nggak akan ambil keputusan buat pacaran sama elo.” ucap si laki-laki dengan sadis
“Lo suka ya sama Isabella?” tuduhnya seakan si lkai-laki barusan ketahuan berselingkuh
“Ya. Terus mau apa lo?” katanya terdengar menyakitkan
“Gue ada video. Dan gue pastikan elo bakal kaget melihat seberapa muraahnya Isabella.”
“Maksud lo?”
Beryl segera bangkit dan mendekati meja yang berada teat di belakang mejanya. Dia cukup familiar dengan suara si perempuan. Dan benar saja begitu Beryl berhadapan langsung si perempuan langsung menatapnya syok. “Beee…ryl.” ujar Jesika tidak percaya
“Bisa bicara, nggak?” kata Beryl menyela interaksi antara Jesika dan laki-laki dihadapannya
Jesika menunjuk dirinya sendiri. Terlihat sangat jelas jika perempuan satu ini juga menginginkan Beryl.
“Nggak dapat Zico. Bolehlah dapat Beryl yang lebih tajir dan popular. Yessss…” batin Jesika berteriak senang
Jesika mengulum bibirnya. “Boleh…” lalu teralih pada si laki-laki yang menatap interaksi antara Beryl dan Jesika secara ogah-ogahan. “Lo pulang aja, deh. Gue balik bareng Beryl.” Jesika merangkul lengan Beryl seenak jidat
Beryl melirik tangan Jesika yang merangkulnya mesra. Dia ingin menolak tapi untuk saat ini berbicara dengan Jesika adalah lebih penting dari apapun.
Beryl seketika ingat bahwa sedari tadi dia melupakan keberadaan Aida yang masih setia menunggunya di kursi. “Daaa… emmm…sorry ya. Kayaknya elo harus pulang sendiri, deh.” Beryl tidak enak mengatakan kalimatnya tapi dia harus jujur bukan?!
Aida mengangguk sepertinya dia mulai mengerti. “Nggak papa, Ber. Gue bisa naik taksi, kok.”
“Sorry ya, Da.” Beryl merapalkan permintaan maafnya. Lain kali dia tidak boleh melakukan kesalahan yang sama lagi. Setidaknya mengantarkan Aida pulang. Karena jika Beryl memutuskan membawa Aida tentu saja pembicaraan antara dirinya dan Jesika akan diketahui dan itu tidak boleh terjadi.
Begitu selesai dengan Aida. Dengan segera Beryl memaksa Jesika untuk mengikutinya ke mobil. Tangannya segera melepas lilitan di lengannya. “Masuk ke mobil gue.” ujar Beryl dingin
Jesika tidak perduli pada perubahan sikap Beryl. Baginya yang terpenting adalah bisa bersama Beryl. Jesika tidak tahu dia habis melakukan kebaikan apa sampai Beryl mau repot-repot mengantarkannya pulang.
“Lo menyimpan video apa soal Isabella?” Beryl langsung pada intinya tanpa ingin berbasa basi
Jesika menaikkan satu alisnya. “Video apa?” tanyanya seolah tidak mengerti
Beryl harus ekstra sabar dan penuh kehati-hatian dalam menyikapi Jesika. Dia lumayan membuat Beryl was-was juga. Apalagi Isabella dan Jesika selalu saja terlibat cekcok dengan beragam masalah baik itu masalah kecil maupun besar.
“Video yang hendak lo perlihatkan sama cowok tadi.” Ceplos Beryl pada akhirnya
Jesika memutar-mutar rambutnya. Dia tersenyum kecil lalu menatap Beryl sangat serius. “Video Isabella dan pacarnya…” pancing Jesika dan otomatis membuat Beryl hampir kehilangan kesabaran. Kalau bukan Jesika adalah perempuan sudah dipastikan Beryl akan menonjokknya hingga babak belur lalu segera mungkin menghapusnya tanpa persetujuan.
“Ya. Video soal apa itu?” ujar Beryl masih kuat bersabar
“Ada syaratnya.” Kata Jesika demi mewujudkan mimpinya Beryl bisa mejadi pacarnya
“Apa?” Beryl menahan nada bicaranya agar tidak terkesan marah.
“Besok anterin gue ke kampus sampai depan kelas.” ujar Jesika tanpa punya stok rasa malu
Beryl melengos. Hanya itu ternyata permintaan Jesika. Eh, tapikan jika Beryl mengantarkan Jesika sampai ke kelas itu artinya Beryl akan bertemu dengan Isabella. Jelas saja tujuan Jesika melakukan itu adalah membuat Isabella murka atau paling banter mengajak Isabella bertengkar. Sungguh sialll nasibmu, Beryl.
“Gue anterin sampai luar aja, gimana?! Sampai depan gedung jurusan elo?”
Jesika menggeleng cepat. “Nggak mau. Harus sesuai permintaan gue dong Beryl sayang.”
Jesika harus memamerkan Beryl di depan mata Isabella bahkan di depan teman-teman sekelasnya dan nanti akan muncul pemberitaan bahwa tidak ada yang bisa menandingi pesona Jesika sekalipun itu adalah Isabella. Tentu saja Isabella akan kalah pamor darinya. Jesika sudah senyum-senyum seperti orang gila. Beryl yang melihat hal tersebut jadi ngeri sendiri rasanya.
Beryl membuang nafas kasar. Setidaknya dia melakukan ini untuk bisa segera tahu apa video yang disimpan oleh Jesika. Paling tidak Beryl akan menemukan cara untuk bisa membuat Jesika mau menghapus video itu.
“Ya sudah. Sekarang anterin aku.” Perintah Jesika pada Beryl yang memegang kendali
“Kemana?” kata Beryl malas
“Pulang lah sayang.” jawab Jesika dengan mata tidak bisa lepas dari wajah Beryl. Benar-benar definisi kesempurnaan Tuhan.
Jesika tidak pernah melihat laki-laki dengan ketampanan dan aura memikat seperti yang dimiliki Beryl. Biasanya laki-laki yang dia lihat akan tampan dan macho karena memang kaya, punya uang, dan mobil mewah. Tapi Beryl berbeda bahkan Jesika berani bertaruh dia akan sulit mengontrol diri jika terlalu lama berduaan dengan Beryl.
“Kamu ganteng banget, sih.”